RSS

Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam

Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam
TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM


Disusun untuk memenuhi tugas Seminar Kelas mata kuliah
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam







DAFTAR ISI



Halaman Judul 01
Daftar Isi 02

BAB I : PENDAHULUAN …………………………………………………………………… 03
BAB II : FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM ………………… ………….…………………. 05
A. PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM ……………………… 05
B. TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM .…………………………….. 07
BAB III : KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM ……………………………………………… 10
A. PENGERTIAN KURIKULUM …….…………………………………………….. 10
B. KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM …………………………… ……………. 13
C. PERKEMBANGAN BENTUK PENDIDIKAN ISLAM ………………………. 15
1. Pendidikan Islam pada Masa Rasulullah ……………………………… 15
2. Pendidikan Islam pada Masa Khulafaur Rasyidin ……………….... 17
3. Pendidikan Islam pada Masa Bani Umaiyah ………………………… 19
4. Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyah ……………………… 22
5. Pendidikan Islam pada Masa Muhammad Abduh………………….. 29
BAB IV : PENGARUH TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP
PENGEMBANGAN KURIKULUM …………………………………………………… 31
A. KURIKULUM DAN TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ………………… 31
B. PENGARUH TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP
PENGEMBANGAN KURIKULUM ………………………………………………… 32
BAB V : KESIMPULAN …………………………………………………………………………….. 36

DAFTAR KEPUSTAKAAN 37

BAB I
PENDAHULUAN

Satu hal yang paling penting dalam masalah pendidikan formal adalah pengaturan kurikulum. Karena kurikulumlah yang dijadikan sebagai acuan bagi berjalannya proses pendidikan. Bahkan termasuk sebagai acuan bagi evaluasi berhasil atau tidaknya proses pembelajaran yang dilakukan guru/ sekolah.
Dalam sistem pendidikan Islam, tentu kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam. Seluruh materi pelajaran dan metode pengajaran dalam pendidikan disusun agar tidak menyimpang dari landasan tersebut. Penyusunan kurikulum diatur sedemikian rupa, sehingga benar-benar bisa membentuk kepribadian Islam yang sempurna pada peserta didik. Mereka bukan hanya menguasai sainstek, cerdas secara intelektual saja, tetapi juga memahami hakekat diadakannya proses pendidikan itu sendiri.
Secara struktural, kurikulum pendidikan Islam formal dijabarkan dalam tiga komponen materi pendidikan utama yang sekaligus menjadi karakteristik, yaitu (1) pembentukan kepribadian islami), (2)Tsaqafah Islam, dan (3) Ilmu kehidupan (IPTEK, keahlian, dan ketrampilan). Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian islam yang secara terus menerus pemberiannya untuk semua tingkat, muatan tsaqafah islam dan Ilmu terapan/ilmu kehidupan diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapakan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam. Namun pertanyaan selanjutnya; apa saja aspek-aspek kehidupan itu ? Jawaban pertanyaan ini setidaknya muncul bebarapa paradigma pengembangan pendidikan Islam yaitu: pertama; paradigma Formisme; kedua; paradigma mekanisme dan ketiga paradigma organisme .
Pertama; paradigma Formisme; dalam paradigma ini aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi atau distrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan seperti; laki-laki dan perempuan, madrasah dan non Madrasah, pendidkan keagamaan dan non keagamaan, demikian seterusnya, pandangan ini berlanjut pada cara memandang aspek kehidupan dunia dan akherat. Kehidupan jasmani dan rohani sehingga pendidikan Islam hanya dietakkan pada kehidupan akherat saja atau kehidupan rohani saja. Oleh kerena itu pengembangannya (PAI) hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, pendidikan (agama) Islam hanya berkutat mengurusi persoalan ritual dan priritual, sementara kehidupan sosial ekonomi politik, ilmu pengetahuan, teknologi dan lainya dianggap sebagai bidang duniawi yang menjadi bidang garap pendidikan umum.
Kedua; paradigma mekanisme, paradigma ini memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nila politik, nilai ekonomi, nilai rasional dan sebagainya.sebagai impliksinya, pengembangan pendidikan Islam tersebut bergantung pada kemauan, kemampuan, dan political-will dari para pembinaya/pimpinan dari lembaga tersebut. Terutama dalam membangun kerjasama dengan mata pelajaran/kuliah lain. Hubungan antara pendidikan agama dengan beberapa metapelajaran dapat bersifat horisontal lateral (Indipendent), lateral-sekuensial, atau bahkan vertikal linear.
Ketiga paradigma organisme, paradigma ini memandang bahwa Islam adalah kesatuan atau sebagai sistem yang berusaha mengembangkan semangat hidup (weltanschanauung) Islam, yang dimanifestasikan pada sikap hidup dan keterampilan hidup yang Islami. Melalui upaya ini maka sistem pendidikan Islam diharapkan dapat diintegrasikan nilai-nilai Ilmu pengetahuan, ilmu agama dan etik, serta mampu melahir-kan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memilki pematangan profesional, dan sekaligus hidup dalam nilai-nilai agama.
Dalam perspektif filsafat pendidikan berkembang pemikiran bahwa pendidikan semestinya mampu menjawab bagaimana dan mengapa pendidikan tersebut diselengga-rakan. Oleh karena itu alur bahasan tulisan ini adalah mengungkap keterkaitan pemikiran filosofis dalam proses perumusan dan pengembangan kurikulum, terutama kurikulum pendidikan Islam ?
BAB II
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A. PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata "philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang per-tama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates . Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meski-pun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirin-ya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang meng-anggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.
Dalam konteks ke Indonesia, filsafat diasumsikan sebagai pemikiran yang berarti berarti proses, cara, atau perbuatan memikir; yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara bijaksana. (Moeliono, 1988: 682-683) .
Sedangkan pendidikan berarti suatu proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang (peserta didik), melalui upaya pengajaran dan pelatihan, serta proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik.(Moeliono, 1988: 232).
Maka pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah paradigma pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik secara paripurna. (Nizar, 2001:7).
Filsafat pendidikan merupakan pola-pola pemikiran atau pendekatan filosofis terhadap permasalahan bidang pendidikan dan pengajaran. Filsafat pendidikan sebagai salah satu ilmu terapan adalah cabang ilmu pengetahuan yang memusatkan perhatiannya pada penerapan pendekatan filosofis pada bidang pendidikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup.
Dasar yang menjadi alasan-alasan bahwa filsafat pendidikan harus dipelajari oleh setiap pendidik atau guru adalah sebagai berikut :
1. Bahwa setiap manusia atau individu harus bertindak termasuk dalam pendidikan, secara sadar dan terarah tujuan yang pasti serta atas keputusan batinnya sendiri.
2. Bahwa demikian pula setiap individu harus bertanggung jawab dalam pendidikan, yang tinggi rendahnya nilai mutu tanggung jawab tersebut akan banyak ditentukan oleh system nilai dasar norma yang melandasinya.
3. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia yang hidup tentu memiliki filsafat hidup, demikian pula setiap manusia yang hidup dalam bidang dan dunia pendidikan harus memiliki filsafat pendidikan yang merupakan guide post, tonggak papan penunjuk jalan sumber dasar dan tujuan tindakan dan tanggung jawabnya dalam kegiatan pendidikannya.
4. Suatu kenyataan pula bahwa terdapat keragaman aliran-aliran pendidikan, kearah mana individu pendidik harus menentukan pilihannya secara bebas dan bertanggung jawab, terbuka, kritis, dengan meninjaunya dari segala segi.
5. Pada suatu ketika individu pendidik telah menentukan pilihannya maka ia tidak netral lagi dan meyakininya serta mengamalkannya aliran filsafat pendidikannya secara penuh rasa tanggung jawab.

Alasan-alasan tersebut dengan jelas menjelaskan dan memberikan kita keyakinan bahwa filsafat pendidikan merupakan disiplin ilmu yang merupakan condition sinequa non bagi pelaksanaan tugas guru dan pendidikan pada umumnya, termasuk orang tua yang tiada lain pendidikan dalam lembaga pendidikan keluarga.
Lebih lanjut, pemikiran pendidikan Islam memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Untuk membangun kebiasaan berfikir ilmiah, dinamis, dan kritis terhadap persoalan-persoalan diseputar pendidikan Islam.
2. Untuk memberikan dasar berfikir inklusif terhadapajaran Islam dan akomodatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh intelektual di luar Islam.
3. Untuk menumbuhkan semangat berijtihad, sebagaimana yang ditunjukkan oleh rasulullah dan para kaum intelektual muslim pada abad pertama sampai abad pertengahan, terutama dalam merekonstruksi system pendidikan Islam yang lebih baik.
4. Untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan sisitem pendidikan nasional. Secara khusus, pemikiran tenrtang pendidikan Islam sangat berguna bagi guru atau pendidik dan sebagai bahan masukan bagi merekontruksi pola atau model pendidikan yang lebih adaptik dan integral-dengan nuansa alami- terutama bagi pengembangan system pendidikan di Indonesia, serta memperkaya khazanah perkembangan pemikiran ilmu pengetahuan.

B. TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Filsafat pendidikan Islam dapat dibedakan menjadi beberapa tipologi, tipologi tersebut adalah:
1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi – Tipologi Perenial-Esensialis Salafi lebih me-nonjolkan wawasan kependidikan Islam era salafi, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat), karena mereka dipandang sebagai masyarakat yang ideal.
2. Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi – Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi adalah tipologi yang lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan kecendrungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan.
3. Tipologi Modernis - Tipologi Modernis lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang bebas modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan rekontruksi pengalaman yang terus menerus, agar dapat berbuat sesuatau yang intelligent dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.
4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif - Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukian kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembang-kan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan social yang ada.
5. Tipologi Rekontruksi Sosial Berlandaskan Tauhid - Tipologi Rekontruksi Sosial Berlandaskan Tauhid sangat cocok untuk diterapkan pada masyarakat atau daerah yang berkeinginan dan potensial untuk maju, dan pada masyarakat yang warganya bersikap individualis dan egois, atau terjangkit penyakit social.

Disamping tipologi yang disebutkan diatas, terdapat beberapa tipologi lainnya. Sebagai bahan perbandingan, berikut tipologi Filsafat pendidikan Islam lainnya yaitu :
1. Tipologi Progressivisme – adalah suatu aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh dalam abad ke 20 ini. Pengaruh itu terasa di seluruh dunia, terlebih-lebih di Amerika Serikat. Usaha pembaharuan di dalam lapangan pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran progressivisme. Aliran ini dihubungkan dengan pandangan hidup liberal-“The Liberal road to culture”. Progressivisme menolak otoriterisme dan absolutisme dalam bentuk, seperti misalnya terdapat dalamagama, politik, etika dan epistemology.
2. Tipologi Esensialisme – Esensialisme muncul pada zaman Renaissans, dengan cirri-ciri utamanya yang berbeda dengan progressivisme. Perbedaan initerutama dalam memberikan dasar berpijakmengenai pendidikan yang penuh fleksibelitas, di mana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterikatan dengan doktrin tertentu. Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniawian, serba ilmiah dan materialistik.Tujuan umum aliran ini adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupakan semacam miniature dunia yang bias dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan.
3. Tipologi Perennialisme – Perennialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi. Perennialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini perennialisme memberikan jalan keluar berupa”kembali kepada kebudayaan masa lampau”
Asas yang dianut perennialisme bersumber pada fisafat kebudayaan yang berkiblat dua, yaitu (a) perennialisme yang kebudayaan yang berkiblat theologies-bernaung di bawah supremasi gereja katolik, dengan orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas- dan(b) perennialisme sekuler berpegang pad aide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
4. Tipologi Rekonstruksionalisme - Aliran rekonstruksionalisme adalah sepaham dengan aliran perennialisme dalam hendak mengatasi kritis kehidupan modern. Rekonstruksionalisme berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya.
5. Tipologi Eksistensialisme – Pada Hakikatnya eksistensialisme adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Paham eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu:”filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral”

BAB III
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

A. PENGERTIAN KURIKULUM
Kurikulum merupakan bagian dari sistem pendidikan yang tidak bisa dipisahkan dengan komponen sistem lainnya. Tanpa Kurikulum suatu sistem pendidikan tidak dapat dikatakan sebagai sistem pendidikan yang sempurna. Ia merupan ruh (spirit) yang menjadi gerak dinamik suatu sistem pendidikan, Ia juga merupakan sebuah idea vital yang menjadi landasan bagi terselenggaranya pendidikan yang baik. Bahkan, kurikulum seringkali menjadi tolok ukur bagi kualitas dan penyelenggaraan pendidikan. Baik buruknya kurikulum akan sangat menentukan terhadap baik buruk-nya kualitas output pendidikan, dalam hal ini, peserta didik. Dalam kedudukannya yang strategis, kurikulum memiliki fungsi holistik dalam dunia pendidikan; Ia memiliki peran dan fungsi sebagai wahana dan media konservasi, internalisasi, kristalisasi dan transformasi iptek, teknologi, seni dan nilai-nilai kehidupan ummat manusia.
Kurikuluim bukan hanya berfungsi sebagai wahana dan media konservasi, internalisasi dan kristalisai, tetapi Ia juga merupakan wahana dan media trans-formasi. Pemilik ilmu pengetahuan dan nilai-nilai, dituntut mempelopori, memimpin dan mendesain peradaban ummat manusia yang konstruktif, dinamis, produktif dan innovatif, serta mengawal, membimbing, membina, dan mengarahkan perubahan- perubahnya secara proaktif dan dedikatif melalui perubahn-perubahan peradaban yang semakin baik. Dalam konteks ini pula pemilik ilmu pengetauan dan nilai-nilai memerankan dirinya sebagai agent of social canges, agent of social responsibility, agent of innovation and agent of human investment.
Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktek pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata-mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Pandangan yang muncul sejak zaman Yunani kuna ini, dalam lingkungan tertentu masih dipakai hingga kini, sebagaimana pendapat Robert S. Zais (1976:7) , “a recesourse of subject matters to be mastered”. Menurut pendapat ini, kurikulum identik dengan bidang studi.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa kurikulum merupakan pengalaman belajar, pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Caswell dan Cambell (1975), “…to be composed of all the experiences children have under the guidance of theachers”. Ronald C Doll (1974:22), menggambarkan kurikulum telah berubah dari kontens belajar (isi) ke proses, dari skop yang sempit kepada yang lebih luas, dari materi ke pengalaman, baik di rumah, sekolah maupun lingkungan masyarakat, bersama guru atau tidak, ada hubungannya dengan pelajaran ataupun tidak, termasuk upaya guru dan fasilitas untuk mendorongnya. Meskipun, pemaknaan kurikulum demikian, mendapat kritik dari Mauritz Johnson (1967:130), menurutnya pengalaman hanya akan terjadi bila siswa berinteraksi dengan ligkungannya, interaksi seperti demikian bukan kurikulum tetapi pengajaran. Menurutnya, kurikulum hanya berkenaan dengan “… a structured series of intended learning outcomes”, hasil yang dicapai dari hasil belajar siswa. Oleh karena itu, perencaan dan pelaksanaan isi, kegiatan belajar mengajar, evaluasi termasuk pengajaran .
Mc Donald (1967:3) memandang kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran, yang terdiri dari empat komponen, yaitu: mengajar (kegiatan professional guru terhadap murid), belajar (kegiatan responsi siswa terhadap guru), pembelajaran (interaksi antara guru murid pada proses belajar mengajar) dan kurikulum (pedoman proses belajar mengajar). Bauchamp (1968) menekankan kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran. Ia menegaskan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis dan sekaligus merupakan rencana pendidikan yang given di sekolah. Tetapi, kurikulum tidak hanya dinilai dari segi dokumen dan rencana pendidikan, karena ia harus memiliki fungsi operasional kegaiatan belajar mengajar, dan menjadi pedoman bagi pengajar maupun pelajar .
Hilda Taba (1962) berpendapat, kurikulum tidak hanya terletak pada pelaksana-anya, tetapi pada keluasan cakupannya, terutama pada isi, metode dan tujuannya, terutama tujuan jangka panjang, karena justeru kurikulum terletak pada tujuannya yang umum dan jangka panjang itu, sedangkan imlementasinya yang sempit termasuk pada pengajaran, yang keduanya harus kontinum . Kurikulum, juga me-rupakan perwujudan penerapan teori baik yang terkait dengan bidang studi maupun yang terkait dengan konsep, penentuan, pengembangan desain, implementasi, dan evaluasiya. Oleh karna itu, ia merupakan rencana pengajaran dan sistem yang berisi tujuan yang ingin dicapai, bahan yang akan disajikan, kegiatan pengajaran, alat-alat pengajaran, dan jadwal waktu pengajaran. Sebagai suatu sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem organisasi sekolah yang menyangkut penentuan kebijakan kurikulum, susunan personalia dan prosedur pengembangan-nya, penerapan, evaluasi dan penyempurnaannya
Dalam konteks pendidikan Nasional, kurikulum adalah rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimiliki berdasarkan standar nasional, materi yang perlu dipelajari dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai kemampuan tersebut, dan evaluasi yang perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pencapaian kemampuan peserta didik, serta seperangkat peraturan yang berkenaan dengan pengalaman belajar peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya pada satuan pendidikan tertentu.
Dalam Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa kuriku¬lum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan lahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Rumusan ini lebih spesifik mengandung pokok - pokok pikiran, sebagai berikut :
1. Kurikulum merupakan suatu rencana/perencanaan;
2. Kurikulum merupakan pengaturan, yang sistematis dan terstruktur;
3. Kurikulum memuat isi dan bahan pelajaran bidang pengajaran tertentu;
4. Kurikulum mengandung cara, metode dan strategi pengajaran;
5. Kurikulum merupakan pedoman kegiatan belajar mengajar;
6. Kurikulum, dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan;
7. Kurikulum merupakan suatu alat pendidikan.

Rumusan tersebut menjadi lebih jelas dan lengkap, karena suatu kurikulum harus disusun dengan memperhatikan berbagai faktor penting. Dalam undang-undang telah dinyatakan, bahwa: “Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.”

B. KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan di Indonesia, meskipun secara yuridis formal, kebijakan dan per-undangannya dibentuk setelah kemerdekaan, mereka memiliki akar historis dan perjuangan yang panjang sejak era kolonial, bahkan prakolonial, secara langsung atau tidak telah mewarnai corak dan proses pengambilan keputusan atau policy pandidikan pasca penjajahan dan juga sampai sekarang ini yang mempengaruhi kebijakan pendidkan nasional.
Lembaga pendidikan Islam di Indonesia diakui oleh sejarah. Lembaga pendidik-an Surau di Sumatra sudah dikenal sejak abad ke tujuh, pesantren dan pengajian Al-Qur’an di masjid dan Surau adalah satu-satunya model pendidikan yang ada bagi rakyat biasa. Eksistensi ini tidak tergoyahkan meskipun kemudian disaingi oleh sekolah Belanda dan sekolah pribumi lainnya yang mengambil model sekolah Belanda. Kebijakan pendidikan Belanda merupakan kelanjutan dari kebijakan yang telah dimulai oleh orang-orang portugis yang lebih mengarah kepada kristenisasi. Kebijakan itu berubah dengan kehadiran Jepang yang lebih mengarah kepada Niponisasi.
Merefleksikan tahun 1994 yang lalu, bisa jadi merupakan satu periode penting dalam perkembangan madrasah di Indonesia. Pada tahun tersebut, Departemen Agama telah menetapkan berlakunya kurikulum baru (kurikulum 1994) yang mensyaratkan pelaksanaan sepenuhnya kurikulum sekolah-sekolah umum di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Berbeda dengan dengan kurikulum sebelumnya pada 1975, di mana madrasah memberikan 70 % mata pelajaran umum dan 30 % mata pelajaran agama Islam, maka pada kurikulum 1994 madrasah diwajibkan menyelenggarakan sepenuhnya (100%) mata pelajaran umum sebagai-mana diberikan di sekolah-sekolah umum di bawah Depdikbud. Karel A. Steinbrink, seorang sarjana yang telah melakukan kajian tentang sistem pendidikan di Indonesia, berpendapat bahwa madrasah, yang diharapkan menjadi perwujudan sintesa antara pesantren tradisional dengan sekolah umum tidak bisa berjalan dengan baik. Dia menulis seperti berikut ini : “………Kita masih tetap melihat adanya kecenderungan bagi studi agama dalam arti terbatas hanya pada lembaga pendidikan seperti pesantren dahulu, untuk mendidik fungsionaris agama. Hal ini disebabkan para murid yang datang ke pesantren hanya untuk mempelajari agama saja. Semua perkembangan ini menunjukkan bahwa konsep konvergensi sebagai banyak disinggung di muka tidak dapat diwujudkan. Sintesa tersebut ternyata lemah. Ia mungkin hanya berfungsi sebagai model peralihan dan bukan sebagai alat penghubungan yang permanen antara pesantren dan sekolah umum, menurut kriteria pengetahuan agama yang mendalam, madrasah tidak merupakan satu alternatif yang memuaskan. Pengetahuan umum yang diberikan di sana juga tidak memeneuhi syarat yang diminta yaitu madrasah tidak bisa dianggap sebagai “produk final”, akan tetapi hanya sebagai bentuk sementara saja .”
Penghapusan 30% mata pelajaran Islam bisa dilihat sebagai bentuk kegagalan madrasah mempertahankan identitasnya sebagai lembaga pendidikan yang berusaha memadukan pendidikan ilmu-lmu Islam dan ilmu-ilmu modern. Ada dualisme pen-didikan tradisional dan modern merupakan ciri menonjol dan permanen. Dunia pesantren akan terus bertahan dengan sistem pendidikan tradisional-keagamaannya dan sekolah umum akan terus bergerak menjadi lembaga pendidikan modern yang terlepas dari unsur formal keagamaan; sementara madrasah akan kehilangan signifikansinya dalam masyarakat Indonesia.
Begitu pula hal yang sama juga bisa dilihat di awal abad ke-20. Pada periode ini, kebangkitan gerakan-gerakan Islam modern berlangsung sejalan dengan, atau berkaitan erat dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam. Pada periode inilah lembaga pendidikan Islam madrasah sebagaimana kita kenal dewasa ini mulai berdiri. Sistem madrasah didirikan sebagai bentuk pembaharuan terhadap sistem pendidikan tradisional, khususnya pesantren di Jawa dan surau di Minangkabau. Sistem pendidikan tradisional ini, bagi para tokoh Muslim saat itu, tidak lagi memadai bagi perkembangan sosial yang berlangsung di tengah masyarakat menyusul modernisasi yang diperkenalkan pemerintah Belanda. Oleh karena itu, mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah. Dalam madrasah, tidak seperti halnya di pesantren dan surau, para siswa tidak saja diberi mata pelajaran yang berhubungan dengan masalah-masalah keagamaan, tapi juga mata pelajaran umum seperti bahasa Inggris dan Belanda dan ilmu-ilmu umum lain yang saat itu hanya diberikan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda.

C. PERKEMBANGAN BENTUK PENDIDIKAN ISLAM
1. Pendidikan Pada Masa Rasulullah
Perkembangan pendidikan Islam dimulai sejak Rasulullah mengajarkan kepada umatnya kebenaran Islam, baik dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun teerang-terangan. Demikian juga ketika masih berada di kota Makkah atau kota Madinah. Secara umum pendidikan pada masa Rasulullah dapat dibedakan menjadi dua periode: periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode pertama, yakni sejak Nabi diutus sebagai rasul hingga hijrah ke Madinah—kurang lebih sejak tahun 611-622 M. atau selama 12 tahun 5 bulan 21 hari–, sistem pendidikan Islam lebih bertumpu kepada Nabi. Bahkan, tidak ada yang mempunyai kewenangan untuk memberikan atau menentukan materi-materi pendidikan, selain Nabi. Nabi melakukan pendidikan dengan cara sembunyi-sembunyi terutama kepada keluarganya, disamping dengan berpidato dan ceramah ditempat-tempat yang ramai dikunjungi orang. Sedangkan materi pengajaran yang diberikan hanya berkisar pada ayat-ayat al-Qur’an sejumlah 93 surat dan petunjuk-petunjuknya (baca: sunnah dan hadist)
Sebelum kelahiran Islam, masa jahiliyah, “institusi” pendidikan kuttab telah berdiri . Masyarakat Hijaz telah belajar membaca dan menulis kepada masya-rakat Hirah, dan masyarakat Hirah belajar kepada masyarakat Himyariyin. Adapun orang yang pertama kali belajar membaca dan menulis diantara penduduk Makkah adalah Sufyan Ibn Umayah dan Abu Qais ibn ‘Abd al-Manaf, yang keduanya belajar kepada Bisyr ibn ‘Abd al-Malik. Kepada keduanyalah, penduduk Makkah belajar membaca dan menulis Oleh karena itu, agaknya dapat dipahami ketika Nabi menyiarkan ajaran Islam (tahun 610-an M), di masyarakat Quraisy, baru ada 17 laki-laki yang pandai baca-tulis dan 5 wanita.
Secara umum, materi al-Quran dan petuah-petuah Rasul itu menerangkan tentang kajian keagamaan yang menitikberatkan pada teologi dan ibadah, seperti beriman kepada Allah, para rasul-Nya, dan hari kemudian, serta amal ibadah, yaitu shalat. Zakat sendiri ketika itu belum menjadi materi pendidikan, karena zakat pada masa itu lebih difahami dengan sedekah kepada fakir miskin dan anak-anak yatim. Selain itu, materi akhlak juga telah diajarkan agar manusia ber-tingkah laku dengan akhlak mulia dan menjauhi kelakuan jahat. Adapun materi-materi scientific belum dijadikan sebagai mata pelajaran. Nabi ketika itu hanya memberikan dorongan untuk memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan alam raya .
Pada periode di Madinah, tahun 622-632 M/1-11 H., usaha pendidikan Nabi yang pertama adalah membangun ‘institusi’ masjid. Melalui pendidikan masjid ini, Nabi memberikan pengajaran dan pendidikan Islam. Ia memperkuat persatuan di antara kaum muslim dan mengikis habis sisa-sisa permusuhan, terutama antar penduduk Anshar dan penduduk Muhajirin. Pada periode ini, ayat-ayat al-Quran yang diterima sebanyak 22 surat, sepertiga dari isi al-Quran.
Secara umum, materi pendidikan berkisar pada empat bidang: pendidikan keagamaan, pendidikan akhlak, pendidikan kesehatan jasmani, dan pengetahuan yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Pada bidang keagamaan tediri dari keimanan dan ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan zakat. Pendidikan akhlak lebih menekankan pada penguatan basis mental yang telah dilakukan pada periode Makkah. Pendidikan kesehatan jasmani lebih ditekankan pada penerapan dari nilai-nilai yang dipahami dari amaliah ibadah, seperti makna wudlu, shalat, puasa, dan haji. Sedangkan pendidikan yang berkaitan dengan kemasyarakatan meliputi pada bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Masyarakat diberi pen-didikan oleh rasul tentang kehidupan berumah tangga, warisan, hukum perdata dan pidana, perdagangan, dan kenegaraan serta lain-lainnya.
Metode yang dikembangkan oleh Nabi dalam bidang keimanan adalah tanya jawab dengan perasaan yang halus dan didukung bukti-bukti rasional dan ilmiah. Batasan rasional dan ilmiah di sini dipahami menurut kemampuan pikiran orang yang diajak dialog. Metode pendidikan yang dipakai pada materi ibadah biasanya menggunakan metode peneladanan, yakni Nabi memberikan contoh dan petunjuk serta amalan yang jelas sehingga masyarakat mudah untuk menirunya. Sedang-kan pada bidang akhlak, Nabi membacakan ayat-ayat al-Quran yang berisi kisah-kisah umat terdahulu yang kemudian dijabarkan makna dari kisah-kisah itu. Sungguhpun demikian, pada materi akhlak ini, Nabi lebih menitikberatkan pada metode peneladanan. Nabi tampil dalam kehidupan sebagai orang yang memiliki kemuliaan dan keagungan, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun tindakan-nya .

2. Pendidikan Pada Masa Khulafaur Rasyisin
Sistem pendidikan Islam pada masa khulafa al-Rasyidin dilakukan secara mandiri, tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah Umar ibn Khattab yang turut campur dalam menambahkan kurikulum di lembaga kuttab. Para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majlis pendidikan masing-masing, sehingga, pada masa Abu Bakar misalnya, lembaga pendidikan kuttab mencapai tingkat kemajuan yang berarti. Kemajuan lembaga kuttab ini terjadi ketika masyarakat muslim telah menaklukkan beberapa daerah dan menjalin kontak dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Lembaga pendidikan ini menjadi sangat penting sehingga para ulama berpendapat bahwa mengajarkan al-Quran merupakan fardlu kifayah.
Menurut Mahmud Yunus, ketika peserta didik selesai mengikuti pendidikan di kuttab mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih “tinggi”, yakni di masjid. Di masjid ini, ada dua tingkat, yakni tingkat menengah dan tingkat tinggi. Yang membedakan di antara pendidikan itu adalah kualitas gurunya. Pada tingkat menengah, gurunya belum mencapai status ulama besar, sedangkan pada tingkat tinggi, para pengajarnya adalah ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan integritas kesalehan dan kealiman yang diakui oleh masyarakat .
Pada lembaga pendidikan kuttab dan masjid tingkat menengah, metode pengajaran dilakukan secara seorang demi seorang–mungkin dalam tradisi pesantren, metode itu biasa disebut sorogan , sedangkan pendidikan di masjid tingkat tinggi dilakukan dalam salah satu halaqah yang dihadiri oleh para pelajar secara bersama-sama .
Pusat-pusat pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin tidak hanya di Madinah, tetapi juga menyebar di berbagai kota, seperti kota Makkah dan Madinah [Hijaz], kota Bashrah dan Kufah [Irak], kota Damsyik dan Palestina [Syam], dan kota Fistat [Mesir]. Di pusat-pusat daerah inilah, pendidikan Islam berkembang secara cepat.
Materi pendidikan yang diajarkan pada masa Khalifah al-Rasyidin sebelum masa Umar ibn Khattab (w. 32 H. /644 M.), unruk kuttab, adalah [a] belajar membaca dan menulis, [b] membaca al-Qur’an dan menghafalnya, [c] belajar pokok–pokok agama Islam, seperti cara wudhu’, shalat, puasa, dan sebagainya. Ketika Umar ibn Khattab diangkat menjadi khalifah, ia menginstruksikan kepada penduduk kota agar anak-anak diajarkan [a] berenang, [b] mengendarai onta, [c] memanah, [d] membaca dan menghafal syair-syair yang mudah dan peribahasa . Sedangkan materi pendidikan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari [a] al-Qur’an dan tafsirnya, [b] hadits dan mengumpulkannya, [c] dan fiqh (tasyri). Ilmu-ilmu yang dianggap duniawi dan ilmu filsafat belum dikenal sehingga pada masa itu tidak ada. Hal ini di mungkinkan mengingat konstruk sosial-masyarakat ketika itu masih dalam pengembangan wawasan keislaman yang lebih di fokuskan pada pemahaman al-Quran dan Hadits secara literal.

3. Pendidikan Pada Masa Bani Umaiyah
Secara esensial, pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Hanya saja memang ada sisi perbedaan dan perkembangannya sendiri. Perhatian para raja di bidang pendidikan agaknya kurang memperlihatkan pada perkembangannya yang maksimal, sehingga pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir-hampir tak ditemukan. Jadi, sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah
Ada dinamika tersendiri yang menjadi karakteristik pendidikan Islam masa ini, yakni dibukanya wacana kalam (baca: disiplin teologi) yang berkembang ditengah-tengah masyarakat. Sebagaimana dipahami dari konstruksi sejarah bani Umayyah–yang bersamaan dengan kelahirannya hadir pula tentang polemik tentang orang yang berbuat dosa besar , wacana kalam tidak dapat dihindari dari perbincangan kesehariannya, meskipun wacana ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor politis. Perbincangan ini kemudian telah melahirkan sejumlah kelompok yang memiliki paradigma berfikir secara mandiri.
Oleh karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politis dan golongan maka didunia pendidikan, terutama didunia sastra, sangat rentan dengan identitasnya masing-masing. Sastra Arab, baik dalam bidang syair, pidato (khitabah), dan seni prosa, mulai menunjukkan kebangkitannya. Para raja mempersiapkan tempat balai-balai pertemuan penuh hiasan yang indah dan hanya dapat dimasuki oleh kalangan sastrawan dan ulama-ulama terkemuka. Menurut Muhammad ‘Athiyah al-abrasyi. Balai-balai pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan;seseorang yang masuk dimana khalifah hadir, mestilah berpakaian necis, bersih dan rapi, duduk ditempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak dan tidak meludah dan tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanyai. Ia tidak boleh bersuara keras dan harus belajar menjadi pendengar yang baik, sebagaiman ia harus belajar bertukar kata dengan sopan dan memberi kesempatan kepada si pembicara menjelaskan pembicaraannya, serta menghindari penggunaan kata-kata yang kasar dan gelak-tertawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini, disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan” .
Pada zaman ini, juga dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, falak, ilmu tatalaksana, dan seni bangunan. Pada umumnya, gerakan penerjemahan ini terbatas kepada orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal, orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid, cucu dari Muawiyah .
ilmu tafsir juga tetap menjadi bahan kajian' Ilmu ini semakin menjadi niscaya dan memiliki makna yang strategis. Di samping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena banyak orang yang masuk Islam. Hal ini mengakibatkan pencemaran bahasa al-Quran dan pemaknaan al-Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Pencemaran al-Quran juga disebabkan oleh karena faktor interpretasi yang didasarkan pada kisah-kisah Israiliyat dan Nasraniyat. Bersamaan dengan itu, berkembang ilmu nahwu yang digunakan untuk memberikan tanda baca, pencatatan kaidah-kaidah bahasa, dan periwayatan bahasa. Sungguhpun terjadi perbedaan mengenai penyusun ilmu nahwu, tetapi disiplin ilmu ini menjadi ciri kemajuan tersendiri pada masa ini .
Selain disiplin ilmu tafsir, hadits dan ilmu hadits pada masa ini juga men-dapat perhatian secara serius. Periwayatan hadits sehingga dapat dipertanggung jawabkan baik secara ilmiah maupun secara moral mendapat perhatian luas. Namun, keberhasilan yang diraihnya adalah semangat untuk mencari hadits, belum mencapai pada tahap kodifikasi. Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz yang memerintah hanya dua tahun, yakni tahun 99-101 H./717-720 M., pernah mengirim surat pada Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amir ibn Ham dan kepada ulama-ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadits-hadits. Akan tetapi, hingga dengan masa akhir kepemerintahannya, hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian, perintah Umar ibn al-Aziz telah melahirkan metode pen-didikan alternatif, yakni para ulama mencari hadits ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal dengan metode rihlah.
Di bidang hukum fiqh, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua blok, yaitu aliran ahli al-ra’y dan aliran ahl al-hadits. Aliran pertama mengem-bangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi (baca: qiyas) bila terdapat masalah yang belum ditentukan hukumnya. Aliran ini berkembang di Irak yang dimotori oleh Syuriah ibn al-Harits (w. 78 H./697 M.), Alqamah ibn Qais (w. 62 H./681 M.), Masruq al-Ajda’ (w. 63 H./682 M.), al-Aswad ibn Yazid (w. 95 H./913 M.), yang kemudian diikuti oleh Ibrahim al-Nakhai (w. 95 H./913 M.), dan Amr ibn Syurahbil al-Sya’by (w. 104 H./722 M.). Sesudah itu digantikan oleh Hammad ibn Abu Sulaiman (w. 120 H./737 M.), yang kemudian menjadi guru Abu Hanifah.
Aliran kedua, ahl al-hadits, lebih berpegang pada dalil-dalil secara literal, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat al-Quran atau hadits yang menerangkannya. Di antara pelopor aliran ini adalah Ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H./741 M.), dan Nafi’ Maula Abdullah ibn Umar (w. 117 H./735 M.) yang keduanya merupakan guru imam Malik ibn Anas (w. 117 H./735 M.)
Dinamika disiplin fiqh menunjukkan perkembangan yang sangat berarti dengan lahirnya mujtahid-mujtahid fiqh. Ketika akhir masa Umayyah, telah lahir tokoh madzhab fiqh yakni Imam Abu Hanifah di Irak (lahir 80 H./699 M.) dan Imam Malik ibn Anas di Madinah (lahir 96 H./714 M.), sedangkan Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal lahir pada masa Abbasiyah .
Di antara jasa dinasti Umayah dalam bidang pendidikan, menurut Hasan Langgulung, adalah menekankan ciri ilmiah pada masjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu dalam tahap perguruan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini, di masjid diajarkan beberapa macam ilmu, misalnya syair, sastra, kisah-kisah bangsa dulu, dan theologi dengan menggunakan metode debat. Dengan demikian, periode antara permulaan abad II H sampai akhir abad ketiga hijriah merupakan zaman pendidikan masjid yang paling cemerlang .

4. Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Charles Michael Stanton berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik Islam, penentuan sistem dan kurikulum pendidikan berada di tangan ulama, kelompok orang-orang yang berpengetahuan dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum , bukan ditentukan oleh struktur kekuasaan yang berkuasa. Agaknya, kesimpulan ini tidak dapat dipertahankan seutuhnya, terutama, ketika dihadapkan dengan kenyataan kasus lembaga pendidikan madrasah al-mustansiriyah. Sebagaimana hasil penelitian Hisam Nashabe, negara melakukan kontrol terhadap pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh madrasah itu, bahkan juga melakukan investigasi metode pengajarannya . Dengan intervensi semacam ini dimungkinkan negara (state) menetapkan struktur kurikulum yang dijalankan oleh lembaga-lembaga pendidikan di kalangan masyarakat luas.
Sekedar untuk menetralisasi perdebatan di atas, agaknya kesimpulan Stanton itu lebih ditujukan pada lembaga pendidikan yang tidak berbentuk madrasah, seperti kuttab. Sebab, sistem pendidikan yang dioperasikan oleh madrasah ternyata memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, baik kepentingan madzhab fiqh, teologi, atau kepentingan politis. Bahkan, dalam tradisi pendidikan klasik, madrasah itu dibangun atas dasar wakaf seseorang yang dalam ke-biasaannya memang menargetkan tujuannya masing-masing .
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, seorang ahli pendidikan Islam alumni Universitas Thantha, dalam tesisnya menyebutkan tujuh ‘lembaga’ pendidikan yang telah berdiri pada masa Abbasiyah ini, terutama pada abad ke-4 Hijriyah. Ketujuh lembaga itu adalah lembaga pendidikan dasar [al-kuttab], lembaga pendidikan masjid [al-masjid], kedai pedagang kitab, [al-hawanit al-waraqin], tempat tinggal para sarjana [manazil al-‘ulama], sanggar seni dan sastra [al-shalunat al-adabiyah, perpustakaan [dawr al-kutub wa dawr al-‘ilm], dan lembaga pendidikan sekolah [al-madrasah] .
Semua ‘institusi’ itu memiliki karakteristik tersendiri dan kajiannya masing-masing. Sungguhpun demikian, secara umum, seluruh lembaga pendidikan itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkat. Pertama, tingkat rendah yang terdiri dari kuttab, rumah, toko, dan pasar, serta istana. Kedua, tingkat sekolah menengah yang mencakup masjid, dan sanggar seni, dan ilmu pengetahuan, sebagai lanjutan pelajaran di kuttab. Ketiga, tingkat perguruan tinggi yang meliputi masjid, madrasah, dan perpustakaan, seperti Bait al-Hikmah di Baghdad dan Dar al-‘ulum di Kairo.
Pada tingkat pertama, yakni tingkat pendidikan rendah, kurikulum yang diajarkannya meliputi : membaca al-quran dan menghafalnya, pokok-pokok agama Islam, seperti wudlu, shalat, dan puasa, menulis, kisah orang-orang yang besar, membaca dan menghafal syair-syair, berhitung, dan pokok-pokok nahwu dan shorof alakadarnya. Sungguhpun demikian, kurikulum seperti ini tidak dapat dijumpai di seluruh penjuru, tetapi masing-masing daerah terkadang berbeda. seperti pendapat Ibn Khaldun yang dikutip oleh Hasan ‘Abd al-‘Al, di Maroko (Maghribi) hanya diajarkan al-Quran dan rasm (tulisan)nya. Di Andalusia, diajarkan al-Quran dan menulis serta syair, pokok-pokok nahw dan sharf serta tulisan indah (khath). Di Tunisia (Afriqiah) diajarkan al-Quran, hadits dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi lebih mementingkan hafalan al-Quran .
Waktu belajar di kuttab dilakukan pada pagi hari hingga waktu shalat Ashar mulai hari Sabtu sampai dengan hari Kamis. Sedangkan hari Jum’at merupakan hari libur. Selain hari Jum’at, hari libur juga pada setiap tanggal 1 Syawal dan tiga hari pada hari raya Idhul Adha. Jam pelajaran biasanya dibagi tiga. Pertama, pelajaran al-Quran dimulai dari pagi hari hingga waktu Dhuha. Kedua, pelajaran menulis dimulai pada waktu Dhuha hingga waktu Zhuhur. Setelah itu anak-anak diperbolehkan pulang untuk makan siang. Ketiga, pelajaran ilmu lain, seperti nahwu, bahasa Arab, syair, berhitung, dan lainnya, dimulai setelah Zhuhur hingga akhir siang [Ashar] . Pada tingkat rendah ini, tidak menggunakan sistem klasikal, tanpa bangku, meja, dan papan tulis. Guru mengajar murid-muridnya dengan berganti-ganti satu persatu. Begitu juga tidak ada standar buku yang dipakai.
Pada jenjang pendidikan dasar, metode yang dipakai adalah metode pengulangan dan hafalan. Artinya, guru mengulang-gulang bacaan al-Quran didepan murid dan murid mengikutinya yang kemudian diharuskan hafal bacaan-bacaan itu. Bahkan, hafalan ini tidak terbatas pada materi-materi al-Quran atau hadits, tetapi juga pada ilmu-ilmu lain . Tak terkecuali untuk pelajaran syair, guru mengungkapkan syair dengan lagu (wazn) yang paling mudah sehingga murid mampu menghafalkannya dengan cepat.
Pada jenjang pendidikan menengah disediakan pelajaran al-Quran, bahasa Arab dan kesusasteraan, fiqh, tafsir, hadits, nahw/sharf/balaghah, ilmu-ilmu eksakta, mantiq, falak, tarikh, ilmu-ilmu kealaman, kedokteran, dan musik . Seperti halnya pendidikan rendah, kurikulum jenjang pendidikan menengah dibeberapa daerah juga berbeda.
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, metodologi pengajaran disesuaikan dengan materi yang bersangkutan. Menurutnya, secara garis besar metode pengajaran dibedakan menjadi dua. Pertama, metode pengajaran bidang keagamaan [al-manhaj al-diniy al-adabiy] yang diterapkan pada materi-materi berikut: Fiqh [‘ilm al-fiqh], tata bahasa [‘ilm al-Nahw], theologi [‘ilm al-kalam], menulis [al-kitabah], Lagu [‘arudh], sejarah [‘ilm al-akhbar terutama tarikh]. Kedua metode pengajaran bidang intelektual [alm manhaj al’ilmiy al-adabiy] yang meliputi olahraga [al-riyadhah], ilmu-ilmu eksakta [al-thabi’iyah], filsafat [al-falasafah], kedokteran [thibb], dan musik yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, serta ilmu-ilmu kebahasaan dan keagamaan yang lain .
Jenjang pendidikan tingkat tinggi tampaknya memiliki perbedaan di masing-masing lembaga pendidikan. Namun, secara umum lembaga pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama serta bahasa dan sastra Arab. Fakultas ini mengkaji ilmu-ilmu berikut: Tafsir al-Quran, Hadits, Fiqh dan Ushul al-Fiqh, Nahw/Sharf, Balaghah, bahasa dan satra Arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah [filsafat]. Fakultas ini mempelajari ilmu-ilmu berikut: manthiq, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu eksakta, ilmu ukur, falak, ilmu-ilmu teologi, ilmu hewan, ilmu-ilmu nabati, dan ilmu kedokteran .
Semua mata pelajaran ini diajarkan di perguruan tinggi dan belum diadakan spesialisasi mata pelajaran tertentu. Spesialisasi itu ditentukan setelah tamat dari perguruan tinggi, berdasarkan bakat dan kecenderungan masing-masing sesudah praktek mengajar beberapa tahun. Hal ini dibuktikan oleh Ibn Sina, sebagaimana diterangkan dalam karya Thabaqat athibba, bahwa setelah Ibn Sina menamatkan pendidikan tingkat menengah dalam usia 17 tahun, ia belajar lagi selama 1,5 tahun. Ia mengulang membaca mantiq dan filsafat kemudian ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu kealaman. Kemudian ia mengkaji ilmu ketuhanan dengan membaca kitab Ma Wara al-Thabi’ah (metafisika) karya Aristoteles, juga karya-karya al-Farabi. Ibn Sina mendapat kesempatan membaca literatur-literatur di perpustakaan al- Amir, seperti buku-buku kedokteran, bahasa Arab, syair, fiqh, dan sebagainya. Literatur-literatur itu dibacanya sehingga ia mendapat hasil yang memuaskan. Ia selesai studi disana dalam usia 18 tahun. Hal ini seperti berlaku juga kepada orang lain .
Metode yang dipakai dalam lembaga pendidikan tingkat tinggi adalah halaqah. Guru duduk diatas tikar yang dikelilingi oleh para mahasiswanya. Guru memberikan materi kepada semua mahasiswa yang hadir. Jumlah mahasiswa yang mengikuti tergantung kepada guru yang mengajar. Jika guru itu ulama besar dan mempunyai kredibilitas intelektual maka para mahasiswanya banyak. Akan tetapi, jika sebaliknya niscaya sepi dari para mahasiswa, bahkan mungkin jadi halaqah-nya ditutup.
Menurut Charles Michael Stanton, sebelum guru menyampaikan materi, ia terlebih dahulu menyususn ta’liqah. Ta’liqah ini memuat silabus dan uraiannya yang disusun oleh masing-masing tenaga pengajar berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadi mahasiswa, hasil bacaan, dan pendapatnya tentang materi yang bersangkutan. Ta’liqah mengandung rincian-rincian materi pelajaran dan dapat disampaikan untuk jangka waktu empat tahun. Mahasiswa menyalin ta’liqah itu dalam proses dikte, bahkan kebanyakan mereka betul-betul menyalin. Akan tetapi, sebagian yang lain, menambahkan pada salinan ta’liqah ini dengan pendapatnya sendiri-sendiri sehingga ta’liqah nya merupakan refleksi pribadi tentang materi kuliah yang disampaikan gurunya .
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, metode pendidikan yang dilakukan pada jenjang tingkat tinggi ini meliputi metode-metode sebagai berikut. Pertama, metode ceramah [al-muhadlarah]. Dalam metode ini, guru menyampaikan materi kepada semua mahasiswa dengan diulang-ulang sehingga mahasiswa hafal terhadap apa yang dikatakannya. Pada metode ini, terbagi menjadi dua cara, metode dikte [al-imla] dan metode pengajuan kepada guru [al-qiraat ‘ala al syaikh aw al-‘ardl]. Kedua, metode diskusi [al-munadzarah]. Metode ini digunakan untuk menguji argumentasi-argumentasi yang diajukan sehingga dapat teruji. Metode ini oleh kalangan Mu’tazilah menjadi salah satu pilar yang sangat penting dalam sistem pendidikannya. Ketiga, metode koresponden jarak jauh [al-ta’lim bi al-murasilah]. Metode ini merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para mahasiswa yang menanyakan suatu masalah kepada guru yang jauh secara tertulis, lalu guru itu memberikan jawabannya secara tertulis pula. Keempat, metode rihlah ilmiah. Metode in dilakukan oleh para mahasiswa baik secara pribadi maupun secara berkelompok dengan cara mendatangi guru dirumahnya—yang biasanya jarak jauh—untuk berdiskusi tentang suatu topik. Guru yang didatangi biasanya adalah guru yang dianggap memiliki keahlian dalam bidangnya .
Mahasiswa yang telah menamatkan pendidikannya diberikan ijazah. Mahasiswa itu telah lulus ujian dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika munaqasyah. Ijazah terkadang dalam bentuk lisan dan dalam bentuk tulisan. Ijazah ini tidak diberikan oleh sekolah, tetapi oleh guru yang mengajarinya. Dengan diberikannya ijazah berarti yang bersangkutan diperbolehkan meriwayatkan atau menyampaikan pelajaran kepada mahasiswa yang lain .
Di masa pemerintahan Wazir Nizam al Mulk, berkembang pendidikan yang lebih modern yaitu Nidzamiyyah. Madrasah Nidzamiyyah merupakan lembaga pendidikan yang terstruktur, manajemen dan administrasinya sangat tertata dengan baik. Dengan sistem sentralistik, semua kurikulum, metode pembelajar-an, sistem belajar, pengangkatan guru dan semua keperluan madrasah diatur oleh Pusat. Hal itu menjadikan tidak sembarangan orang bisa menjadi guru di Madrasah Nidzamiyyah, karena pusat melakukan seleksi yang sangat ketat.
Menurut Toha Hamim (2007) jangankan melamar menjadi guru, melamar untuk menjadi murid-pun harus melalui seleksi yang tidak mudah, sehingga pelajar yang diterima Madrasah Nidzamiyyah adalah mereka yang betul-betul handal. Bahkan disebutkan, bahwa Imam al-Ghazali baru bisa masuk ke Madrasah Nidzamiyyah setelah umur 21 tahun dengan proses seleksi dan tes masuk yang sangat ketat, sehinga saat itu Madrasah Nidzamiyyah betul-betul menjadi madrasah yang favorit dan bonafit .
Para pelajar Madrasah Nidzamiyyah mendapat berbagai fasilitas dan kemudahan (beasiswa dan jaminan kesejahteraan), terlebih bagi mereka yang berprestasi. Madrsah Nidzamiyyah menyediakan buku literatur diperpustakaan lebih dari 6000 judul buku. Demikian juga dengan para guru atau Syechpun mendapat perhatian khusus.
Di antara Guru Besar Universitas Nidzamiyah adalah Imam Haramain, tempat di mana Imam al-Ghazali pernah menimba ilmu. Ia dijuluki Imam Haramain karena pernah tinggal di dua kota suci, Makkah dan Madinah. Ulama ini bernama lengkap Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwanini An-Nisaburi. Dia dilahirkan di Bustanikan, Nisabur, pada 12 Pebruari 1058. Pendidikan pertamanya didapatkan dari ayahnya yang bernama Syekh Abdullah, seorang keturunan Arab berdarah bangsawan. Di samping itu, Al-Juwaini juga menimba ilmu di sekolah agama yang berada di wilayah tempat tinggalnya .
Madrasah Nizamiyah merupakan perguruan pertama Islam yang mengguna-kan sistem sekolah. Artinya, dalam Madrasah Nizamiyah telah ditentukan waktu penerimaan siswa, test kenaikan tingkat dan juga ujian akhir kelulusan. Selain itu, Madrasah Nizamiyah telah memiliki manajemen tersendiri dalam pengelolaan dana, memiliki kelengkapan fasilitas pendidikan-dengan perpustakaan yang berisi lebih dari 6000 judul buku yang telah diatur secara katalog dan juga laboratorium, memiliki sistem perekrutan tenaga pengajar yang ketat dan pemberian bea siswa untuk yang berprestasi. Sehingga Charles Michael Stanton menyatakan bahwa Madrasah Nizamiyah merupakan Perguruan Islam modern yang pertama .
Meski Madrasah Nizamiyah memiliki spesifikasi pada kajian teologi dan hukum Islam, namun dalam kurikulum yang digunakan terdapat pula perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fiqh, kalam dan lainnya) dan disiplin ilmu aqliyah (filsafat, logika, matematika, kedokteran dan lailnnya). Bahkan, pada masa itu, kurikulum Nizamiyah menjadi kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya.
Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian 'serius' dari pemerintah. Sehingga kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan pribadi dan istana pun terbuka untuk umum . Namun setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M, dunia pendidikan Islam pun mengalami kemunduran dan kejumudan. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami distorsi besar-besaran. Dari serbuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada.

5. Pendidikan Pada Masa Muhammad bin Abduh
Muhammad Abduh Ibn Hasan Khairullah, lahir di sebuah desa di propinsi Gharbiyyah pada tahun 1265 H/1849 M.Salah satu gebrakan Abduh sepanjang karirnya adalah dalam pembaharuan pendidikan. Abduh menjelaskan bahwa pen-didikan itu penting sekali sedangkan ilmu pengetahuan itu wajib dipelajari.
Munculnya pemikiran Abduh tentang pendidikan dilatarbelakangi oleh kondisi social dan pemahaman keagamaan umat Islam Mesir waktu itu. Kondisi tersebut ditandai dengan pemikiran yang statis dan jumud, suburnya taqlid, khurafat, bid’ah, serta system pendidikan yang bersifat dualistic. Kondisi yang sesungguh-nya tidak menguntungkan umat Islam, baik syariat, akidah, moral, maupun system kemasyarakatan.
Di Mesir waktu itu terdapat dua system pendidikan yang satu dengan yang lain sulit untuk dikompromikan. Pertama, Sistem pendidikan yang berorientasi pada agama dan menutup diri terhadap system pendidikan modern, sebagaimana yang dikembangkan oleh Barat. Model seperti ini masih terlihat di pendidikan al-Azhar. Wacana pendidikan agama berada pada posisinya yang tradisional, baik system, kurikulum, materi pendidikan yang berlindung pada warisan literature abad pertengahan. Pendekatan yang demikian menurut Abduh tidak relevan lagi dengan perkembangan ilmu dewasa ini. Karena, metode tersebut merusak tumbuhnya dya nalar (intelektual) peserta didik. Dalam bukunya al-A’mal al-Kamila, Abduh menawarkan pembaharuan intelektual dan renaisans Islam. Maka dari itu, Abduh mencoba menawarkan metode pendidikan yang lebih dinamis dan kondusif bagi pengembangan intelektual peserta didik.
Kedua, system pendidikan menekankan pada aspek kualitas. Model pen-didikan ini berorientasi pada pengembangan ilmu-ilmu modern dan menutup diri dari jamahan ilmu-ilmu agama. Melihat system pendidikan yang terkotak-kotak, maka Abduh mencoba mencairkan kristal pemahaman dikotomik yang selama ini menghantui umat Islam. Upaya tersebut ditujukan guna menyelamatkan umat Islam dari keterbelakangan, terutama dalam membangun wacana kebudayaan kekinian, melalui system pendidikannya yang integral.
Abduh juga memperjuangkan system pendidikan fungsional yang bukan import, yang mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semuanya harus mempunyai kemampuan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung.
Yang menjadi pertanyaan adalah adakah relevansi pemikiran Abduh dengan pendidikan Islam dewasa ini ?
Pengembangan kualitas manusia dalam kehidupan menurut ajaran Islam haruslah merupakan sintesa dialektika perkembangan dunia dimana ia berada, dengan wahyu ilahiah. Dari interaksi pluraistik itu memungkinkan manusia me-merlukan bantuan orang lain (proses pendidikan). Sedangkan proses pendidikan harus membantu peserta didik untuk mampu berinteraksi secara social dan memanfaatkan alam bagi kehidupannya. Dengan demikian, kebudayaan dan peradapan akan lahir dari hasil proses akumulasi perjalanan kehidupannya. Sudah saatnya bahwa pendidikan perlu dikaji ulang agar bias dan benar-benar mampu berfungsi untuk menumbuhkan daya kreativitas peserta didik yang menunjang kualitas pendidikan, sekaligus melestarikan nilai-nilai Ilahi dan insani serta membekalinya dengan kemampuan yang produktif dan berkualitas.
Abduh memberikan gambaran dan tujuan yang nyata tentang pendidikan, melalui pemikiran-pemikirannya ternyata sangat cocok dan relevan dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini. Pemikiran Abduh secara nyata memberikan peluang seluas-luasnya kepada proses kerja akal untuk berkreasi semaksimal mungkin tanpa ada kekangan dan doktrin-doktrin yang memper-sempit ruang gerak akal.
Bahwa pendidikan bukan hanya milik sekelompok orang, tanpa memandang perbedaan keyakinan, jenis kelamin, suku dan Negara. Sangatlah relevan dengan kebutuhan zaman sekarang, bahwa persaingan untuk mendapatkan pendidikan sangat terbuka luas, tanpa memandang jenis kelamin, suku, bangsa, kaya dan miskin semua mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan.

BAB IV
PENGARUH TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP PENGEMBANGAN KURIKULUM

A. KURIKULUM DAN TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Kurikulum bagi sebuah system pendidikan merupakan komponen yang utama – keberhasilan suatu pendidikan salah satunya ditentukan oleh kualitas kurikulum yang ditetapkan atau digunakan dalam proses pembelajaran. Hal tersebut karena kurikulum diasumsikan sebagai rencana pendidikan atau pengajaran, yang terdiri dari empat komponen, yaitu: mengajar (kegiatan professional guru terhadap murid), belajar (kegiatan responsi siswa terhadap guru), pembelajaran (interaksi antara guru murid pada proses belajar mengajar) dan kurikulum (pedoman proses belajar mengajar), sehingga secara langsung atau tidak langsung kurikulum merupakan dokumen tertulis dan sekaligus merupakan rencana pendidikan yang given di sekolah. Tetapi, kurikulum tidak hanya dinilai dari segi dokumen dan rencana pendidikan, karena ia harus memiliki fungsi operasional kegaiatan belajar mengajar, dan menjadi pedoman bagi pengajar maupun peserta didik.
Dalam perspektif filosofis, pemikiran-pemikiran yang berkembang di seputar bagaimana menyiapkan konsep pendidikan yang berdimensi kebijaksanaan (hikmah) menjadi agenda tersendiri untuk menyiapkan perangkat pendidikan yag humanis, jujur dan spiritualis. Pakar filsafat pendidikan Islam membedakan tipologi filsafat pendidikan menjadi beberapa tipologi, yaitu :
1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi – tipe perennial-esensialis salafi lebih menonjol-kan wawasan kependidikan Islam era salafi, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat), karena mereka dipandang sebagai masyarakat yang ideal.
2. Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi adalah tipologi yang lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan kecendrungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan.
3. Tipologi Modernis - lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang bebas, modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan rekontruksi pengalaman yang terus menerus, agar dapat berbuat sesuatau yang intelligent dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.
4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif – mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukian kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan social yang ada.
5. Tipologi Rekontruksi Sosial Berlandaskan Tauhid - cocok untuk diterapkan pada masyarakat atau daerah yang berkeinginan dan potensial untuk maju, dan pada masyarakat yang warganya bersikap individualis dan egois, atau terjangkit penyakit social.

B. PENGARUH TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PENGEMBANG-AN KURIKULUM
Sadar atau tidak pengembangan kurikulum sangat dipengaruhi oleh latar belakang filosofis yang mempengaruhi pengambil kebijakan pendidikan. Dewasa ini dikembangkan lebih kuat kepada keberhasilan siswa yang memiliki life skill atau keahlian hidup tertentu dalam pendidikan, sehingga kurikulum yang dikembangkan pun mengarah bagaimana pendidikan memberikan bekal ketrampilan hidup yang dapat digunakan oleh siswa untuk bertahan hidup, maka SMK menjadi salah satu primadona pengembangan pendidikan dengan kecenderungan kurikulum seperti itu. Disamping berkembang pemikiran bahwa dengan terbatasnya tempat pendidikan yang tersedia pada Perguruan Tinggi dan kurangnya kemampuan ekonomi yang dimiliki oleh peserta didik, maka opsi pengembangan ketrampilan menjadi lebih dominant, sekaligus untuk menyiapkan tenaga kerja yang memiliki ketrampilan memadahi.
Dalam perspektif Islam, pendidikan sangat erat kaitannya dengan pola pemikiran yang mendasari konsep keagamaan mereka. Jika mereka memiliki filosofi tradisionalis barangkali pengembangan kurikulum yang ada adalah untuk mengembangkan atau bahkan mempertahankan filosofi salaf, demikian juga mereka yang berpandangan khalaf, akan menjadikan tren pemikiran masa depan sebagai dasar pengembangan kurikulum. Madrasah sebagai kelanjutan cetak biru pendidikan Islam setelah tradisi kepesantrenan, memiliki peran yang penting untuk menunjukkan pola dan bentuk pengembangan kurukulum pendidikan Islam.
Dengan mendasarkan pemikiran pada polarisasi pendapat mengenai tipologi Filsafat pendidikan Islam, barangkali dapat ditemukan korelasi antara cara pandang filosofis seorang pendidik dalam menentukan muatan kurikulum yang didesain dan diaplikasikannya terutama perwujudannya dalam bentuk silabus dan rencana pelaksanaan pembelajarannya. Berikut ini bentuk pengaruh yang barangkali muncul berdasarkan tipologi Filsafat Pendidikan Islam yaitu :
1. Jika tipologi Perenial-Esensialis Salafi yang lebih menonjolkan wawasan kepen-didikan Islam era salafi, maka pengaruh yang nampak dalam format kurikulumnya adalah upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat), karena mereka dipandang sebagai masyarakat yang ideal.
Untuk mewujudkan tata nilai tersebut, maka metode-metode pembelajaran-nya biasa dilakukan melalui ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan, dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelas diarahkan kepada pembentukan karakter,keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur, tepat dan sesuai tatanan, teratur dalam jalankan tugas-tugasnya. Ujiannya menggunakan ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi belajar yang terstandarisasi dan tes kompetensi berbasis amaliah .
Dengan demikian orientasi pendidikan agama Islam diorientasikan pada: (a) membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa salaf al-shalih; dan (b) menjelaskan dan menyebar-kan warisan sejarah dan budaya salaf melalui sejumlah inti pengetahuan yang terakumulasi yang telah berlaku sepanjang masa dan karena itu penting diketahui oleh semua orang.

2. Format Perenial-Esensialis Mazhabi yang lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan kecendrungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relative mapan, akan melahirkan format kurikulum yang bersifat kaku dan terstruktur oleh kepentingan aliran atau mazhab.
Metode-metode pembelajaran yang biasa dilakukan adalah ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan dengan tolok ukur pandangan iman-iman mazhabnya, dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelas diarahkan kepada pembentukan karakter,keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur, tepat dan sesuai tatanan, teratur dalam jalankan tugas-tugasnya. Ujiannya menggunakan ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi belajar yang terstandarisasi dan tes kompetensi berbasis amaliah.
Berdasarkan tipologi di atas pendidikan diorientasikan pada: (a) membantu para peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebe-naran-kebenaran agama sebagai hasil interpretasi ulama pada masa pasca salaf al-shalih atau masa klasik dan pertengahan; (b) menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya yang dianggap mapan secara turun temurun, karena penting diketahui oleh semua orang .

3. Tipologi Modernis yang lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang bebas, modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, akan mengarahkan kurikulum pada pendidikan yang bersifat rekontruksi pengalaman yang terus menerus, meng-upgrade intelligent dan kemampuan mengadakan penyesuaian sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.
Tujuan pendidikan diorientasikan pada upaya memberikan ketrampilan-ketrampilan dan alat-alat kepada peserta didik yang dapat dipergunakan untuk berinteraksi dengan lingkungan yang selalu berada dalam proses perubahan.
Metode-metode pembelajarannya dilakukan melalui cooperative activities atau cooperative learning,metode project, dan/atau scientific method (metode ilmiah) ,yaitu dengan jalan mengidentifikasi masalah-masalah yang terkait dengan tema-tema tersebut ,merumuskan hipotesis, dan melaksanakan penelitian di lapangan . Manajemen kelasnya lebih diarahkan pada pemberian kesempatan kepada peserta didikuntuk berpartisipasi, keterlibatan aktif dalam pembelajaran, serta penciptaan proses belajar secara demokratis. Evaluasinya lebih banyak menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik mem punyai kelebihan-kelebihan tertentu, yang berbeda antara satu dengan lainnya.

4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif yang mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukian kontekstualisasi serta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang yang selaras dengan perkembangan zaman akan melahirkan konsep kurikulum yang kompromis yaitu memasukkan nilai etis dan modernitas.
Tujuan pendidikan yang didasarkan tipologitersebut adalah: (a) membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada salaf al-shalih atau masa klasik dan pertengahan; (b) menjelaqskan dan menyebarkan warisan ajaran dan nilai salaf atau para pendahulu yang dianggap mapan dalam uji sejarah. Evaluasinya lebih mengguna-kan evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu, yang berbeda antara satu dengan lainnya.

5. Tipologi Rekontruksi Sosial Berlandaskan Tauhid - cocok untuk diterapkan pada masyarakat atau daerah yang berkeinginan dan potensial untuk maju, dan pada masyarakat yang warganya bersikap individualis dan egois, atau terjangkit penyakit social. Tipologi tersebut akan mendorong munculnya kurikulum terutama kurikulum pendidikan agama mengarah kepedulian dan kesadaran peserta didik akan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia, yang merupakan bagian dari kewajiban dan tanggung jawab pemeluk agama Islam untuk memecahkan melalui da’wah bi al-hal,baik yang terkait dengan masalah social, ekonomi, politik dan budaya.
Kurikulumnya memusatkan perhatian pada masalah-masalah social dan budaya yang dihadapi masyarakat dan mengharapkan agar peserta didik dapat memecahkan masalah-masalah tersebut melalui pengetahuan dan konsep-konsep yang telah diketahui. Metode yang digunakan adlah simulasi, bermain peranan, internship, work study.

BAB V
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
Bahwa terdapat relevansi yang sangat jelas antara tipologi filsafat pendidikan Islam dengan pengembangan kurikulum. Kurikulum atau pengembangan kurikulum berdasarkan asumsi atau gagasan-gagasan mendasar berkaitan dengan pendidikan itu sendiri.
Secara umum bentuk pengaruh tipologi Filsafat Pendidikan Islam terhadap pengembangan kurikulum adalah sebagai berikut :
1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi (wawasan kependidikan Islam era salafi), memberi pengaruh kepada upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai, tradisi masyarakat salaf. Sedangkan bentuk metode pembelajarannya dilakukan melalui ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan, dan pemberian tugas-tugas dengan pola evaluasi diarahkan pada ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi belajar yang terstandarisasi dan tes kompetensi berbasis amaliah. Orientasi pendidikan agama diarahkan pada upaya membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa salaf al-shalih; dan menjelaskan dan menyebarkan warisan sejarah dan budaya salaf.
2. Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi (kependidikan Islam yang tradisional dan kecendrungan untuk mengikuti aliran, pemahaman atau doktrin), akan melahir-kan format kurikulum yang bersifat kaku dan terstruktur oleh kepentingan aliran atau mazhab. Metode-metode pembelajaran yang biasa dilakukan adalah ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan dengan tolok ukur pandangan iman-iman mazhabnya. Ujiannya menggunakan ujian-ujian essay, tes-tes diagnostic, tes prestasi belajar yang terstandarisasi dan tes kompetensi berbasis amaliah. Sedangkan orientasi pendidikannya mengarah pada upaya membantu para peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran agama sebagai hasil interpretasi ulama pada masa klasik dan pertengahan; dan menjelaskan dan menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya.
3. Tipologi Modernis (kependidikan Islam yang bebas, modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi perkembangan zaman), akan mengarahkan kurikulum pada pendidikan yang bersifat rekontruksi pengalaman, mengupgrade intelligent dan kemampuan mengadakan. Metode-metode pembelajarannya dilakukan melalui cooperative learning, metode project, dan atau scientific method (metode ilmiah). Evaluasinya lebih banyak menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu, yang berbeda antara satu dengan lainnya.

4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif (kependidikan kompromis masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasi-uji falsifikasi dan mengem-bangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa kekinian), akan melahirkan konsep kurikulum yang kompromis yaitu memasukkan nilai etis dan modernitas. Tujuan pendidikannya adalah: membantu peserta didik dalam menguak, mene-mukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada salaf al-shalih dan menjelaskan – menyebarkan warisan ajar. Bentuk evaluasinya lebih menggunakan evaluasi formatif, dengan asumsi bahwa setiap peserta didik mem-punyai kelebihan-kelebihan tertentu, yang berbeda antara satu dengan lainnya.

5. Tipologi Rekontruksi Sosial Berlandaskan (terapi untuk masyarakat maju, individualis dan patologis), akan mendorong munculnya kurikulum pendidikan agama mengarah kepedulian dan kesadaran peserta didik akan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia, sebagai kewajiban dan tanggung jawab keagamaan untuk memecahkan melalui da’wah bi al-hal (masalah social, ekonomi, politik dan budaya). Kurikulumnya memusatkan perhatian pada masalah-masalah social dan budaya yang dihadapi masyarakat dan mengharapkan agar peserta didik dapat memecahkan masalah-masalah tersebut melalui pengetahuan dan konsep-konsep yang telah diketahui. Metode yang digunakan adalah simulasi, bermain peranan, interpreneurship, work study.





DAFTAR KEPUSTAKAAN


Ahmad Syalabi, “Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah” diterjemahkan oleh Muchtar Jahja dan M. Sanusi Latief, sedjarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet. ke-1,
Albert Hourani, A History of the Arab Peoples, (Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 1991),
Asma Hasan Fahmi, “Mabadi al-Tarbiyah al-Islamiyah” diterjemahkan oleh Ibrahim Husein, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang , 1997), cet. ke-1,
Badr al-Din Ibn Jama’ah, Tadzkirat al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1354 H)
Charles Michael Stanton, “Higher Learning in Islam: The Classical Period, A.D. 700-1.300”, Terj. Affandi dan Hasan Asari, Pendidikan Tinggi dalam Islam: Sejarah dan Peranannya dalam Kemajuan dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Logos, 1994), cet. ke-1,
Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, (London: Routledge and Kegan Paul, 1975),
Johannes Pederson, “The Arabic Book”, diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman, Fajar Intelektulisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, (Bandung Mizan, 1996), cet. ke-1,
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet. ke-5,
Hasan ‘Abd al-‘Al, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi’ al-Hijriy, (ttp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tth)
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1998), cet. Ke-1
H. Ahmad Taufiq, Mengenang Dinasti Saljud dan Madrasah Nidzamiyyah" dalam http://www.misykat-kediri.co.cc/2009/04
Hisham Nashabe, "Muslim Educational Institution: a General Survey Followed by a Monografic Study of al-Madrasah al-Mustansiriyah in Baghdad", (Libanon: Libraire du Liban, 1989),
Husein Al-Kaff, "Kuliah Filsafat Islam " Materi disampaikan di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad) dimuat juga dalam http://aljawad.tripod.com/artikel/ filsafat_ilmu.htm.
Http://mazguru, wordpres, com/ Madrasah Nidzamiyyah Sejarah dan perkem-bangannya
http://bangjackq.blogspot.com/2009/05/perlunya pendidikharus filsafat/ pemikir-an pendidikan Islam
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), cet. ke-2,
M. Ajjaj al Khatib, " Ushul Hadits" (Beirut, Darl Fikr, TTh)
M. Khoirul Anam, "Melacak Paradigma Pendidikan Islam; Sebuah Upaya Menuju Pendidikan Yang Memberdayakan", dalam Http://re-search.com/mk-anam.html
Mukhlis Fahruddin, "Konsep Pendidikan dalam Al-Qur’an dan Pengembangannya dalam Menghadapi Problem Pendidikan dalam http://www.mukhlisfahruddin. web.id/ 2009/03/konsep-pendidikan-dalam-al-quran-dan_4555.html
Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasafatuha, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.),
Munir Mursiy, al-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-‘Arabiyah, (Kairo:’Alam al-Kutub, 1977),
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, “al-Tarbiyah al-Islamiyah”, diterjemahkan oleh Bustami A. Ghanidan Djohar Bahry, Dasar-dasar pokok pemikiran Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet. ke-7,
Muhammad Thanthawi, Nasy’at al-Nahw wa Tarikh Asyhur al-Nuhat, (ttp: Dar al-Manar, tth.),
Munawwar Chalil, Empat Biografi Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989).
Sistem, Metode, Dan Kurikulum Pendidikan Islam Klasik dalam http://suwendi 2000.wordpress.com/sistem-metode-dan-kurikulum-pendidikan-islam-klasik/
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), cet. ke-4,

Penddidikan Islam Klasik

ZABAZ

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA
DINASTI SALJUQ (1055-1258 M)



Disusun untuk memenuhi tugas Seminar Kelas mata kuliah
Pemikiran Pendidikan Islam Klasik Modern





Oleh :
I H S A N

Dosen Pembina
Prof.Dr. A. Samsul Anam, MA
Drs. H.M. Naim, M.Ag





UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2009

DAFTAR ISI



Halaman Judul 01
Daftar Isi 02

BAB I : PENDAHULUAN …………………………………………………………………… 03

BAB II : KEKAISARAN SALJUQ RAYA ………………….. ………….…………………. 05
A. ASAL USUL KEKAISARAN SALJUQ ……………………………………….. 05
B. MASA KEKUASAAN SALJUQ ……….………………………………………. 07

BAB III : PENDIDIKAN PADA MASA DAULAH SALJUQ……………………………….. 12
A. PENDIRI MADRASAH NIDZAMIYAH ………………………………………. 12
B. PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN NIDZAMIYYAH ……….. 15
C. NIDZAMIYYAH; TUJUAN DAN POLA PENDIDIKANNYA ……………. 17
1. Tujuan pendirian Madrasah Nidzamiyah ……………………………. 17
2. Guru dan Murid ………………………………………………………………. 19
3. Strategi dan Pola Pendidikan Madrasah Nidzamiyyah …………. 23
D. PENGARUH NIDZAMIYAH BAGI PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN
ISLAM …………………………………………………………………………………. 28
E. KERUNTUHAN MADRASAH NIDZAMIYYAH …………………………… 30

BAB IV : KESIMPULAN …..…………………………………………………………… 32

DAFTAR KEPUSTAKAAN 49

BAB I
PENDAHULUAN

Bangsa Turki mempunyai peran yang sangat penting dalam perkembangan kehudayaan Islam. Peran yang paling menonjol terlihat dalam politik ketika mereka masuk dalam barisan tentara profesional maupun dalam birokrasi pemerintahan yang hekerja untuk khalifah-khalifah Banu `Abbas. Kemudian, mereka sendiri membangun kekuasaan yang sekalipun independen tapi masih tetap mengaku loyal kepada khalifah Bani 'Abbas. Hal itu ditunjukkan dengan munculnya Banu Saljuq (1038-1194)
Independensi dari khilafah Abbasiyah mulai ditunjukkan secara lebih jelas oleh dinasti Danisymandiyyah (1071-1177) dan Qaramaniyyah (1256-1483). Setelah hancur-nya Baghdad di tangan Bangsa Mongol, orang-orang Turki semakin mempertegas kemandirian mereka dalam membangun kekuasaannya sendiri, seperti yang dilakukan oleh Turki Usmani (1281-1924). Bahkan, pengaruh dinasti itu menjangkau wilayah yang sangat luas, termasuk Eropa Timur, Asia Kecil, Asia Tengah, Timur Tengah, Mesir dan Afrika Utara .
Membicarakan Bani Saljuq terkadang membawa kita kepada bahasan yang lebih jauh dari hanya seputar Bani Saljuq itu sendiri – karena ia merupakan awal dari gelaran kesultanan yang memiliki sejarah panjang dalam pergulatan kekuasaan politik Islam yaitu Turki Utsmani, bagaimanabangsa Turki tersebut mengembangkan kekuasaan di wilayah asalnya, perjalanan bangsa itu di kawasan-kawasan lain. Kekuasaan Bangsa Turki di luar pusat pemerintahannya menjadi tak terelakkan karena kekuatan pengaruh bangsa itu dapat dilihat sejauh mana efektivitas mereka dalam peruhahan politik, sosial dan ekonomi masyarakat di kawasan lain.
Munculnya dinasti Turki Islam terjadi pada saat dunia Islam mengalami fragmentasi kekuasaan pada periode kedua dari pemerintahan `Abbasiyah (kira-kira ahad ke-9). Sebelum itu, sekalipun telah ada kekuasaan Banu L'mayah di Andalusia (755-1031) dan Banu Idris di bagian barat Afrika Utara (788-974), fragmentasi itu semakin menjadi-jadi sejak abad ke-9. Pada ahad itu muncul herhagai dinasti, seperti Banu Aghlah di Kairawan (800-909), Banu Thulun di Mesir (858-905), Ranu Saman di Bukhara (874-1001), dan Banu Buwayh di Baghdad dan Syiraz (932-1000).
Jika benar bahwa bangsa Turki Muslim yang pertama-tama membangun dinasti adalah Banu Saljuq, yang mulai tampak pengaruhnya di Baghdad sehagai pusat dunia Islam pada tahun 1038 dan baru lenyap pada tahun 1307 di Rum, maka sesungguhnya dinasti itu herkuasa hanya di sebagian kecil wilayah Islam. Pada saat yang sama telah lahir dinasti-dinasti lain, seperti al-Murabithun yang herpusat di Marakesy dan Seville (1056-1147), Banu Ziri di Kairawan (990-1150), Fathimiyah di Kairo(969-1171), Ghaznawiyah di Ghaznah (962-11ti6), al-Muwahhidun di Seville dan Marakesy (1145-1269) dan Ayyuhiyah di Kairo (1171-1250) .
Selain Saljuq dan Usmaniyah, sesungguhnya ada dua dinasti Turki lain yang muncul sebelum Usmaniyah. Mereka adalah Danisymandiyyah yang herkuasa di Anatolia Tengah dan Timur (1071-1483) dan Qaramaniyyah di Anatolia Tengah (1256-1483). Yang pertama, Danisymandiyyah, pada awlanya lahir di Anatolia t'tara sekitar Tokat, Amasya dan Sivas. Pendiri dinasti ini adalah Daniaymand yang muncul di Anatolia setelah kekacauan yang terjadi pasca meninggalnya Sulaiman ibn Qutlumisy pada tahun 1077. Yang kedua adalah Qaramaniyyah, sehuah dinasti yang paling kuat di antara dinasti-dinasti di Anatolia di samping Ut'smani. Tetapi akhirnya Qaramaniyah terserap ke dalam Utsmani. Pusat asalnya terletak di Ermenek di barat laut pegunungan Taurus, di mana mereka merupakan vassal dan sultan Saljuq di Konya, Rukn al-Din Killij Arselan IV. Pada ahad ke-7 4, mereka membentuk kekuasaan independen, menguasai sebagian besar Anatolia Tengah dan Selatan. Tetapi, pada akhirnya mereka dikalahkan dan wilayahnya dicaplok oleh Utsmaniyyah pada tahun 1390.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka kajian tentang Bani Saljuq dibatasi pada aspek pendidikan yand dikembangkannya, walaupun subtansial tidak mungkin dapat dihindari pembahsan yang berkaitan asal-asul Bani Saljuq, wilayah kekuasaan dan waktu mereka berkuasa. Dalam hal pendidikan pada masa Bani Saljuq, disamping membicarakan visi dan misi, dibahas pula landasan pemikiran, pola pendidikan, kurikulum dan pengaruhnya terhadap pembentukan kualitas intelektual Muslim pasca transformasi Ilmu dan adaptasi budaya antara umat Islam dengan budaya Persia, Romawi-Yunani serta India pada masa awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
BAB II
KEKAISARAN SALJUQ RAYA

A. ASAL USUL KEKAISARAN SALJUQ
Saljuq (juga disebut Seljuq) atau Turki Saljuq (dalam Bahasa Turki : Selçuklular; dalam bahasa Persia: aljūqīyān; dalam Bahasa Arab Saljūq, atau al-Salājiqa) adalah sebuah dinasti Islam yang pernah menguasai Asia Tengah dan Timur Tengah dari abad ke 11 hingga abad ke 14. Mereka mendirikan kekaisaran Islam yang dikenali sebagai Kekaisaran Saljuq Agung. Kekaisaran ini terbentang dari Anatolia hingga ke Rantau Punjab di Asia Selatan. Kekaisaran ini juga adalah sasaran utama Tentara Salib Pertama. Dinasti ini diasaskan oleh suku Oghuz Turki yang berasal dari Asia Tengah. Dinasti Saljuq juga menandakan penguasaan Bangsa Turki di Timur Tengah. Pada hari ini, mereka dianggap sebagai pengasas kebudayaan Turki Barat yang ketara di Azerbaijan, Turki dan Turkmenistan dan Saljuq juga dianggap sebagai penaung Kebudayaan Persia.
K ekaisaran Saljuq Raya adalah imperium Islam Sunni abad pertengahan yang pernah menguasai wilayah dari Hindu Kush sampai Anatolia timur dan dari Asia Tengah sampai Teluk Persia. Dari tempat awal mereka di Laut Aral, Saljuq bergerak pertama ke Khorasan dan lalu ke Persia daratan sebelum menguasai Anatolia timur.
Dinasti Saljuq Inilah kekaisaran Islam pertama Turki yang memerintah dunia Islam. Kekuasaan yang digenggamnya begitu luas meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah — terbentang dari Anatolia hingga ke Punjab di belahan selatan Asia. Kekaisaran Saljuq Agung yang mulai menancapkan kekuasaan pada abad ke-11 M hingga 14 M itu didirikan suku Oghuz Turki yang memeluk Islam mulai abad ke-10 M.Sejatinya, Kekaisaran Saljuq dirintis oleh Saljuq Bek. Namun, Kerajaan Saljuq yang berdiri pada 1037 M itu baru terwujud pada era kepemimpinan Thugril Bek yang berkuasa hingga 1063 M. Sejarah mencatat Dinasti Saljuq sebagai kerajaan yang mampu menghidupkan kembali kekhalifahan Islam yang ketika itu nyaris tenggelam .
Dalam waktu yang singkat, wilayah kekuasaan Kerajaan Saljuq pun kian bertambah luas. Dinasti Saljuq mencapai puncak kejayaannya ketika menguasai negeri-negeri di kawasan Timur Tengah seperti Irak, Persia, Suriah serta Kirman. Sebagai negara yang sangat kuat, Dinasti Saljuq amat disegani. Pada tahun 1055 M, Kerajaan Saljuq sudah mampu menembus kekuasaan Dinasti Abbasiyah, Dinasti Fathimiyyah. Dua dasawarsa berikutnya, ketangguhan militer Saljuq mampu memukul mundur Bizantium yang bercokol di Palestina — kota suci ketiga bagi umat Islam — dalam peristiwa Manzikert 1071 M.
Pemerintahan Dinasti Saljuq yang berpusat di Anatolia itu amat toleran. Kehadirannya seakan menjadi penerang bagi rakyatnya. Meski berasal dari salah satu suku di Turki, para penguasa Saljuq sangat menghargai perbedaan ras, agama, dan jender. Di bawah bendera Saljuq, umat Islam dapat hidup dalam kedamaian, keadilan serta kemakmuran. Pada era dinasti ini aktivitas keagamaan berkembang dengan pesat. Hal itu ditandai munculnya kegiatan sufisme. Tak cuma itu, ilmu pengetahuan pun turut berkembang. Sederet ilmuwan dan ulama muncul dari Dinasti Saljuq seperti, Al-Ghazali (1038 M - 1111 M) serta Umar Al-Khayam — seorang penyair terkemuka. Kekaisaran Saljuq juga sangat mendukung dan mendorong perkembangan kebudayaan, salah satunya seni bina bangun atau arsitektur. Tak heran, bila pada era kekuasaan Dinasti Saljuq banyak berdiri karya-karya arsitektur yang mengagumkan. Dinasti ini mampu menghidupkan kembali pencapaian Ke-khalifahan Umayyah dan Abbasiyah dalam bidang bina bangunan.
Variasi dan kualitas ornamen-ornemen serta bentuk dan teknik arstitektur peninggalan Dinasti Saljuq mampu menjadi inspirasi bagi para arsitek Muslim dan para ahli batu di seluruh dunia. Keunggulan dan kehebatan arsitektur warisan Dinasti Saljuq dapat disaksikan dari bangunan-bangunan peninggalan bersejarah di Iran, Anatolia serta wilayah Asia Minor Muslim.Para arsitek dunia mencatat ada dua karya seni arsitektur yang paling unik warisan Dinasti Saljuq, yakni caravanserai (tempat singgah bagi para pendatang) serta madrasah. Caravanserai banyak berdiri di wilayah kekuasaan Saljuq lantaran dinasti itu amat mendorong perdagangan dan bisnis. Sedangkan gedung madrasah yang menyebar di daerah kekuasaan Kerajaan Saljuq mencerminkan geliat aktivitas pembelajaran.
Situasi yang kita dapatkan di wilayah yang sekarang berhahasa Turki (Usmani ), adalah hasil dari proses pendudukan dan asimilasi yang sangat panjang dan kompleks. Dari penduduk Turki dan daerah sekitar yang sekarang berhicara hahasa Turki (Usmani), hanyalah sebagian kecil yang merupakan keturunan dari orang-orang Turki yang hermigrasi ke sana, sehaliknya, sebagian he.sar adalah keturunan dari penduduk ash yang terturkikan (turkicised). Kelompok Turki di selatan yang terisolasi menetap di wilayah Bizantium hahkan sebelum serangan Saljuq, baik di Asia Kecil maupun di Balkan. Di daerah yang terakhir itu tentu ma.sih ada penduduk, yang hidup dari migrasi Turki Utara sebelumnva vang datang ke sana melalui utara Laut Hitam. Tetapi haru pada pertengahan ahad ke-11 kita mengetahui imigrasi hesar-besaran bangsa Saljuq, yang herlanjut sampai akhir abad ke-13. Sampai herakhirnya dominasi Saljuq di Asia Kecil, pro.ses penturkian penduduk asli tentvnya tem.s herlanjut. Proses ini berlanjut selama kekuasaan raja-raja kecil yang muncul dari rerLmtuhan kerajaan Saljuq.

B. MASA KEKUASAAN DAULAH SALJUQ
Bani Saljuq merupakan kepanjangan dari kekhalifahan Bani Abbasiyyah di Baghdad, dinasti ini merupakan periode ke 2 setelah Bani Abbasiyyah berhasil menumbangkan Dinasti Buwaihi dan Dinasti Ghaznah. Dinasti saljuk didirikan oleh Tughri Beg, yang bertahan memerintah wilayah kekuasaannya selama sekitar dua abad. Kekhalifahan Abbasiyyah resmi berdiri 447-656 H/1055-1258 M dan menjadi bagian dari kerajaan-kerajaan kecil (Muluk al-Thawa'if) Abbasiyyah yang terakhir, sebab pasca kehancuran dinasti saljuq ini, kekhalifahan Abbasiyyah runtuh total dan berakhirlah masa kejayaan Islam.
Wilayah ini sebelum dikuasai Dinasti Saljuq merupakan wilayah kekuasaan Bani Buwaihi yang menganut aliran Syi'ah. Pusat pemerintahannya berada di kota Naisaphur yang kemudian di pindah ke wilayah Ray di Iran, dan selanjutnya kota Baghdad difungsikan sebagai kota keagamaan dan kerohanian.
Jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Saljuq Ibn Tuqaq bermula dari perebutan kekuasaan di dalam negeri. Ketika al-Malik al- Rahim memegang jabatan Amir al-Umara, kekuasaan itu dirampas oleh panglimanya sendiri, Arselan al-Basasiri. Dengan kekuasaan yang ada di tangannya, al-Basasiri berbuat sewenang-wenang terhadapap Al-Malik al-Rahim dan Khalifah al-Qaimdari Bani Abbas; bahkan dia mengundang Khalifah Fathimiyah, (al-Mustanshir), untuk menguasai Baghdad. Hal ini mendorong khalifah meminta bantuan kepada Alp Arselan Rahimahullah dari daulah Bani Saljuq yang berpangkalan di negeri Jabal. Pada tanggal 18 Desember 1055 M/447 H pimpinan Saljuq itu memasuki Baghdad.
Al-Malik al-Rahim, Amir al-Umara Bani Buwaih yang terakhir, dipenjarakan. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Bani Buwaih dan bermulalah kekuasaan Daulah Saljuq. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan awal periode keempat khilafah Abbasiyah. Bani Saljuq berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun suku Ghuz di wilayah Turkistan. Pada abad kedua, ketiga, dan keempat Hijrah mereka pergi ke arah barat menuju Transoxiana dan Khurasan. Ketika itu mereka belum bersatu. Mereka dipersatukan oleh Saljuq ibn Tuqaq. Karena itu, mereka disebut orang-orang Saljuq. Pada mulanya Saljuq ibn Tuqaq Rahimahullah mengabdi kepada Bequ, raja daerah Turkoman yang meliputi wilayah sekitar laut Arab dan laut Kaspia. Saljuq Rahimahullah diangkat sebagai pemimpin tentara. Pengaruh Saljuq Rahimahullah sangat besar sehingga Raja Bequ khawatir kedudukannya terancam. Raja Bequ bermaksud menyingkirkan Saljuq.
Namun sebelum rencana itu terlaksana, Saljuq Rahimahullah mengetahui-nya. Ia tidak mengambil sikap melawan atau memberontak, tetapi bersama pengikutnya ia bermigrasi ke daerah land, atau disebut juga Wama Wara'a al-Nahar, sebuah daerah muslim di wilayah Transoxiana (antara sungai Ummu Driya dan Syrdarya atau Sihun). Mereka mendiami daerah ini atas izin penguasa daulah Samaniyah yang menguasai daerah tersebut. Mereka masuk Islam dengan manhaj Sunni Salafy. Ketika daulah Samaniyah dikalahkan oleh daulah Ghaznawiyah, Saljuq Rahimahullah menyatakan memerdekakan diri. Ia berhasil menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh daulah Samaniyah. Setelah Saljuq Rahimahullah meninggal, kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Israil Ibn Saljuq dan kemudian penggantinya Mikail Ibn Israil Ibn Saljuq, namun sayang saudaranya dapat ditangkap oleh penguasa Ghaznawiyah .
Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Thugril Bek Rahimahullah. Pemimpin Saljuq terakhir ini berhasil mengalahkan Mas'ud al-Ghaznawi, penguasa dinasti Ghaznawiyah, pada tahun 429 H/1036 M, dan memaksanya meninggalkan daerah Khurasan. Setelah keberhasilan tersebut, Thugril memproklamasikan berdirinya daulah Saljuq. Pada tahun 432 H/1040 M daulah ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad. Di saat kepemimpinan Alp Arselan inilah, dinasti Saljuq memasuki Baghdad menggantikan posisi Bani Buwaih. Sebelumnya, Thugril Rahimahullah berhasil merebut daerah-daerah Marwadan Naisabur dari kekuasaan Ghaznawiyah, Balkh, urjan, Tabaristan, Khawarizm, Rayy, dan Isfahan.
Posisi dan kedudukan khalifah lebih baik setelah dinasti Saljuq berkuasa; paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan setelah beberapa lama "dirampas" orang-orang Syi'ah. Meskipun Baghdad dapat dikuasai, namun ia tidak dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Thugril Bek Rahimahullah memilih kota Naisabur dan kemudian kota Rayy sebagai pusat pemerintahannya. Daulah-daulah kecil yang sebelumnya memisahkan diri, setelah ditaklukkan daulah Saljuq ini, kembali mengakui kedudukan Baghdad, bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan Abbasiyah untuk membendung faham Syi'ah dan mengembangkan manhaj Sunni Salafy yang dianut mereka.
Sepeninggal Thugril Bek Rahimahullah (455 H/1063 M), daulah Saljuq berturut-turut diperintah oleh Alp Arselan Rahimahullah (455-465 H/1063-1072), Maliksyah (465-485 H/1072-1092), Mahmud Al-Ghazi (485-487 H/1092-1094 M), Barkiyaruq (487 -498 H/1 094-1103), [ [Maliksyah II]] (498 H/ 1103 M), Abu Syuja' Muhammad (498-511 H/11 03-1117 M),dan Abu Harits Sanjar (511-522H/1117-1128 M) .
Pemerintahan Saljuq ini dikenal dengan nama al-Salajiqah al-Kubra (Saljuq Besar atau Saljuq Agung). Disamping itu, ada beberapa pemerintahan Saljuq lainnya di beberapa daerah sebagaimana disebutkan terdahulu. Pada masa Alp Arselan Rahimahullah perluasan daerah yang sudah dimulai oleh Thugril Bek Rahimahullah dilanjutkan ke arah barat sampai pusat kebudayaan Romawi di Asia Kecil, yaitu Bizantium.
Peristiwa penting dalam gerakan ekspansi ini adalah apa yang dikenal dengan peristiwa Manzikert. Tentara Alp Arselan Rahimahullah berhasil mengalahkan tentara Romawi yang besar yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis, dan Armenia. Dengan dikuasainya Manzikert tahun 1071 M itu, terbukalah peluang baginya untuk melakukan gerakan penturkian (turkification) di Asia Kecil. Gerakan ini dimulai dengan mengangkat Sulaiman ibn Qutlumish, keponakan Alp Arselan, sebagai gubernur di daerah ini. Pada tahun 1077 M (470 H), didirikanlah kesultanan Saljuq Ruum dengan ibu kotanya Iconim. Sementara itu putera Arselan, Tutush Rahimahullah, berhasil mendirikan dinasti Saljuq di Syria pada tahun 1094 M/487 H.
Pada masa Sulthan Maliksyah wilayah kekuasaan Daulah Saljuq ini sangat luas, membentang dari Kashgor, sebuah daerah di ujung daerah Turki, sampai ke Yerussalem. Wilayah yang luas itu dibagi menjadi lima bagian:
1. Saljuq Besar yang menguasai Khurasan, Rayy, Jabal, Irak, Persia, dan Ahwaz. Ia merupakan induk dari yang lain. Jumlah Syekh yang memerintah seluruhnya delapan orang.
2. Saljuq Kirman berada di bawah kekuasaan keluarga Qawurt Bek ibn Dawud ibn Mikail ibn Saljuq. Jumlah syekh yang memerintah dua belas orang.
3. Saljuq Iraq dan Kurdistan, pemimpin pertamanya adalah Mughirs al-Din Mahmud. Saljuq ini secara berturut-turut diperintah oleh sembilan syekh.
4. Saljuq Syria, diperintah oleh keluarga Tutush ibn Alp Arselan ibn Daud ibn Mikail ibn Saljuq, jumlah syekh yang memerintah lima orang.
5. Saljuq Ruum, diperintah oleh keluarga Qutlumish ibn Israil ibn Saljuq dengan jumlah syeikh yang memerintah seluruhnya 17 orang.

Disamping membagi wilayah menjadi lima, dipimpin oleh gubernur yang bergelar Syeikh atau Malik itu, penguasa Bani Saljuq juga mengembalikan jabatan perdana menteri yang sebelumnya dihapus oleh penguasa Bani Buwaih. Jabatan ini membawahi beberapa departemen.Pada masa Alp Arselan Rahimahullah, ilmu pengetahuan dan agama mulai berkembang dan mengalami kemajuan pada zaman Sultan Maliksyah yang dibantu oleh perdana menterinya Nizham al-Mulk. Perdana menteri ini memprakarsai berdirinya Universitas Nizhamiyah (1065 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan didirikan cabang Nizhamiyah. Menurut Philip K. Hitti, Universitas Nizhamiyah inilah yang menjadi model bagi segala perguruan tinggi di kemudian hari.
Perhatian pemerintah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan banyak ilmuwan muslim pada masanya. Diantara mereka adalah az-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa, dan teologi; al-Qusyairy dalam bidang tafsir; Abu Hamid al-Ghazali Rahimahullah dalam bidang teologi; dan Farid al-Din al-'Aththar dan Umar Khayam dalam bidang sastra.Bukan hanya pembangunan mental spiritual, dalam pembangunan fisik pun dinasti Saljuq banyak meninggalkan jasa. Maliksyah terkenal dengan usaha pembangunan di bidang yang terakhir ini. Banyak masjid, jembatan, irigasi dan jalan raya dibangunnya.
Setelah Sultan Maliksyah dan perdana menteri Nizham al-Mulk wafat Saljuq Besar mulai mengalami masa kemunduran di bidang politik. Perebutan kekuasaan diantara anggota keluarga timbul. Setiap propinsi berusaha melepaskan diri dari pusat. Konflik-konflik dan peperangan antar anggota keluarga melemahkan mereka sendiri. Sementara itu, beberapa dinasti kecil memerdekakan diri, seperti Syahat Khawarizm, Ghuz, dan al-Ghuriyah. Pada sisi yang lain, sedikit demi sedikit kekuasaan politik khalifah juga kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan dinasti Saljuq di Irak berakhir di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/l199 M.
Keberhasilan Bani Saljuq dalam mempertahankan kekuasaannya, tak lepas dari para wazir (pembantu sulthan/menteri) yang senantiasa loyal dan patuh terhadap sulthan serta kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan. Diantara mereka yang telah berjasa dalam membangun dan mempertahankan dinasti Bani saljuq adalah :
1. Abu Muhammad bin Muhammad Fakhrul, Wazir pada masa Sulthanal-Qa'im.
2. Abu Syarwan bin Khalid al-Qasyani, Wazir pada masa Sulthan al- Mustarsyid.
3. Ibnu al-Attar, ia menjadi Wazir pada masa al-Nasir.
4. Abu Nasr Muhammad bin Manshural-Kundari, Wazir pada masa Sulthan Tghrul Beg dan Alb Arsalam.
5. Tajuddin Abu al-Ghanayim, Wazir pada masa Sulthan Sanjar.
6. Ali bin al-Hasan al-Tughra, Wazir pada masa Sulthan Sanjar.
7. Sa'ad bin Ali bin Isa, Wazir pada masa Sulthan Mahmud.
8. Al-Ustadz al-Tughra'i, Wazir pada masa Sulthan Mas'ud bin Muhammad
di Irak.
9. Nizam al-Mulk, Wazir Pada masa Sulthan Sultan Malik Syah



BAB III
PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA DAULAH SALJUQ

A. PENDIRI MADRASAH NIDZAMIYYAH
Nizam al-Mulk (Radkan, Tus, 10 April 1018 – Sihna, 14 Oktober 1092) adalah seorang perdana menteri Dinasti Salajikah (Seljuk) pada masa pemerintahan Sultan Alp Arslan dan Sultan Maliksyah. Nama aslinya Abu Ali al-Hasan bin Ali bin Ishaq at-Tusi. Dia pernah ke Nisabur dan menuntut ilmu pada ulama’ Mazhab Syafi’i, Hibatullah al-Muwaffaq. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintahan Gaznawi di Tus, Khurasan. Ketika sebagian besar Khurasan jatuh ke tangan pasukan Salajikah, ayahnya dengan membawa Nizam al-Mulk lari ke Khusrawijrd dan seterusnya ke Gazna. Di Gazna, Nizam al-Mulk bekerja pada sebuah kantor pemerintah Mahmud Gaznawi.
Namun tiga atau empat tahun kemudian ia meninggalkan Gazna dan menuju ke daerah kekuasaan Salajikah. Pada mulanya ia bekerja di Balkh yang dikuasai Salajikah (tahun 432 H/1040-1041 M), kemudian pindah ke Marw. Kariernya meningkat dengan cepat sehingga ia ditarik ke istana Sultan Arp Arslan dengan perdana menterinya Abu Ali Ahmad bin Syazan. Ketika perdana menteri ini meninggal dunia, Nizam al-Mulk ditunjuk oleh Sultan sebagai perdana menterinya.
Dalam jabatannya sebagai perdana menteri ini ia menunjukkan kecakapannya sebagai negarawan yang terpercaya. Untuk memelihara stabilitas negara ia menasihatkan Sultan agar memberi lapangan pekerjaan kepada pengungsi-pengungsi Turki yang datang ke Persia (Iran) akibat kemenangan Dinasti Salajikah, dan meningkatkan kekuatan tempur angkatan bersenjata Salajikah serta gerak cepatnya untuk menumpas pemberontakan, tetapi pemberontak yang menyerah harus diampuni. Kemudian dinasti juga harus mempertahankan penguasa-penguasa lokal, baik Syiah maupun Sunni, dan menunjuk keluarga Bani Seljuk sebagai gubernur-gubernur. Nizam al-Mulk juga bertindak menghindari perebutan kekuasaan setelah meninggalnya sultan, dengan cara mengumumkan dan menunjuk Maliksyah sebagai putra mahkota yang akan menggantikan sultan. Hubungan dengan Khilafah Abbasyiah sebagai penguasa tertinggi dunia Islam ketika itu juga dijalin dengan baik oleh Nizam al-Mulk sehingga ia mendapat penghargaan dari Khalifah al-Qa’im dari Abbasyiah berupa gelar Qiwam ad-Din (Pendukung Agama) dan Radi Amir al-Mu’minin (yang meridhai dan pemimpin orang-orang beriman).
Nizam al-Mulk tetap menjadi perdana menteri Dinasti Salajikah, bahkan setelah Alp Arslan terbunuh pada tahun 165 H/1072 M dan digantikan oleh Maliksyah. Perannya pada masa Sultan Maliksyah bertambah besar dibanding sebelumnya. Ia dipercaya oleh Sultan Maliksyah, yang ketika naik tahta berumur 18 tahun, untuk mengatur pemerintahan dan menjalankan keputusan politik. Oleh Sultan ia diberi gelar Ata Beq, artinya amir yang dianggap ayah. Ia tetap menjalankan politik kerjasama dan taat kepada Khalifah Abbasyiah, diantaranya dengan mengawinkan sorang putrinya kepada Khalifah Abbasyiah, ketika itu al-Muqtadi bin Amr Allah.
Nizam al-Mulk juga dikenal sebagai perdana menteri yang berpaham Asy’ariyah dan mengusahakan penyebarannya melalui madrasah-madrasah di beberapa kota dalam wilayah Salajikah. Madrasah terkenal yang didirikannya adalah Madrasah Nidzamiyyah di Baghdad, yang diresmikan pada tahun 459 H/1067 M. menurut Philip K. Hitti, Madrasah Nidzamiyyah merupakan contoh awal dari perguruan tinggi yang menyediakan sarana belajar yang memadai bagi para penuntut ilmu. Diantara ulama’ yang mengajar di Madrasah Nidzamiyyah adalah Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi, Syekh Abu Nasr bin as-Sabbagh dan Syekh Abu Mansur bin Yusuf bin Abdul Malik. Cabang-cabang Nidzamiyyah kemudian juga didirikan di hampir kota di Irak dan Khurasan .
Usaha Nizam al-Mulk mendirikan madrasah dan lembaga keagamaan lainnya mendapat dukungan dari ulama’-ulama’ yang bermazhab Syafi’i dan dalam teologi beraliran Asy’ariyah. Para ulama tersebut bergembira dengan naiknya Nizam al-Mulk dan kebijaksanaannya mengembalikan nama baik ulam-ulama Asy’ariyah yang dikutuk oleh Perdana Menteri al-Kunduri pada masa Sultan Tugril Beq. Pada masa al-Kunduri aliran Asy’ariyah bersama dengan Rafidah dikutuk melalui mimbar-mimbar masjid, sehingga banyak ulama’ yang melarikan diri, seperti Imam al-Haramain Abu Ma’ali al-Juwaini dan al-Qusyairi. Ulama-ulama baru mau kembali ke negeri mereka setelah Nizam al-Mulk menjadi perdana menteri dan melarang pengutukan Asy’ariyah di mimbar-mimbar masjid.
Disebutkan dalam al-Kamil fi at-Tarikh (Sejarah Lengkap) bahwa Nizam al-Mulk adalah seorang alim, agamawan, dermawan, adil, penyantun, suka memaafkan orang yang bersalah, banyak diam, majelisnya ramai didatangi para qari, faqih, ulama dan orang-orang yang suka kebaikan dan kebajikan. Ia juga dikatakan menyampaikan hadits di Baghdad, Khurasan dan kota lainnya dengan alasan ikut berpartisipasi menyebarkan hadits Nabi SAW, sekalipun ia mengakui bahwa ia bukan ahli hadits. Dikatakan pula ia senang menjamu dan menghibur orang-orang fakir miskin. Pada tahun 479 H (1086-1087 M) ia menghapuskan khumus (pajak yang tidak dikenai sanksi syariat), dan meningkatkan sarana dan prasarana bagi mereka yang menunaikan ibadah haji. Setelah Hedzjaz kembali kepada kekuasaan Abbasyiah dari kekuasaan Fatimiyah pada tahun 468 H/1076 M, ia mengamankan jalur perjalanan haji dari Irak ke Tanah Suci dengan memberantas perampok-perampok yang mengancam jama’ah haji. Selain itu, ia memprakarsai perluasan Masjid al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah, serta pendirian tempat-tempat khusus bagi para abid, zahid dan faqih, serta pendirian rumah sakit di Nisabur .
Kekuasaan daulat Bani Saljuq berseberangan dengan kekuasaan Daulat Fatimiyah dalam aspek theology – Daulat Saljuq lebih cenderung mengembangkan pemehaman theology Suni dalam hal ini theology Asy'ariyah, sedangkan daulat bani Fathimiyah lebih focus kepada pengembangan theology Syi'ah. Kedua daulat tersebut menjadi lembaga pendidikan sebagai pusat penyebaran paham theology dan pengaruh politik dan social dalam kehidupan mereka – walaupun pada akhirnya universitas al Azhar Cairo menjadi lebih terbuka dengan diajarkannya pula theology sunni.
Setahun sebelum meninggal, pada tahun 484 H/1091 M ia menulis kitab Siyaset-Name (buku mengenai politik) tentang siasat pemerintahan, berisi 50 bab nasihat yang digambarkan melalui anekdot-anekdot sejarah. Pada tahun berikutnya, ia menambah 11 bab tentang bahaya yang mengancam negara utamanya dari kaum Qaramithah Ismailiyah. Ia mengingatkan bahaya yang mengancam keutuhan Salajikah yang datang dari kaum Qaramithah yang pada tahun 483 H (1090-1091 M) menyerbu kota Basra, dan bermarkas di benteng yang kokoh di Alamut. Kaum ini mempunyai pasukan pembunuh yang disebut Hasyasyin dan dipimpin oleh Hasan bin Sabbah, yang bertujuan menghidupkan Fatimiah. Seorang pasukan Hasan bin Sabbah, yang menyamar sebagai sufi, berhasil membunuh Nizam al-Mulk di Sihna, Nahawand, ketika ia dalam perjalanan dari Isfahan ke Baghdad. Nizam al-Mulk terbunuh pada tanggal 10 Ramadhan 485 H/14 Oktober 1092. . Ia meninggal kira-kira 150 Tahun sebelum hancunyA kota Bagdad oleh serangan bangsa Mongol.

B. PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN NIDZAMIYYAH
Sebagaimana diketahui, bahwa sebelum berdirinya Madrasah sebagai lembaga pendidikan, dalam agama Islam telah dikenal tempat belajar berupa Masjiddan Kuttab. Kuttab merupakan tempat belajar yang dikhususkan pada para pelajar Islam yang masih kecil, sebab dalam kuttab ini hanya diajarkan cara membaca dan cara menulis.
Seiring dengan luasnya wilayah kekuasaan Islam, semakin banyak pula anak-anak muda Islam yang ingin belajar yang tentunya membutuhkan tempat memadai untuk menampung mereka. Atas dasar itulah di dirikan sebuah Madrasah.
Istilah madrasah pertama kali lahir di Naisapur berkat ‘sentuhan’ Syekh al-Baihaqi5. Kemudian dinasti Bani Saljuk pada masa Sulthan Malik Syah dengan Wazir Nidzam al-Mulk (465-485 H) membangun sebuah Madrasah dengan nama madrasah Nidzamiyyah, yang diambil dari nama pendirinya, Nidzam al-Mulk.
Motif pendirin Madrasah ini menurut Ahmad Syalabi (1995) ialah karena dua hal. Pertama motif Politik. Dengan adanya madrasah ini, dinasti Saljuq bisa mengkontrol semua daerah dengan mudah, karena sistem yang dipakai Nidzamiyyah adalah sentralistik dari pusat kedaerah atau dari atas ke bawah. Motif kedua adalah ideologi/madzhab. Seperti keterangan diatas, bahwa Dinasti Buwaihi yang menganut Syi'ah serta sisa-sisa aliran Mu'tazilah telah ada sebelum Bani saljuq berdiri, pendirian madrasah Nidzamiyyah juga karena motif untuk menyebarkan aliran Sunni Syafi'iyyah.
Sebelum berdirinya Madrasah Nidzamiyyah di Baghdad, paling tidak ada empat madrasah besar di Nishapur, yaitu Madrasah Baihaqiyyah, Madrasah Assa’diyyah yang dibangun oleh Amir Nasr bin Subuktakin, Madrasah Abu Sa’ad al-Astarabadi dan Madrasah yang didirikan untuk Abu Ishaq al-Isfarayini .
Madrasah Nidzamiyyah adalah sebuah lembaga pendidikan yang didirikan pada tahun 1065-1067 oleh Nizam al-Mulk. Madrasah Nidzamiyyah ini pada mulanya hanya ada di kota Baghdad, ibu kota dan pusat pemerintahan Islam pada waktu itu. Madrasah Nidzamiyyah ini didirikan dekat pinggir sungai Dijlah, di tengah-tengah pasar selasah di Baghdad. Mulai dibangun pada tahun 457 H/1065 M) dan selesai dibangun pada tahun 459 H (dua tahun lamanya baru selesai) . Pada masa itu, madrasah tersebut dicatat sebagai tempat pendidikan yang paling masyhur. Kemudian Nizam al-Mulk mengembangkan madrasah tersebut dengan membuka dan mendirikan madrasah serupa di berbagai kota, baik di wilayah barat maupun timur dari daerah kekuasaan Islam. Diantaranya didirikan di kota-kota Balkh, Nisabur, Isfahan, Mosul, Basra dan Tibristan. Oleh karena itu, kota-kota tersebut kemudian menjadi pusat-pusat studi keilmuan dan menjadi terkenal di dunia Islam pada masa itu. Para pelajar berdatangan dari berbagai daerah untuk mencari ilmu di madrasah-madrasah Nidzamiyyah tersebut. Kesungguhan Nizam al-Mulk dalam membina madrasah-madrasah yang didirikannya itu tercermin pada kesediaannya menyisihkan waktunya untuk melakukan kunjungan ke madrasah-madrasah Nidzamiyyah di berbagai kota tersebut. Disebutkan, bahwa dalam kesempatan kunjungannya tersebut, ia dengan penuh perhatian ikut menyimak dan mendengarkan kuliah-kuliah yang diberikan, sebagaimana ia juga kadang ikut mengemukakan pikiran-pikirannya di depan para pelajar di madrasah itu.
Lembaga pendidikan Islam yang pertama menerapkan sistem yang mendekati sistem pendidikan yang dikenal sekarang adalah madrasah-madrasah Nidzamiyyah tersebut. Kurikulumnya berpusat pada Al-Qur’an (membaca, menghafal dan menulis), sastra Arab, sejarah Nabi SAW dan berhitung, dengan menitikberatkan pada madzhab Syafi’i dan sistem teologi Asyariyah. Seorang tenaga pengajar di Nidzamiyyah selalu dibantu oleh dua orang pelajar (mahasiswa) yang bertugas membaca dan menerangkan kembali kuliah yang telah diberikan kepada mahasiswa yang ketinggalan (asistensi). Sistem belajar di Madrasah Nidzamiyyah adalah : tenaga pengajar berdiri di depan ruang kelas menyajikan materi-materi kuliah, sementara para pelajar duduk dan mendengarkan di atas meja-meja kecil (rendah) yang disediakan. Kemudian dilanjutkan dengan dialog (tanya-jawab) antara dosen dan para mahasiswa mengenai materi yang disajikan dalam suasana semangat keilmuan tinggi.

C. NIDZAMIYYAH; TUJUAN DAN POLA PENDIDIKANNYA
1. Tujuan pendirian Madrasah Nidzamiyyah
Madrasah ini boleh dilihat sebagai suatu reaksi terhadap gerakan Syiah di Arab belahan barat atau juga terhadap rekayasa lembaga pendidikan Hanafiyyah yang sudah mapan sebelumnya di Nishapur. Betapa pun, berdirinya Madrasah Nidzamiyyah merupakan satu symbol kemenangan Sunni dan juga merupakan salah satu cara manis Nizam al-Mulk dalam menangani konflik-konflik intrernal masyarakat yang ada.
Berdasarkan asumsi ini, tidaklah berlebihan jika disimpulkan lebih jauh bahwa tujuan madrasah ini paling tidak mempunyai dua point, yakni untuk memperkuat idiologi Syafi’i-Asy’ari di satu sisi dan membendung serangan dari pihak lain, seperti dari Hanbaliyyah, Hanafiyyah, Syi’ah dan Mu’tazilah di sisi lain. Untuk mendukung roda pemerintahan Nizam adalah satu kemungkinan, tetapi hal itu tampaknya lebih merupakan strategi Nizam sendiri daripada tujuan madrasah sebagai sebuah lembaga.
Bagaimana lembaga pendidikan ini mendorong ajaran-ajaran Syafi’i-Asy’ari terbukti dengan hadirnya sejumlah tokoh kenamaannya, seperti Abu Ishaq al-Shirazi, al-Ghazali dan tokoh-tokoh shaleh lainnya. Di samping satu pusat Madrasah Nidzamiyyah di Baghdad, paling tidak masih ada 9 Madrasah Nidzamiyyah lainnya yang tersebar dari Jazirah ibn Umar sampai ke Nishapur . Keberhasilan pengajaran madrasah-madrasah ini bias diketahui dari laporan Abu Ishaq al-Shirazi yang menyatakan bahwa selama melakukan perjalanan dari Baghdad sampai Khurasan, ia menemukan semua murid-muridnya (Syafi’iyyah) sudah menduduki jabatan-jabatan penting, seperti qadli, mufti atau khatib .
Madrasah Nidzamiyyah di Nishapur dibangun untuk ulama kenamaan Juwayni, Imam al-Haramayn. Tokoh Syafi’i-Ash’ari ini menjadi lebih radikalkarena dia pernah diasingkan oleh al-Kunduri. Juwayni, tokoh sentral MAdrasah Nidzamiyyah Nishapur, adalah contoh menarik untuk memahami bagaimana madrasah ini bertujuan mempertahankan ajaran-ajaran Ash’ariyyah. Kritiknya yang tajam terhadap etika Mu’tazilah dapat dibaca dalam kitabnya al-Irshad ila Qawati’ al-Adilla fi Ushul al-I’tiqad. Masih menjadi tanda Tanya apakah Madrasah Nidzamiyyah Nishapur dan Baghdad identik, serta apakah karyanya tersebut merupakan representasi institusinya atau hanya ide-ide pribadinya. Tetapi, yang jelas ada hubungan definitive antara dua lembaga itu, juga posisinya sebagai orang pertama di madrasah ini tentunya berpengaruh besar terhadap potret lembaga tersebut .
Al-Ghazali adalah contoh lain yang menraik untuk memahami bagaimana madrasah ini tidak hanya menyensor Mu’tazilah, tetapi juga filsuf. Kehadirannya di Madrasah Nidzamiyyah Baghad begitu lama (sekitar 25 tahun) sehingga tidak diragukan lagi bahwa dia memberi corak tersendiri terhadap lembaga ini. Absennya ilmu-ilmu non agama di lembaga ini, yang dipegang kuat oleh Mu’tazilah dan para filsuf, barangkali tidak disebabkan oleh sosok al-Ghazali karena ia datang terlambat. Tetapi, pengabaian terhadap ilmu-ilmu sekuler adalah tipikal bagi madrasah ini, persis dengan apa yang dilakukan al-Ghazali di akhir hayatnya. Betapapun, guru adalah sebuah personifikasi dari sebuah lembaga dalam masyarakat tradisional. Dengan demikian, sulitlah membedakan antara guru yang benar-benar fungsional dengan madrasah itu sendiri.
Madrasah ini secara otomatis juga melindungi idiologinya dari pengaruh Syiah. Hal ini ma’qul karena pada masa yang sama Dinasti Fatimiyah di Mesir sedang berjaya, juga dakwah militant dari Isma’iliyyah ada di mana-mana, salah satu dakwahnya menggunakan media pendidikan dengan mendirikan universitas Al-Azhar
2. Guru dan Murid
Madrasah Nidzamiyyah merupakan lembaga pendidikan yang terstruktur, manajemen dan administrasinya sangat tertata dengan baik. Dengan sistem sentralistik, semua kurikulum, metode pembelajaran, sistem belajar, pengangkatan guru dan semua keperluan madrasah diatur oleh Pusat. Hal itu menjadikan tidak sembarangan orang bisa menjadi guru di Madrasah Nidzamiyyah, karena pusat melakukan seleksi yang sangat ketat.
Menurut Toha Hamim (2007) jangankan melamar menjadi guru, melamar untuk menjadi murid-pun harus melalui seleksi yang tidak mudah, sehingga pelajar yang diterima Madrasah Nidzamiyyah adalah mereka yang betul-betul handal. Bahkan disebutkan, bahwa Imam al-Ghazali baru bisa masuk ke Madrasah Nidzamiyyah setelah umur 21 tahun dengan proses seleksi dan tes masuk yang sangat ketat, sehinga saat itu Madrasah Nidzamiyyah betul-betul menjadi madrasah yang favorit dan bonafit .
Para pelajar Madrasah Nidzamiyyah dimanjakan dengan berbagai fasilitas dan kemudahan, terlebih bagi mereka yang berprestasi. Aliran beasiswa sangat besar dari pemerintah siap menjamin kesejahteraannya Diantara fasilitas yang disediakan di Nidzamiyyah adalah perpustakaan yang menyediakan buku sebanyak 6000 judul.
Para guru atau Syechpun mendapat perhatian khusus. Pihak Negara memberikan gaji yang sangat besar pada mereka. Guru pada saat itu dapat diklarifikasikan sebagai berikut :
1. Al-Ustadz bil Kursi (Guru Besar yang memiliki gelar Profesor Doktor, guru Senior yang sudah teruji keilmuannya serta sudah mendapat gelar kehormatan). Disamping mendapat dana pensiun, Negara juga menjamin penuh kehidupan keluarga mereka.
2. Al-Ustadz (guru dibawah al-Ustadz bil Kursi), mereka juga menerima gaji yang tidak sedikit dari pemerintah.
3. Al-Ustadz al-Muntasib (Asisten Dosen/asisten Guru Besar yang senantiasa mendampingi Mahasiswa disaat menghadapi kesulitan dalam belajar), Negara juga memberikan mereka gaji.
4. Al-Mudarris (guru, tenaga pengajar yang belum mendapat gelar Doktor),
yang juga digaji oleh Negara.

Di antara Guru Besar Universitas Nnidzamiyah adalah Imam Haramain, tempat di mana Imam al-Ghazali pernah menimba ilmu. Ia dijuluki Imam Haramain karena pernah tinggal di dua kota suci, Makkah dan Madinah.
Ulama ini bernama lengkap Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwanini An-Nisaburi. Dia dilahirkan di Bustanikan, Nisabur, pada 12 Pebruari 1058. Pendidikan pertamanya didapatkan dari ayahnya yang bernama Syekh Abdullah, seorang keturunan Arab berdarah bangsawan. Di samping itu, Al-Juwaini juga menimba ilmu di sekolah agama yang berada di wilayah tempat tinggalnya .
Setelah beberapa lama, Al-Juwaini memutuskan untuk meninggalkan Nisabur dan pergi ke Baghdad, terutama untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Di sana ia pun menerima pengajaran ilmu agama dari beberapa ulama terkemuka. Berkat bimbingan para guru dan keinginannya untuk maju, Al-Juwaini tumbuh menjadi seorang terpelajar yang menguasai beberapa ilmu.
Setelah beberapa tahun tinggal di kota ilmu itu, ia lalu pindah ke Makkah serta Madinah, selain untuk menambah bekal ilmu juga mulai mengajar. Selama lebih kurang empat tahun Al-Juwaini menetap di dua kota suci tersebut.
Nama Al-Juwaini lambat laun dikenal di kalangan ulama dan pengajar ilmu agama di Makkah serta Madinah. Ini lantaran ditunjang kemampuan pengua-saan keilmuaannya yang mumpuni. Hingga selanjutnya, namanya sampai ke telinga Perdana Menteri Nizam al-Mulk, penguasa dan pendiri Madrasan Nidza-miyyah di Nisabur, tempat kelahirannya.
Secara pribadi, Nizam al-Mulk meminta kesediaan Al-Juwaini untuk kembali ke negerinya dan menjadi tenaga pengajar di madrasah tadi. Permintaan ini pun disanggupi oleh Al-Juwaini sebagai bentuk sumbangsihnya dalam memajukan pendidikan di negeri sendiri. Madrasah Nidzamiyyah pun kian diperhitungkan di kalangan terpelajar Timur Tengah. Terlebih ketika Imam al-Ghazali diketahui pernah menimba ilmu di sana dan tercatat merupakan lulusan perguruan ini yang diasuh Juwaini.
Pemuka ulama ahlusunnah wal jamaah dan pengikut Imam Abu Hasan al-Asy’ari ini juga disebut Abdul Ma’ali untuk menunjukkan keutamaannya sebagai ilmuwan, agamawan, dan pemuka masyarakat. Diya ad-Din, yang berarti cahaya agama adalah gelar lain yang diberikan kepada al-Juwaini karena kelebihannya dalam menerangi hati dan pikiran para pembela akidah Islam, yang karenanya menangkis serangan para pengikut golongan sesat yang telah terjerumus dalam kegelapan.
Al-Juwaini juga menonjol di kalangan ulama Asy’ariyah karena memiliki metode yang khas dalam membela paham Sunni. Dia berpendapat, akidah yang benar adalah yang didasarkan pada akal dan naql serta kombinasi antara keduanya. Akal itu cahaya Allah yang sifatnya fitrawi sebagai tanad kecintaan Allah kepada kepada manusia dan untuk menjadi media bagi ilmu pengetahuan. Sedangkan an-naql adalah semata-mata perkara daya serap pendengaran yang wajib diyakini kebenarannya tanpa memerlukan pembuktian akal atasnya. Karena pendiriannya tersebut, Al-Juwaini banyak disebut sebagai generasi keempat dari pemuka dan ulama Asy’ariyah, sejajar dengan Al-Baghdadi dan Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi .
Pandangannya bahwa akal dan penalaran akan sanggup mengantar manusia kepada keyakinan mantap membawanya pada pendirian bahwa penggunaan penalaran dalam soal agama adalah wajib menurut syarak. Karena kekhasan metodenya itu pula maka ia tidak selalu mengikuti pendapat para pendahulunya, sampai Imam Abu Hasan Asy’ari sekalipun.
Di samping sebagai pengajar dan ahli ilmu agama, Al-Juwaini adalah pula seorang penulis yang produktif. Pandangan dan pendapatnya mengenai suatu persoalan agama kerap diungkapkannya dalam bentuk karya tulis yang meliputi beberapa cabang keilmuan. Kitab-kitab Karya Al Juwain, misalnya Al-Burhan fi Usul al-Fiqh (Argumentasi dalam Usul Fikih), Al-Waraqat (Sehelai Kertas) dalam bidang Fikih, Nihayat al-Matlab fi Dirayat al-Mazhab (Rujukan yang Tuntas dalam Ilmu Mazhab) dalam bidang Ilmu kalam, Al-Kamil fi-Ikhtisar asy-Syamil (Kitab yang Sempurna dalam Ikhtisar yang Mencakup) dan Risalah fi Usul ad-Din (Risalah Tentang Dasar Agama) * Nidzamiyyah fi al-Arkan al-Islamiyah (Sistematika Rukun-Rukun Islam) dalam bidang akidah . Ulama ini meninggal dunia di Bustanikan pada tanggal 20 Agustus 1085. Sampai akhir hayatnya, ia dikenal sebagai pakar ilmu fikih, ushul fikih, dan ilmu kalam. Kitab karyanya tetap dipelajari hingga saat ini.
Di samping Imam Haramain atau Abdul Ma'ali Al Juwaini, terdapat ulama-ulama besar Islam yang pernah mengajar di Madrasah Nidzamiyah, di antaranya adalah :
1. Syekh Imam Abu Ishaq al-Syerozy.
2. Imam al-Qoswaini
3. Imam Ibnul jauzi
4. Syekh Abu Nasr as-Sabbagh
5. Abu Abdullah at-Tabari
6. Abu Muhammad asy-Syirazi
7. Abu Qasim al-Alawi
8. At-Tibrizi
9. Al-Qazwini
10. Al-Fairuzabadi
11. Imam al-Ghazali

Itulah para ulama yang menjadi tenaga pengajar di Madrasah Nidzamiyyah, mereka adalah para ilmuan handal yang teruji kemampuannya dalam bidang mereka masing-masing. Karena gaji yang besar inilah, para guru betul-betul perhatian terhadap pendidikan dimana mereka mengajar, sebab pemikirannya tidak terpecah untuk mencari penghasilan lain.
Gaji para Dosen Madrasah Nidzamiyyah sangatlah besar, bahkan Imam Ghazali pada saat beliau masih menjadi Guru Besar, dengan gaji yang beliau terima dapat membeli kuda yang sangat mahal. Bahkan paling mahal dan paling bagus kala itu. Sebab selain mengajar, Imam Ghazali tidak memiliki usaha lain sebagai pemasukan keuangan keluarga. Pada waktu itu, pihak Negara juga menyediakan dana untuk melakukan penelitian. Hingga pada waktu itu sudah ditemukan mesin pendingin ruangan.
Status dosen di madrasah tersebut ditetapkan berdasarkan pengangkatan dari khalifah dan bertugas dengan masa tertentu. Untuk menunjukkan betapa madrasah ini mencoba mengembangkan diri menjadi suatu lembaga pendidikan yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Sesudah Nizam al-Mulk membuka madrasah-madrasah Nidzamiyyah di banyak kota, ia menetapkan untuk memberi gaji setiap bulan bagi setiap tenaga pengajar di madrasah-madrasah tersebut. Namun kebijaksanaan Nizam al-Mulk tentang gaji tersebut belum bisa diterima oleh para tenaga pengajar di Madrasah Nidzamiyyah. Mereka lebih suka tanpa digaji tetapi kesejahteraan hidupnya terjamin. Bagi para dosen gagasan untuk menggaji guru pada masa itu dipandang sebagai suatu gagasan yang terlalu maju.

3. Strategi dan Pola Pendidikan Madrasah Nidzamiyyah
a. Strategi pengembangan Madrasah Nidzamiyyah
Hal yang membuat lembaga-lembaga pendidikan Madrasah Nidzamiyyah signifikan dalam sejarah Islam adalah bahwa mereka semua penganut mazhab Syafi’iyyah dan berada di Nishapur, sebuah tempat penting untuk memahami kerangka politik, khususnya yang berhubungan dengan konflik internal Sunni antara Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Dua kelompok besar ini merupakan gerakan keagamaan yang paling berpengaruh di Nishapur pada paro pertama abad ke-11. sejarawan ahli masa klasik dan pertengahan dari Amerika, Bulliet, menyebut mereka sebagai tokoh-tokoh yang meramaikan Nishapur selama dua abad. Ini tidak berarti bahwa kelompok Qarramiyyah (Qaramithah), Syiah, Malikiyyah dan Hanbaliyyah tidak mempunyai peran .
Pemberian perhatian khusus kepada dua raksasa itu berdasarkan alasan bahwa keduanya telah memainkan peran penting dalam bernegosiasi dengan pemerintah pusat Baghdad. Bajkan, al-Kunduri, salah seorang wazir Seljuk sebelum Nizam al-Mulk terkenal sebagai penganut Hanafiyyah yang congkak. Adapun Nizam al-Mulk, wazir Seljuk yang terbesar dan termasyhur terkenal sebagai Syafi’iyyah tulen. Konflik asyabiyah atau taasub tersebut sampai hukuman bunuh pada lawan politik dan pemikiran, tidak adanya upaya mendamaikan misalnya dengan dialok atau pernikahan.
Konflik ini lebih jelas bila disepakati bahwa semua Syafi’iyyah adalah Asy’ariyyah yang akan menjadi aliran teologi terpenting di hari kemudian. Kelompok yang terakhir ini tidak hanya berhadapan dengan Mu’tazilah, tetapi juga bersitegang dengan Hanbaliyyah pada abad ke-11. pada abad ini Asy’ariyyah agaknya berhasil mengakhiri pengaruh Mu’tazilah. Dua abad sebelumnya, ketika pengaruh Mu’tazilah demikian besar, al-Mutawakkil (salah seorang Khalifah Abbasyiah Baghdad 232 H/847 M) menghukum mereka secara dahsyat. Al-Juwaini dan al-Ghazali (meninggal 1111 M) adalah dua contoh utama pendukung Ash’ariyyah yang berhasil mengasingkan ide-ide Mu’tazilah di masyarakat.
Kembali ke faksi Sunni, sesungguhnya faksi itu lebih merupakan masalah manajemen pertentangan yang ada antarkelompok. Pada tingkat tertentu polaritas ini memburuk karena perpanjangan penguasa. Karena Nishapur merupakan daerah subur, berpenduduk banyak dan beberapa ulama penting ada di situ, pemerintah pusat di Baghdad memberikan perhatian khusus terhadap daerah ini. Tatkala Nishapur dibawah pemerintahan Ghaznawiyah sebelum jatuh selamanya ke tangan Seljuk tahun 1039 M, patronasi (patronage) penguasa berganti-ganti antara Hanafiyyah dan Qarramiyyah. Aliansi temporer ini terus berlangsung selama pemerintahan Seljuk. Hanafiyyah dan Syafi’iyyah adalah dua kekuatan utama yang bersaing dalam merebut simpati pemerintah. Pada tahun 1048 M persekusi resmi terhadap Syafi’iyyah oleh al-Kunduri, wazir Seljuk, dimulai. Mulai tahun ini sampai meninggalnya al-Kunduri (1064 M), yang dihukum mati secara rahasia karena kesalahannya menentang pengganti Tugril Beg, Alp Arslan, NAishapur didominasi oleh Hanafiyyah dengan intens.
Seperti al-Kunduri, Nizam al-Mulk juga memanfaatkan rivalitas yang ada diantara faksi-faksi. Perbedaannya adalah kecermatan Nizam dalam mendekati masalah dan estimasinya yang brilian. Tidak diragukan lagi bahwa Nizam cerdik-cendekia dan bijak dalam menyelesaikan setiap persoalan. Karyanya mengenai persoalan-persoalan pemerintahan yang bias kit abaca sampai sekarang merupakan salah satu buktinya. Selama 20 tahun pemerintahan Maliksyah, kekuasaan Nizam benar-benar mutlak. Dialah penguasa riil di Kerajaan Seljuk, sebuah posisi yang juga diidam-idamkan oleh al-Kunduri tetapi ia gagal meraihnya.
Pada hari kemenangan Nizam al-Mulk, keputusan sepenuhnya berada di tangannya. Sebagai politisi yang bijak dan ulung, dia memilih cara memeperoleh simpati masyarakat dengan cara memperbanyak Madrasah Nidzamiyyah, memanfaatkan ulama-ulama Syafi’iyyah dan memperkuat institusi-institusi Syafi’iyyah secara umum. Apa yang ia lakukan ternyata berbuah besar. Beberapa ulama Syafi’iyyah-Ash’ariyyah abad ini, seperti Imam Haramayn dan Imam al-Ghazali memberikan sumbangan besar terhadap lembaga-lembaga pendidikannya. Dia mendirikan begitu banyak madrasah dari Khurasan di timur hingga Syria dan Mesopotamia di barat. Imam al-Haramayn bukan hanya memiliki otoritas besar di Madrasah Nidzamiyyah Khurasan, yakni madrasah yang dipercayakan sepenuhnya oleh Nizam al-Mulk kepadanya, melainkan juga menjadi khatib yang disegani di Nishapur. Sebagian besar posisi penting keagamaan di pemerintahan dipegang para ulama Syafi’iyyah-Asy’ariyyah, sedangkan posisi yang kurang penting dipegang oleh Hanafiyyah. Disebabkan madrasah yang berkembang pesat dan penurunan pajak rakyat, aghniya’ (jutawan dermawan) dengan tulus mendukung proyek madrasah dengan sumbangan mereka yang berupa sedekah dan wakaf. Ini berarti bahwa madrasah-madrasah yang didirikan Nizam dengan mantap disponsori oleh penguasa dan rakyat .
Dengan demikian, gerakan-gerakan madrasah ini bias dipandang sebagai upaya reaksi terhadap gerakan Syi’ah yang sebagian besar di barat, terutama di Mesir (Universitas Al-Azhar), atau dilihat sebagai upaya untuk mengimbangi rekayasa pendidikan yang dilancarkan sebelumnya oleh Hanafiyyah di Nishapur. Tetapi yang jelas rekayasa pendirian madrasah-madrasah di bawah kekuasaan Nizam itu merupakan symbol kemenangan Sunni sekaligus sebagai buah yang dipetik oleh wazir besar Nizam al-Mulk atas keberhasilannya dalam menangani konflik-konflik interen dalam masyarakat .

b. Kurikulum Madrasah Nidzamiyyah
Telah disebutkan bahwa apa yang diajarkan di Madrasah Nidzamiyyah masih terbuka untuk didiskusikan. Ciri-cirinya yang telah diulas singkat itu akan menentukan kurikulumnya. Keterlibatan Imam Haramayn di Madrasah Nidzamiyyah Nishapur merupakan bukti kuat bahwa ajaran-ajaran Ash’ariyyah diajarkan di situ. Bahkan, nama Abu al-Hasan Ash’ari terpampang di pintu lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh Nizam .
Disamping fiqih dan tauhid, cabang-cabang ilmu agama yang lain, seperti ushul fiqh, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits Nabi, akhlaq, sangat mungkin sekali diajarkan di situ. Alasannya adalah bahwa setiap muslim wajib, fard al-’ain, mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Imam al-Ghazali menekankan pentingnya kewajiban ini dalam karyanya Ihya al-’Ulum al-Din. Masuk akal bahwa al-Ghazali mengalamatkan kewajiban belajar kepada siswa-siswanya di Baghdad karena dia menulis beberapa bukunya sambil mengajar di madrasah itu. Masuk akal juga bahwa cabang-cabang ilmu agama yang lain, seperti nahwu, sharaf, adab (literature) juga disajikan di situ meskipun ilmu-ilmu itu hanya sebagai pelengkap.
Agaknya Madrasah Nidzamiyyah mempunyai kurikulum yang menekan-kan supremasi fiqih. Semua cabang ilmu agama yang lain diperkenalkan dalam rangka menopang superioritas dan penjabaran hokum Islam. Pendidikan serba fiqih adalah cirri yang menonjol dalam pendidikan Sunni muslim abad ke-11. sebagaimana yang terungkap dalam sejarah, pola pendidikan semacam ini terus berlanjut dari abad ke abad. Jadi tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Madrasah Nidzamiyyah benar-benar menjadi model pendidikan madrasah pada masa klasik dan pertengahan Islam .

c. Pola pendidikan Madrasah Nidzamiyyah
Madrasah Nizamiyah merupakan perguruan pertama Islam yang menggunakan sistem sekolah. Artinya, dalam Madrasah Nizamiyah telah ditentukan waktu penerimaan siswa, test kenaikan tingkat dan juga ujian akhir kelulusan. Selain itu, Madrasah Nizamiyah telah memiliki manajemen tersendiri dalam pengelolaan dana, memiliki kelengkapan fasilitas pendidikan-dengan perpustakaan yang berisi lebih dari 6000 judul buku yang telah diatur secara katalog dan juga laboratorium, memiliki sistem perekrutan tenaga pengajar yang ketat dan pemberian bea siswa untuk yang berprestasi. Sehingga Charles Michael Stanton menyatakan bahwa Madrasah Nizamiyah merupakan Perguruan Islam modern yang pertama .
Meski Madrasah Nizamiyah memiliki spesifikasi pada kajian teologi dan hukum Islam, namun dalam kurikulum yang digunakan terdapat pula perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fiqh, kalam dan lainnya) dan disiplin ilmu aqliyah (filsafat, logika, matematika, kedokteran dan lailnnya). Bahkan, pada masa itu, kurikulum Nizamiyah menjadi kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya.
Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian 'serius' dari pemerintah. Sehingga kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan pribadi dan istana pun terbuka untuk umum . Namun setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 1258 M, dunia pendidikan Islam pun mengalami kemunduran dan kejumudan. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami distorsi besar-besaran. Dari serbuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada.

D. DAMPAK NIDZAMIYYAH BAGI PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN ISLAM
Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban-sebagai seorang hamba (abd) dihadapan Khaliq-nya dan sebagai 'pemelihara' (khalifah) pada semesta . Karenanya, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapakn peserta didik (generasi penerus) dengan kemampuan dan keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat (lingkungan).
Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, peran pendidikan ini benar-benar bisa dilaksanakan pada masa-masa kejayaan Islam. Hal ini dapat kita saksikan, di mana pendidikan benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab, Asia Barat hingga Eropa Timur. Untuk itu, adanya sebuah paradigma pendidikan yang memberdayakan peserta didik merupakan sebuah keniscayaan.
Madrasah Nidzamiyah merupakan contoh yang kongkrit tentang pola pendidikan modern pada masa abad pertengahan. Pendidikan Nidzamiyah memiliki jaminan keunggulan, metode dan pengembangan peserta didik yang sesuai dengan kapasitas dan kompetensi yang dimilikinya. Penghargaan atau reward yang demikian tinggi bagi guru dengan berbagai jaminan kesejahteraan, jaminan kesejahteraan keluarga, pendidikan anak, dan penghargaan terhadap kapasitas keiilmuan dan hasil kerja merupakan bentuk nyata penilaian berbasis kinerja yang pada dunia modern dijadikan standar upah.
Peserta didik yang akan masuk menjadi murid Nidzamiyah melalui saringan yang luar biasa, transparan dan berkualitas, sehingga dimungkinkan dari Madrsah Nidzammiyah ini muncul intelektual Muslim yang berkualitas – murid yang berkualitas tersebut mendapatkan berbagai beasiswa dari Negara untuk membantu biaya pendidikan.
Secara umum, kehadliran Madrsah Nidzamiyah memberikan kontribuasi yang signifikan dalam proses pembangunan dan perwujudan karya intelektual-budaya umat Islam pada abad pertengahan, misalnya :
1. Melahirkan tokoh-tokoh intelektual yang hasil karya dan pemikirannya sampai saat ini masih menjadi rujukan bagi umat Islam atau ilmuwan dunia untuk pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya Abdul Ma'ali al Juwaini, Imam Al Gazali dsb.
2. Nidzamiyah merupakan pendidikan dengan menggunakan system sekolah yang pertama – yang dalam perspektif dunia pendidikan modern lebih mirip dengan universitas. Artinya Madrasah Nidzamiyah adalah pelopor pendidikan tinggi modern.
3. Murid yang masuk menjadi peserta didik di Nidzamiyyah diperoleh melalui saringan yang ketat dan murid yang berprestasi mendapatkan reward dari Negara berupa beasiswa, demikian juga dengan para guru/dosen atau asistan dosen.
4. Terdapat tingkatan kualitas dosen yang menunjukkan kualitas keilmuan, hasil kerja atau kinerja dosen, penghargaan terhadap hasil karya ilmiyah baik berupa buku atau hasil penelitian – biaya yang melimpah untuk menunjang pengembangan ilmu pengetahuan. Aspek tersebut menjadi dasar pengembangan perguruan tinggi modern.
5. Nidzamiyah memiliki spesifikasi pada kajian teologi dan hukum Islam, namun dalam kurikulum yang digunakan terdapat pula perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fiqh, kalam dan lainnya) dan disiplin ilmu aqliyah (filsafat, logika, matematika, kedokteran dan lailnnya). Bentuk perguruan Nidamiyah menjadi contoh pada perguruan tinggi Modern, dimana mereka mengambil spesifikasi pendidikan tertentu, misalnya Perguruan tinggi Teknik dan Perguruan tinggi yang berberak dibidang Pendidikan.
6. kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan pribadi dan istana pun terbuka untuk umum – yang ternyata menjadi nafas dan trend bagi pergururuan tinggi modern.

E. KERUNTUHAN MADRASAH NIDZAMIYYAH
Madrasah Nizamiyah sedikit demi sedikit mengalami kemunduran setelah wafatnya Nizam al-Mulk. Madrasah yang sistem pendidikan dan organisasinya ditiru di Eropa ini sempat berjaya sampai akhir abad ke-14, ketika Timur Lenk menghancurkan Baghdad pada tahun 1258 M. Timur lenk dengan bala tentaranya menyerbu kota Baghdad dan menghancurkan segala peradaban serta membantai ribuan orang di wilayah yang ditaklukkannya.
Philip K. Hitti sejarawan yang menulis buku Histori of the Arab memberi-kan penilaian yang cukup menarik 'perbedaan antara orang Monggol dan orang Eropa adalah pada sisi bagaimana mereka merwat ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh umat Islam. Jika orang Mongol menghancurkan Islam dalam hal ini Bagdad dengan membakar, menghancurkan karya ilmiyah, membunuh dan menjarah harta benda umat Islam di Bagdad, maka orang Eropa menghancurkan Islam di Spanyol dengan jalan lebih intelektual yaitu merampas kekayaan material umat Islam dan menyimpan hasl karya intelektual Islam yang tersimpan diberbagai universitas di Andalusia, menangkap para intelektual untuk menerjemahkan buku atau manuskrip hasil research ke dalam bahasa Eropa. Maka dalam kurun waktu yang relative singkat, mereka sudah mampu mentransfer ilmu pengetahuan yang hebat dari umat Islam dan mempraklamirkan sebagai bangsa yang mengalami "Renaisance" atau Aufklarung (pencerahan atau kebangkitan kembali), sedangkan bangsa Mongol tetatp menjadi bangsa yang melanglang buana untuk merampas kekayaan materi bangsa lain .
Lebih lanjut ia mengatakan andakan bangsa Mongol sedikit lebih cerdar dengan mengambil karya Ilmiyah di Madrasah Nidzamiyyah, dan tdak membuangnya di sungai Eufrat dan Tigris sebagai jembatan penyeberangan; mentransfer dan mempelajarinya, maka mereka tentu akan menjadi bangsa yang cerdas dan beradab .
Secara umum, hancurnya kota pada tahun 1258 M menjadikan kota tersebut kehilangan daya tarik pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, walaupun ia masih mampu bertahan sampai akhir abad ke 14, akan tetapi keberadaannya tidak mampu mengembalikan fungsi Bagdad sebagai pusat pengembangan pendidikan dan Ilmu pengetahuan akhirnya Baghdad benar-benar hancur lebur sekitar tahun 1393 M . Jika di rinci, factor penyebab keruntuhan Madrasah Nidzamiyah adalah :
1. Kehancuran kota Bagdad akibat serangan bangsa Mongol. Serangan tersebut mengakibatkan para intelektual terbunuh, pusat pendidikan rusak, perpustakan dan balai penelitian hancur termasuk karya intelektual baik yang tersimpan di perpustakaan atau balai penelitian Nidzamiyah.
2. Serangan bangsa Mongol juga menghancurkan kekuatan politik umat Islam – yang pada gilirannya melahirkan kerajaan kecil yang terpisah dari kekuasaan Bagdad.
3. Berkembangnya pusat pendidikan di Negara lain, walau tidak sebesar Madrasah Nidzamiyyah, misalnya pendidikan di kerajaan daulat Safawiyah (kelompok tarekat), kerajaan Moghul India dan kerajaan Turki Utsmani.

BAB IV
KESIMPULAN

Dari tulisan diatas, paling tidak ada lima hal yang dapat kita petik dari Madrasah Nidzamiyyah.
1. Nidzamiyyah telah berjasa dalam mengembangkan Sunni Syafi'iyyah,
2. Nidzamiyyah telah berhasil menumbangkan madzhab Syi'ah di daerah itu (meskipun Syi'ah sekarang masih ada, tapi minimal sudah berkurang),
3. Nidzamiyyah sangat menghargai guru dengan gaji yang sangat besar, sehingga guru tidak perlu lagi berfikir mencari nafkah untuk keluarganya,
4. Madrasah ini betul-betul menyeleksi calon Mahasiswanya dengan sangat ketat, sehingga betul-betul menjadi sekolah favorit sampai saat itu dan wajar jika banyak alumninya menjadi ulama handal,
5. Nidzamiyyah sangat mendukung kemajuan ilmu pengetahun, hal ini terbukti pengelola Nidzamiyyah menyediakan beasiswa/biaya bagi dosen yang mau mengadakan penelitian untuk menemukan teori-teori baru.

Nidzamiyah juga berhasil mengembangkan dan menyebar madzhab Sunni Syafi'iyyah di daerah yang merupakan pusat madzhab Syi'ah. Selain Hujjatul Islam, ada juga al-Juwaini, guru pembimbing yang tinggal serumah dengan al-Ghazali.2
Madrasah Nidzamiyyah telah berjasa dalam banyak hal, diantaranya; berhasil memberhentikan meluasnya aliran Mu'tazilah dan aliran syi'ah, mengembangkan Sunni Syafi'iyyah, menyebar teologi Asy'ariyyah, dan juga turut menumbangkan teologi Mu'tazilah dan Syi'ah





DAFTAR KEPUSTAKAAN


Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta : Gama Media, 2002),
Ahmad Syalabi : Sejarah dan Kebudayaan Islam" Jilid II (Jakarta, Pustaka Al Husna, 1987),
Ahmad Tafsir, "Ilmu Pendidika Dalam Perspektif Islam", (Bandung, Remaja Rosda Karya, 2000)
Ahmad Taufiq, Mengenang Dinasti Saljuq & Madrasah Nidzamiyah", Dalam http:// www.misykat-kediri.co.cc/2009/04/mengenang-dinasti-saljuq-madrasah.html
al-Subki, Tabaqat al-Shafi’iyya al-Kubra, (Kairo, 1964) vol III,
Badri Yatim, "Emsiklopedi Mini: Sejarah dan Kebudayaan Islam", (Jakarta: Logos, 1996)
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002)
http://wanipintar.blogspot.com/2009/03/pendahuluan-bangsa-turki-mempunyai.
Http://mazguru, wordpres, com/ Madrasah Nidzamiyyah Sejarah dan perkembangannya
http://indo-zahra.blogspot.com/2009/03/madrasah-madrasah-Nidzamiyyah.html
http://www.republika.co.id/berita/33877/Abdul Ma'ali Al Juwaini Sang Cahaya Agama (diya'ud din)
M. Faruqi, The Development of the Institutions of Madrasa and the Nizamiyya of Baghdad, Islamic Studies, vol. 26, musim gugur 1987, hlm. 258
M. Khoirul Anam, "Melacak Paradigma Pendidikan Islam; Sebuah Upaya Menuju Pendidikan Yang Memberdayakan", dalam Http://re-search.com/mk-anam.html
Philip K. Hiti, "History of Arab", Terj. Ushuluddin Hutagalung, (Bandung..
Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas

Al Hallaj

ZABAZ

AL HALLAJ DAN PEMIKIRAN TASAWUFNYA



Disusun untuk memenuhi tugas Seminar Kelas mata kuliah
Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam






Oleh :
I H S A N

Dosen Pembina
Dr. Abd. Hadi AR, M.Ag






UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2009

DAFTAR ISI



Halaman Judul 01
Daftar Isi 02

BAB I : PENDAHULUAN …………………………………………………………………… 03
BAB II : SEKILAS TENTANG KEHIDUPAN AL HALLAJ ………….…………………. 05
A. DAERAH TEMPAT KELAHIRAN AL HALLAJ ……… …………………….. 05
B. SEJARAH KEHIDUPAN AL HALLAJ ………………………………………. 06
1. Sejarah Kehidupan Al Hallaj …………………………………………… 06
2. Kehidupan Rohani Al Hallaj ……………………………………………. 12
BAB III : KISAH-KISAH MISTIK AL HALLAJ …………………………………………….. 15
A. KAROMAH SUFI AL HALLAJ ……………………………………………. 15
B. BERBAGAI LEGENDA DAN KISAH TENTANG AL HALLAJ ………….. 16
BAB IV : PEMIKIRAN TASAWUF AL HALLAJ …………………………………………….. 23
A. ITTIHAD, HULUL DAL FANA FIL LAHUT …………………………………. 23
B. WIHDATUL WUJUD …………………………………………………………….. 24
BAB V : PANDANGAN MASYARAKAT ISLAM TERHADAP AL HALLAJ
DAN TASAWAUFNYA ………………………………………………………………… 33
A. AL HALLAJ DAN SYECH SITI JENAR ……………………………………….. 33
B. KONTROVERSI SEPUTAR PEMIKIRAN AL HALLAJ ……………………. 35
BAB VI ; PENUTUP ……………………………………………………………………………. 47
A. KESIMPULAN ………………………………………………………………………. 47
B. SARAN ……………………………………………………………………………… 48

DAFTAR KEPUSTAKAAN 49

BAB I
PENDAHULUAN

Kebanyakan orang menggambarkan prilaku Sufi itu identik dengan kehidupan yang menyendiri, tidak mau berkumpul dengan orang banyak (masyarakat), tidak menikah bahkan untuk mendengar dan melihat kehidupan duniapun mereka tidak mau. Penggambaran seperti itu ada kalanya memiliki kebenaran tetapi yang sesungguhnya benar adalah apa yang dilakukan oleh Nabi, ketika Nabi memandang penting kehidupan dunia dan memuliakan kehidupan akhirat sebagai tujuan akhir hidup manusia. Nabi memiliki keluarga, beliau juga memeras keringat untuk memberi nafkah keluarga-Nya, minum dan makan sebagaimana manusia yang lain, memiliki rasa cinta kepada dunia dan keluarga, namun kesemuanya itu tidak mampu menghalangi Nabi untuk melakukan proses penyucian diri dan pendekatan kepada Allah sebagai Hamba yang pandai bersyukur.
Dalam suatu riwayat, diceritakan Aisyah ummul Mu’minin didatangi seorang perempuan yang wajahnya cantik tetapi lusuh, kotor, tidak ada semangat dan gairah kehidupan – Aurah kecantikannya hampir pudar dan hilang. Seraya menceritakan kehidupan rumah tangganya kepada Aisyah – ia bilang bahwa suaminya terus menerus berpuasa disiang hari dan melakukan i’tikaf di Masjid pada malam harinya – waktunya habis digunakan untuk ibadah. Saya dibiarkan tidur kedinginan di rumah. Lalu disampaikanlah peristiwa tersebut kepada Nabi, maka Nabi mencari siapa gerangan laki-laki tersebut – maka didapatinya laki-laki tersebut sedang puasa dan i’tikaf di Masjid. Di tegurlah laki-laki tersebut seraya berkata “saya juga makan, minum, berpuasa dan memiliki Istri, maka kembalilah kepada keluargamu”. Beberapa hari kemudian wanita itu datang lagi kepada Aisyah dengan wajah cantik dan penuh gairah, di bibirnya tersungging sebuah senyuman yang penuh arti.
Pemaknaan tasawuf oleh Nabi berbeda dengan pemaknaan kesucian yang diperlihatkan oleh seorang laki-laki tersebut – yang menyebabkan Nabi harus melakukan klarifikasi dan koreksi sehingga tidak terjadi pemaknaan tasawuf dalam konteks "Rabi atau Pastor" dalam agama Kristen. Al Hallaj sebagai tokoh sentral pembahasan seminar kali ini memberikan pemaknaan tasawuf jauh lebih hebat dari pada pemaknaan kata-kata – Seketika dia telah disalibkan dan menunggu ajal, sebab dia berkepercayaan bahwa dirinya bersatu dengan Tuban (“Wihdatul Wujud” atau “ittihad”), maka datang seseorang bertanya kepadanya : “Di waktu sekarang patutlah bertinggal kata kepada kami, apakah arti yang sejati dari Tasawuf itu ?”
Darah telah titik dari tubuh dan dari dalam matanya, punggungnya telah hangus kena panas, hanya menunggu tubuhnya akan dipotong-potong. Waktu itu ia berkata, kata yang penghabisan : “TASAWUF IALAH YANG ENGKAU LIHAT DENGAN MATAMU INI. INILAH DIA TASAWUF” .
Mengingat luasnya kajian tasawuf terutama yang berkaitan dengan kontroversi sufisme Al Hallaj, maka pokok bahasan dalam kajian ini difokuskan pada hal-hal sebagai berikut :
1. Sejarah ringkas kehidupan Al Hallaj – yang memungkinkan kita dapat melihat factor mendasar mengapa Al Hallaj memiliki pemikiran tasawuf yang controversial.
2. Pemikiran-pemikiran tasawuf Al Hallaj terutama konsep Al Ittihad dan Wihdatul Wujud.
3. Pandangan para sufi terhadap kontroversi pemikiran sufisme Al Hallaj.
4. Perbandingan Sufisme Al Hallaj dan Syech Siti Jenar dalam masyarakat Indonesia.

Secara umum permasalahan permasalahan pemikiran tasawuf tersebut hanya sedikit dari problem dan kedalaman pemikiran tasawuf yang berkembang dilingkungan umat Islam terutama jika dikaitkan dengan tradisi tarekat dan sufisme local di Indonesia. Untuk itu jika terdapat inkonsistensi dan kontroversi sufisme, maka ia hanya riak kecil dari gelombang besar keindahan sufi dalam Islam.



BAB II
SEKILAS TENTANG KEHIDUPAN AL HALLAJ

A. DAERAH TEMPAT KELAHIRAN AL HALLAJ
Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866 M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal .
al-Husain bin Mansur, juga populer dipanggil dengan Abul Mughits, berasal dari penduduk Baidha’ Persia, lalu berkembang dewasa di Wasith dan Irak. Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan guru-guru lainnya. Walau pun ia ditolak oleh sejumlah Sufi, namun ia diterima oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy. Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ahli hakikat. Bahkan Muhammad bin Khafif berkomentar, “Al-Husain bin Manshur adalah seorang a’lim Rabbany.”
Bagi sebagian ulama islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut.
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman ."

B. SEJARAH KEHIDUPAN AL HALLAJ
1. Sejarah kehidupan Al Hallaj
Sebagaimana yang dikemukakan di atas bahwa Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866 M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Tidak jelas mengapa ia berbuat demikian. Sama sekali tidak dijumpai ada laporan ihwal corak pendidikan khusus yang diperolehnya dari Sahl. Tampaknya ia tidak dipandang sebagai murid istimewa. Al-Hallaj juga tidak menerima pendidikan khusus darinya. Namun, ini tidak berarti bahwa Sahl tidak punya pengaruh pada dirinya. Memperhatikan sekilas praktek kezuhudan keras yang dilakukan al-Hallaj mengingatkan kita pada Sahl. Ketika al-Hallaj memasuki Bashrah pada 884 M, ia sudah berada dalam tingkat kezuhudan yang sangat tinggi. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu .
Al-Hallaj bergaul dengan Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga. Tampaknya seorang sahabat Amr yang bernama al-Aqta yang juga murid Junaid mengetahui kemampuan dan kapasitas spiritual dalam diri al-Hallaj dan menyarankan agar ia menikah dengan saudara perempuannya, Betapapun juga Amr tidak diminta pendapatnya, sebagaiman lazimnya terjadi. Hal ini menimbulkan kebencian dan permusuhan serta bukan hanya memutuskan hubungan persahabatan antara Amr dan Al-Aqta, melainkan juga membahayakan hubungan guru-murid antara Amr dan al-Hallaj. Al-Hallaj yang merasa memerlu-kan bantuan dan petunjuk untuk mengatasi situasi ini, berangkat menuju Baghdad dan tinggal beberapa lama bersama Junaid, yang menasehatinya untuk bersabar. Bagi Al-Hallaj, ini berarti menjauhi Amr dan menjalani hidup tenang bersama keluarganya dan ia kembali ke kota kelahirannya. Diperkirakan bahwa ia memulai belajar pada Junaid, terutama lewat surat-menyurat, dan terus mengamalkan kezuhudan .
Enam tahun berlalu, dan pada 892 M, al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan mungkin juga Junaid .
Sangat boleh jadi bahwa Amr segera menentang al-Hallaj. Aththar menun-jukkan bahwa al-Hallaj datang kepada Junaid untuk kedua kalinya dengan beberapa pertanyaan ihwal apakah kaum sufi harus atau tidak harus mengambil tindakan untuk memperbaiki masyarakat (al-Hallaj berpandangan harus, sedangkan Junaid berpandangan bahwa kaum sufi tidak usah memperhatikan kehidupan sementara di dunia ini). Junaid tidak mau menjawab, yang membuat al-Hallaj marah dan kemudian pergi. Sebaliknya, Junaid meramalkan nasib Al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899 M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Banyak legenda dituturkan dalam perjalanan ini berkenaan dengan diri al-Hallaj berikut berbagai macam karamahnya. Semuanya ini makin membuat al-Hallaj terkenal sebagai mempunyai perjanjian dengan jin. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906 M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
Tahun 913 M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912 M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913 M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq) . Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia. Ia menjadi seorang Jesus Muslim, sungguh ia menginginkan tiang gantungan.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini.
Pada abad ke 9 Masehi, berkembang kehidupan kerohanian Islam dengan jalan melakukan Zuhud (mengabaikan dunia) untuk mencapai kesempurnaan makrifat dan tauhid kepada Allah. Gagasan-gagasan para ahli sufi dan syiah pada abad tersebut telah ditemukan, baik yang berupa berupa syair ataupun pemikiran yang menunjukkan keanekaragaman kemungkinan dalam kehidupan mistik, seperti halnya Al Ghazaly, Dzun Nun (859 M), Bayezid Bistami (874 M), dan Al Harith al Muhasibi (857 M) dan Husein Ibn Mansur Al hallaj (858 M). Pemikiran dan peranan para tokoh inilah yang perlu kita ketahui sebagai wacana keilmuan dan sejarah, sekaligus menganalisa konflik pemikiran yang tidak pernah habis dibahas, karena pihak-pihak yang berbeda pendapat tidak pernah saling bertemu untuk memberikan klarifikasi dalam satu majelis, kecuali hanya saling mengecam dan mengkafirkan dengan musabab bibit konflik politik kekuasaan yang serakah dan licik sejak lama. Banyak kisah keshalehan serta kata-kata bijak penuh hikmah yang mengisi setiap referensi kitab-kitab keislaman di Timur maupun di Barat yang berasal dari para tokoh Sufi ini, baik yang bisa difahami oleh kaum awam sampai pernyataannya yang banyak mengundang perdebatan yang tidak henti-hentinya sampai sekarang. Menarik untuk dikaji kembali penyataan yang populer yang di lontarkan oleh Husein Ibnu Al Hallaj " Akulah kebenaran Yang Tertinggi ". Peristiwa ini merubah pandangan masyarakat umum terhadap kaum Sufi atau para Zahid yang menjalankan olah kerohaniannya dengan melakukan dzikir secara rutin, shalat malam dan menjauhkan diri dari perbuatan maksyiat. Sehingga pada ujungnya berpengaruh terhadap perkembangan ilmu tafsir yang menjadi mandek. Terlihat para mufassirin agak ragu-ragu menafsirkan kata-kata hiperbolis kedalam pengertian proporsi yang sebenarnya, dan sampai kini orang menjadi merasa takut apabila membicarakan mengenai ilmu hakikat dan makrifat. Mereka mengira ilmu tasawuf adalah ajaran sesat dan membahayakan. Saya menganggap pandangan mereka terlalu gegabah dan tidak bijaksana. Pandangan yang mengakibatkan ajaran Islam menjadi amat dangkal, karena nilai spiritual yang seharusnya diajarkan telah hilang, yaitu nilai psikologi keihsanan kepada Allah dalam setiap peribadatan, yang mestinya paling dianggap menentukan dalam kaitan diterima atau ditolaknya perilaku keagamaan seseorang. Saya terkesan dengan pandangan Yahya, seorang Sufi yang shaleh menanggapi pernyataan orang Yang menganggap dirinya Tuhan dengan doa dalam bentuk dialektis :
Oh Allah , kau telah mengirim Musa dan Harun ke Fir'aun si pemberontak dan berkata, " berbicaralah baik-baik dengannya" , Oh Allah , inilah kebaikan hati-Mu terhadap orang yang menganggap dirinya Tuhan; bagaimana pula gerangan kebaikan hati-Mu terhadap orang menjadi abdimu sepenuh jiwanya ? …Oh Allah, ada takut kepada-Mu karena aku budak, dan aku berharap pada-Mu karena kaulah Tuan ! …Oh Allah bagaimana pula aku tidak takut padaMu karena Kau Maha Kuasa ? Oh Allah , bagaimana aku datang kepada-Mu karena aku budak yang memberontak, dan bagaimana aku tidak datang kepada-Mu karena Kau Penguasa yang pemurah .
Sebagai tokoh yang tiada hentinya dibicarakan di dunia mistik Islam maupun dikalangan yang memusuhinya, Al Husain ibnu Mansur Al Hallaj pada tahun 922 M dijatuhi hukuman mati oleh para wakil kaum ahli hukum karena ajaran yang disebarkannya, yang dianggap telah keluar dari aqidah Islam -yang terutama- berasal dari ucapannya yang terkenal, Ana 'l Haqq ( Akulah kebenaran Tertinggi ). Pro dan kontra dari jatuhnya hukuman tersebut -sampai sekarang- masih juga terjadi, namun demikian saya memiliki alasan sendiri mengapa tokoh ini masih pantas dibahas pada sebuah telaah seperti ini, yaitu kemungkinan a priori bahwa riwayat hidup dan ajarannya lebih banyak berpengaruh terhadap Islam di Indonesia dari pada ditempat lain. Sejak lama, terutama karena penelitian Snouck Hurgronje dan B.O. Schrieke, kita tahu dengan pasti bahwa para saudagarlah yang berperan dalam ekspansi agama Islam di Indonesia berasal dari India, khususnya dari daerah Gujarat, dipantai Barat Laut semenanjung India. Daerah tersebut mempunyai hubungan yang khusus dengan Al Hallaj, dimana dia sendiri membawa agama Islam kesana dan bahkan berhasil membawa tiga kasta ke dalam pangkuan agama Islam. Bahwa konteks itu memang cukup luas jangkauannya terbukti oleh kenyataan, bahwa sebagian dari kasta-kasta itu sampai sekarang ini masih disebut orang Mansuri, sedangkan makam Al Hallaj di Bagdad tetap didatangi oleh orang-orang Gujarat . Saya kira tidak mungkin mengabaikan riwayat beliau karena banyak memainkan peranan penting dalam dunia Islam di Indonesia dari pada di tempat lain, terutama di Jawa dan Aceh. Kita bisa melihat baik tersirat maupun tersurat, dalam ajaran sinkretisme Jawa terdapat unsur-unsur pantheisme atau manunggaling kawula Gusti, yang berakar dari ajaran Mistik Islam kejawen dengan latar belakang ajaran Tharikat Naqsabandiyah yang dianut oleh Pujangga besar Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam kitabnya Serat Wirid Hidayat Jati ataupun ajaran Hindu yang merupakan sumber paham pantheisme.

2. Kehidupan rohani Al Hallaj
Kehidupan rohani yang nampak mengemuka dari seorang yang bernama al Hallaj adalah kontroversinya tentang "Ana Al_Haq". Statemen ini membawa pada kematian yang sangat tragis.
Tragis! Begitulah kesan yang nyaris sepenuhnya tepat untuk melukiskan tragedi kematian Abu Mansur al-Hallaj (244-309 H/957-922 M), sang sufi besar yang kontroversial itu. Tubuhnya yang renta diseret, disalib, tangan dan kakinya dipotong, lalu dibakar dan abunya dibuang ke laut .
Kafir" karena telah mengaku Tuhan adalah materi dasar dakwaan pemerin-tah yang berkuasa. Tapi Louis Massignon, penulis buku paling representatif tentang Hallaj, La Passion de Hallaj, Martyr Mystique de l'Islam: La Doctrine de Hallaj, menyatakan persoalannya tidak sesederhana itu. Nuansa politis tak bisa dikesampingkan, dan itu terlihat dari pergeseran penyebutan dari "zindiq" ke "kafir". Persoalan yang lahir kemudian adalah simplifikasi pengertian Ana al-Haq (Akulah Sang Kebenaran) .
Tawasin merupakan karya Hallaj yang dapat memberikan jawaban atas persoalan ini. Ia adalah salah satu karya Hallaj yang berbentuk prosa lirik. Walau tidak secanggih Ibnu Arabi dalam mengurai gagasannya serta tidak selihai Rumi dalam memintal bahasa, buku ini cukup jelas menampilkan pikiran kreatif Hallaj tentang realitas yang berujung pada Ana al-Haq.
Ana al-Haq adalah kesimpulan dari konsep realitas yang dibangun Hallaj dari negasi segala yang selain-Nya serta afirmasi Tuhan sebagai satu-satunya kebenaran. Di sini Hallaj sebenarnya telah menerapkan kalimat la ilaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah) sepenuhnya dan seutuhnya. Bagi Hallaj, Tuhan adalah realitas absolut yang melahirkan realitas relatif, yaitu semesta dan segala isinya. Proses kelahiran realitas relatif melalui tingkat-tingkat realitas sehingga sampai pada satu titik ujung Nur Muhammad. Karena itu Nabi Muhammad saw adalah inti realitas semesta dengan citra Tuhan, yang disebut Ibnu Arabi sebagai al-mir'ah al-muhammadiyyah (cermin berupa Muhammad).
Sebagai realitas relatif, semesta yang berasal dari Tuhan mengemban citra (shurah) Tuhan dalam dirinya sehingga ia berfungsi sebagai tanda (ayat) Tuhan. Dalam diri manusia, Tuhan meletakkan citranya. Karena itu Ia akan selalu hadir dan "menampakkan diri" (tajalli) ketika manusia mengusahakannya. Hallaj--dalam perjalanan spiritualnya--telah sampai pada tingkat merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya. "Bila kau tak mengenali-Nya, kenalilah ayat-ayat-Nya. Dan Akulah tanda penampakan-Nya (tajalli). Ana al-Haq, Akulah Kebenaran! Ini karena tak henti-hentinya aku merealisasikan Kebenaran itu," kata Hallaj dalam Tawasin-nya (hlm. 48).
Pernyataan seperti ini didasarkan Hallaj pada pengalaman menyatu (unity experience) dirinya dengan Sang Kebenaran, setelah tidak puas dengan rumusan dan konsep tentang realitas absolut. Ia mengumpamakan dirinya dengan seekor ngengat yang terbang mengitari api. Tapi ia tidak puas dengan cahaya dan panas, sehingga ia masuk membakar diri, menyatu dengan api (hlm. 12).
Hallaj sadar, penyatuan sepenuhnya tidak akan pernah tercapai selama dirinya masih terpenjara dalam tubuh yang fisik-material. Maka kematian adalah jalan yang harus dilewati untuk keluar dari penjara itu dan menyatu secara total dengan Tuhan yang sering ia sebut "Kekasih". Karena itu, Hallaj tidak takut pada hukuman mati yang akan dijalaninya, padahal ia tahu betul proses eksekusi sadis atas dirinya seperti diramalkan dalam Tawasin-nya. "Guruku Fir'aun dan temanku Iblis," katanya pada bagian lain. Keduanya adalah representasi figur yang tidak mau mencabut keyakinan, apapun yang akan menimpa, termasuk kematian. Baginya, kematian bukanlah tragedi, tapi jalan yang harus dilewati.
Membaca tuntas Tawasin, yang tergolong tipis, begitu mengasyikkan, mem-pesona, karena kreatif, tajam, dan "nakal". Kita akan mafhum apa sebenarnya yang dimaksud Hallaj. Ia hanya menerapkan tauhid secara utuh, tanpa destruksi sedikitpun, tanpa sama sekali bermaksud mengaku Tuhan.
Dalam bagian akhir Tawasin, Hallaj menegaskan: "Allah adalah Allah, makhluk adalah makhluk. Dan ini tidak perlu dipersoalkan." Dengan mengenal karya Hallaj sendiri, kita bisa memperkaya pengetahuan tentang tasawuf falsafi yang selama ini didominasi oleh wacana pemikiran Ibnu Arabi. Karena hakikatnya Hallaj berbicara tentang dunia metafisika.
Dalam dunia tasawuf, para sufi seringkali dianggap sebagai orang shalih yang jiwanya telah mencapai suatu tingkat keruhanian berada di atas orang-orang biasa. Mereka tahu apa yang orang biasa tidak tahu, mereka merasakan apa yang orang biasa tidak merasakannya. Karena didorong maksud baik untuk berbagi kebahagiaan yang mereka rasakan dalam pengalaman keruhanian atau biasa disebut sebagai pengalaman sufistik, para sufi itu berusaha menjelaskan pengalaman batin yang mereka rasakan, namun seringkali tak terwadahi oleh kata-kata dan tak terpahami oleh masyarakat biasa. Biasanya para sufi itu menjelaskan banyak sekali menggunakan simbolisme, metafora-metafora. Oleh karena itu mereka tidak bisa dipahami hanya dari segi zahiriyahnya saja. Maka terjadilah kesalahpahaman yang meresahkan, suatu keadaan yang tak diinginkan oleh para tokoh agama yang diakui dan merasa mempunyai otoritas untuk merumuskan, menafsirkan dan menjaga kemurnian atau ortodoksi ajaran agama.

BAB III
KISAH-KISAH MISTIk AL HALLAJ

A. KAROMAH SUFI Al HALLAJ
Husain ibn Manshur al-Hallaj atau biasa disebut al-Hallaj adalah ulama sufi yang dilahirkan di kota thur dikawasan iran tenggara pada tanggal 26 maret 866 M.
Beliau memiliki begitu banyak karomah semasa hidupnya. Menutur Anthhar -muridnya- suatu hari al-Hallaj melewati sebuah gudang kapas dan melihat seonggok buah kapas. Ketika jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas itu, biji-bijinya pun terpisah dari serat kapas.
Beliau juga dijuluki Hallaj Al Asrar karena mampu membaca pikiran orang dan menjawab pertanyaan mereka sebelum ditanyakan kepadanya.
Saat menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya, al-Hallaj pergi ke sebuah gunung untuk mengasingkan diri bersama beberapa orang pengikutnya. Sesudah makan malam, al-Hallaj mengaakan dia ingin makan manisan. Semua muridnya kebingungan lantaran semua perbekalan telah habis. al-Hallaj tersenyum dan berjalan menembus kegelapan malam. Beberapa menit kemudian al-Hallaj kembali sambil membawa makanan berupa kue-kue hangat yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Al-Hallaj kemudian meminta semua muridnya makan bersama. Seorang murid al-Hallaj penasaran dan ingin tahu dari mana al-Hallaj memperoleh makanan tersebut dan menyembunyikan kue bagiannya. Ketika mereka kembali dari dari pengasingan diri, sang murid ini mencari seseorang yang mengetahui asal kue itu. Akhirnya salah seorang warga kota Zabib, sebuah kota yang jauh dari situ mengetahui bahwa kue itu berasala dari kotanya. Sang murid yang keheranan ini pun sadar bahwa al-Hallaj mempeoleh kue itu secara ajaib. "Tak ada seoranh pun dan hanya jin saja yang sanggup menempuh jarak yang jauh dalam waktu singkat", katanya.
Pada kesempatan lain, al-Hallaj mengarungi padang pasir bersama sekelompok orang dalam perjalanan menuju mekkah. Di suatu tempat sahabat-sahabatnya menginginkan buah ara. al-Hallaj pun mengambil senampan penuh buah ara dari udara. Kemudian mereka meminta Hlawa, al-Hallaj membawa senampan penuh halwa hangat dan berlapis gula serta memberikannya kepada mereka. Usai memakannya, mereka mengatakan bahwa kue itu khas suatu daerah di baghdad, irak. Mereka pun bertanya bagaimana al-Hallaj mendapatkannya dari negeri yang amat jauh tersebut. al-Hallaj pun menjawab bahwa baghdad dan padang pasir adalah sama dan tidak ada jarak diantaranya.
Kemudian mereka pun meminta kurma, al-Hallaj sejenak berdiri dan menyuruh mereka untuk menggerakan tubuh mereka seperti sedang menggoyang-goyang pohon kurma. Ketika mereka melakukannya makan kurma-kurma segar pun berjatuhan dari lengan baju mereka.

B. BERBAGAI LEGENDA DAN KISAH TENTANG AL HALLAJ
Bagaimana mulanya Husain ibn manshur di sebut al-Hallaj sebuah nama yang berarti penggaru (khususnya kapas)? Menurut Aththar, suatu hari Husain ibn Manshur melewati sebuah gudang kapas dan melihat seonggok buah kapas. Ketika jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas itu. Biji-bijinya pun terpisah dari serat kapas. Ia juga dijuluki Hallaj- al-asrar --penggaru segenap Kalbu-- karena ia mampu membaca pikiran orang dan menjawab berbagai pertanyaan mereka sebelum ditanyakan kepadanya.
Al-Hallaj terkenal karena berbagai keajaibanya. Salah satu orang muridnya menuturkan kisah berikut ini:
"Sewaktu menunaikan ibadah haji kedua kalinya, al-Hallaj pergi ke sebuah gunung untuk mengasingkan diri bersama beberapa orang pengikutnya. Sesudah makan malam, al-Hallaj mengatakan bahwa ia ingin makan manisan".
Murid-muridnya kebingungan lantaran mereka telah memakan habis semua bekal yang mereka bawa. Al-Hallaj tersenyum dan berjalan menembus kegelapan malam. Beberapa menit kemudian, ia kembali sambil membawa makanan berupa kue-kue hangat yang belum pernah mereka ketahui sebelumya. Ia meminta mereka untuk makan bersamanya, seorang muridnya, yang penasaran dan ingin tahu dari mana al-Hallaj memperolehnya, menyembunyikan kue bagiannya, ketika mereka kembali dari mengasingkan diri sang murid ini mencari seseorang yang bisa mengetahui asal kue itu, seseorang dari Zabid, sebuah kota yang jauh dari situ, mengetahui bahwa kue itu berasal dari kotanya, sang murid yang keheranan ini pun sadar bahwa al-Hallaj memperoleh kue itu secara ajaib. "Tak ada seorang pun dan hanya jin saja yang sanggup menempuh jarak sedemikian jauh dalam waktu singkat"! serunya.
Pada kesempatan lain al-Hallaj mengarungi padang pasir bersama sekelompok orang dalam perjalanan menuju Mekah. Di suatu tempat, sahabat-sahabatnya menginginkan buah ara, dia ia pun mengabil senampan penuh buah ara dari udara. Kemudian mereka meminta halwa, ia membawa senampan penuh halwa hangat dan berlapis gula serta memberikannya kepada mereka, usai memakannya mereka mengatakan bahwa kue itu khas berasal dari daerah anu di Bagdad, mereka bertanya ihwal bagaimana ia memperolehnya. Ia hanya menjawab, baginya Baghdad dan padang pasir sama dan tidak ada bedanya, kemudian mereka meminta kurma, ia diam sejenak berdiri dan menyuruh mereka untuk menggerakkan tubuh mereka seperti mereka menggoyang-goyang pohon kurma, mereka melakukannya, dan kurma-kurma segar pun berjatuhan dari lengan baju mereka.
Al-Hallaj terkenal bukan hanya karena keajaibannya, melainkan juga karena kezuhudannya. Pada usia lima puluh tahun ia mengatakan bahwa ia memilih untuk tidak mengikuti agama tertentu, melainkan mengambil dan mengamalkan praktek apa saja yang paling sulit bagi nafs (ego)-nya dari setiap agama. Ia tidak pernah meninggalkan shalat wajib, dengan shalat wajib ini ia melakukan wudhu jasmani secara sempurna.
Ketika ia mulai menempuh jalan ini, ia hanya mempunyai sehelai jubah tua dan dan bertambal yang telah dikenakannya selama bertahun-tahun. Suatu hari, jubah itu diambil secara paksa, dan diketahui bahwa ada banyak kutu dan serangga bersarang didalamnya --yang salah satunya berbobot setengah ons. Pada kesempatan lain, ketika ia memasuki sebuah desa, orang-orang melihat kalajengking besar yang mengikutinya. Mereka ingin membunuh kalajengking itu, ia menghentikan mereka seraya mengatakan bahwa kalajengking itu telah bersahabat dengannya selama dua belas tahun, tampaknya ia sudah sangat lupa pada nyeri dan sakit jasmani.
Kzuhudan al-Hallaj adalah sarana yang ditempanya untuk mencapai Allah, yang dengan-Nya ia menjalin hubungan sangat khusus sifatnya, suatu hari, pada waktu musim ibadah haji di Mekah, ia melihat orang-orang bersujud dan berdoa, "Wahai Engkau. Pembimbing mereka yang tersesat, Engkau jauh di atas segenap pujian mereka yang memuji-Mu dan sifat yang mereka lukiskan kepada-Mu. Engkau tahu bahwa aku tak sanggup bersyukur dengan sebaik-baiknya atas kemurahan-Mu. Lakukan ini di tempatku, sebab yang demikian itulah satu-satunya bentuk syukur yang benar."
Kisah penangkapan dan eksekusi atas dirinya sangat menyentuh dan mengharu-biru kalbu. Suatu hari, ia berkata kepada sahabatnya, Syibli, bahwa ia sibuk dengan tugas amat penting yang bakal mengantarkan dirinya pada kematiannya. Sewaktu ia sudah terkenal dan berbagai keajaibannya dibicarakan banyak orang. Ia menarik sejumlah besar pengikut dan juga melahirkan musuh yang sama banyaknya, akhirnya, khalifah sendiri mengetahui bahwa ia mengucapkan kata-kata bid'ah, "Akulah Kebenaran." Musuh al-Hallaj menjebaknya untuk mengucapkan, Dia-lah Kebenaran ia hanya menjawab, "Ya, segala sesuatu adalah Dia! Kalian bilang bahwa Husain (al-Hallaj) telah hilang, memang benar. Namun Samudra yang meliputi segala sesuatu tidaklah demikian."
Beberapa tahun sebelumnya, ketika al-Hallaj belajar dibawah bimbingan Junaid, ia diperintahkan untuk bersikap sabar dan tenang. Beberapa tahun kemudian, ia datang kembali menemui Junaid dengan sejumlah pertanyaan. Junaid hanya menjawab bahwa tak lama lagi ia bakal melumuri tiang gantungan dengan darahnya sendiri, Tampaknya, ramalan ini benar adanya. Junaid ditanya ihwal apakah kata-kata al-Hallaj bisa ditafsirkan dengan cara yang bakal bisa menyelamatkan hidupnya. Junaid menjawab, "Bunuhlah ia, sebab saat ini bukan lagi waktunya menafsirkan." al-Hallaj di jebloskan ke penjara. Pada malam pertama sewaktu ia dipenjara, para sipir penjara mencari-carinya. Mereka heran. Ternyata selnya kosong. Pada malam kedua, bukan hanya al-Hallaj yang hilang, penjara itu sendiri pun hilang!
Pada malam ketiga, segala sesuatunya kembali normal. Para sipir penjara itu bertanya, di mana engkau pada malam pertama? ia menjawab, "pada malam pertama aku ada di hadirat Allah. Karena itu aku tidak ada di sini. Pada malam kedua, Allah ada di sini, karenanya aku dan penjara ini tidak ada. Pada malam ketiga aku di suruh kembali!"
Beberapa hari sebelum dieksekusi, ia berjumpa dengan sekitar tiga ratus narapidana yang ditahan bersamanya dan semuanya dibelenggu. ia berkata bahwa ia akan membebaskan mereka semua, mereka heran karena ia berbicara hanya tentang kebebasan mereka dan bukan kebebasannya sendiri ia berkata kepada mereka: "Kita semua dalam belenggu Allah di sini. Jika kita mau, kita bisa membuka semua belenggu ini," kemudian ia menunjuk belenggu-belenggu itu dengan jarinya dan semuanya pun terbuka. Para narapidana pun heran bagaimana mereka bisa melarikan diri, karena semua pintu terkunci. Ia menunjukkan jarinya ke tembok, dan terbukalah tembok itu. "Engkau tidak ikut bersama kami?" tanya mereka "Tidak, ada sebuah rahasia yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan!" jawabnya
Esoknya, para sipir penjara bertanya kepadanya tentang yang terjadi pada narapidana lainnya. Ia menjawab bahwa ia telah membebaskan mereka semua :"Mengapa engkau tidak sekalian pergi?" tanya mereka "Dia mencela dan menyalahkanku. Karenanya aku harus tetap tinggal di sini untuk menerima hukuman," jawabnya.
Sang khalifah yang mendengar percakapan ini, berpikir bahwa al-Hallaj bakal menimbulkan kesulitan, karena itu, ia memerintahkan, "Bunuhlah atau cambuklah sampai ia menarik kembali ucapannya!" Al-Hallaj dicambuk tiga ratus kali dengan rotan, setiap kali pukulan mengenai tubuhnya terdengar suara gaib berseru, "Jangan takut, putra Manshur."
Mengenang hari itu, seorang sufi syekh Shaffar, mengatakan aku lebih percaya pada akidah sang algojo ketimbang akidah al-Hallaj. Sang algojo pastilah mempunyai akidah yang kuat dalam menjalankan Hukum Ilahi sebab suara itu bisa didengar demikian jelas, tetapi tangannya tetap mantap.
Al-Hallaj digiring untuk di eksekusi. Ratusan orang berkumpul. Ketika ia melihat kerumunan orang, ia berseru lantang, "Haqq, Haqq, ana al-Haqq --Kebenaran, kebenaran, Akulah kebenaran."
Pada waktu itu, seorang darwis memohon al-Hallaj untuk mengajarinya tentang cinta. Al-Hallaj mengatakan bahwa sang darwis akan melihat dan menge-tahui hakikat cinta pada hari itu, hari esok, dan hari sesudahnya.
All-Hallaj dibunuh pada hari itu. Pada hari kedua tubuhnya dibakar, dan pada hari ketiga abunya ditebarkan dengan angin, Melalui kematiannya, al-Hallaj menun-jukkan bahwa cinta berarti menanggung derita dan kesengsaraan demi orang lain.
Ketika menuju ke tempat eksekusi, ia berjalan dengan sedemikian bangga. "Mengapa engkau berjalan sedemikian bangga?" tanya orang-orang. "Aku bangga lantaran aku tengah berjalan menuju ketempat pejagalanku," jawabnya kemudian ia melantunkan syair demikian :
Kekasihku tak bersalah
Diberi aku anggur dan amat memperhatikanku,
laksana tuan rumah
perhatikan sang tamu
setelah berlalu sekian lama,
dia menghunus pedang dan
menggelar tikar pembantaian
inilah balasan buat mereka yang minum anggur lama
bersama dengan singa
tua di musim panas.

Ketika dibawa ke tiang gantungan, dengan suka rela ia menaiki tangga sendiri. Seseorang bertanya tentang hal (keadaan spiritual atau emosi batin)-nya. Ia menjawab bahwa perjalanan spiritual para pahlawan justru dimulai di puncak tiang gantungan, ia berdoa dan berjalan menuju puncak itu.
Sahabatnya, Syibli, hadir di situ dan bertanya, "Apa itu tasawuf?" al-Hallaj menjawab bahwa apa yang disaksikan Syibli saat itu adalah tingkatan tasawuf paling rendah. "Adakah yang lebih tinggi dari ini?" tanya Syibli "Kurasa, engkau tidak akan mengetahuinya!", jawab al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj sudah berada di tiang gantungan, setan datang kepadanya dan bertanya, "Engkau bilang aku dan aku juga bilang aku. Mengapa gerangan engkau menerima rahmat abadi dari Allah dan aku, kutukan abadi?"
Al-Hallaj menjawab, "Engkau bilang aku dan melihat dirimu sendiri, sementa-ra aku menjauhkan diri dari keakuan-ku. Aku beroleh rahmat dan engkau, kutukan. Memikirkan diri sendiri tidaklah benar dan memisahkan diri dari kedirian adalah amalan paling baik."
Kerumunan orang mulai melempari al-Hallaj dengan batu. Namun, ketika Syibli melemparkan bunga kepadanya untuk pertama kalinya, al-Hallaj merasa kesakitan. Seseorang bertanya, "Engkau tidak merasa kesakitan dilempari batu, tapi lembaran sekuntum bunga justru membuatmu kesakitan mengapa?
Al-Hallaj menjawab "Orang-orang yang jahil dan bodoh bisa dimaafkan. Sulit rasanya melihat Syibli melempar lantaran ia tahu bahwa seharusnya ia tidak melakukannya."
Sang algojo pun memotong kedua tangannya. Al-Hallaj tertawa dan berkata, "Memang mudah memotong tangan seorang yang terbelenggu. Akan tetapi, diperlukan seorang pahlawan untuk memotong tangan segenap sifat yang memisahkan seseorang dari Allah." (dengan kata lain, meninggalkan alam kemajemukan dan bersatu dengan Allah membutuhkan usah keras dan luar biasa). Sang Algojo lantas memotong kedua kakinya. Al-Hallaj tersenyum dan berkata, "Aku berjalan di muka bumi dengan dua kaki ini, aku masih punya dua kaki lainnya untuk berjalan di kedua alam. Potonglah kalau kau memang bisa melakukannya!"
Al-Hallaj kemudian mengusapkan kedua lenganya yang buntung kewajahnya sehingga wajah dan lengannya berdarah. "Mengapa engkau mengusap wajahmu dengan darah?" tanya orang-orang. Ia menjawab bahwa karena ia sudah kehilangan darah sedemikian banyak dan wajahnya menjadi pucat maka ia mengusap pipinya dengan darah agar orang jangan menyangka bahwa ia takut mati.
Mengapa," tanya mereka, "Engkau membasahi lenganmu dengan darah?" Ia menjawab, "Aku sedang berwudu. Sebab, dalam salat cinta. Hanya ada dua rakaat, dan wudhunya dilakukan dengan darah."
Sang algojo kemudian mencungkil mata al-Hallaj. Orang-orang pun ribut dan berteriak. Sebagian menangis dan sebagian lainnya melontarkan sumpah serapah, lalu, telinga dan hidungnya dipotong. Sang algojo hendak memotong lidahnya. Al-Hallaj memohon waktu sebentar untuk mengatakan sesuatu, "Ya Allah, janganlah engkau usir orang-orang ini dari haribaan-Mu lantaran apa yang mereka lakukan karena Engkau. Segala puji bagi Allah, mereka memotong tanganku karena Engkau semata. Dan kalau mereka memenggal kepalaku, itu pun mereka melakukan karena keagungan-Mu." Kemudian ia mengutip sebuah ayat Al-Qur'an : "Orang-orang yang mengingkari Hari kiamat bersegera ingin mengetahuinya, tetapi orang-orang beriman berhati-hati karena mereka tahu bahwa itu adalah benar."
Kata-kata terakhirnya adalah: Bagi mereka yang ada dalam ekstase "Cukuplah sudah satu kekasih."
Tubuhnya yang terpotong, yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dibiarkan berada di atas tiang gantungan sebagai pelajaran bagi yang lainnya. Esoknya, baru sang algojo memenggal kepalanya. Ketika kepalanya dipenggal al-Hallaj tersenyum dan meninggal dunia. Orang-orang berteriak tapi al-Hallaj menunjukkan betapa berbahagia ia bersama dengan kehendak Allah. Setiap bagian tubuhnya berseru, "Akulah kebenaran", sewaktu meninggal dunia setiap tetesan darahnya yang jatuh ke tanah membentuk nama Allah.
Hari berikutnya mereka yang berkomplot menentangnya, memutuskan bahwa bahkan tubuh al-Hallaj yang sudah terpotong-potong pun masih menimbulkan kesulitan bagi mereka. Karena itu, mereka pun memerintahkan agar tubuhnya di bakar saja. Malahan, abu jenazahnya berseru, "Akulah Kebenaran."
Al-Hallaj telah meramalkan kematiannya sendiri dan memberitahu pembantunya bahwa ketika abu jenazahnya dibuang ke sungai Tigris permukaan sungai akan naik sehingga seluruh Baghdad pun terancam tenggelam. Ia memerintahkan pembantunya menaruh jubahnya ke sungai untuk meredakan ancaman banjir, pada hari ketiga ketika abu jenazahnya diterbangkan oleh angin ke sungai. Permukaan air pun terbakar, air mulai naik, dan sang pembantu melakukan apa yang diperintahkannya, permukaan air pun surut, api padam, dan abu jenazah al-Hallaj pun diam.
Waktu itu, seorang tokoh terkemuka mengatakan bahwa ia melakukan salat sepanjang malam di bawah tiang gantungan sepanjang malam. Ketika fajar menyingsing, terdengarlah suara gaib berseru, "Kami berikan salah satu rahasia kami dan ia tidak menjaganya. Sungguh, inilah hukuman bagi mereka yang mengungkap-kan segenap rahasia kami."
Syibli menyebutkan bahwa, suatu malam. Ia mimpi bertemu dengan al-Hallaj dan bertanya, "Bagaimana Allah menghakimi orang-orang ini?" Al-Hallaj menjawab bahwa mereka yang tahu bahwasanya ia benar dan juga mendukungnya berbuat demikian karena Allah semata. Sementara itu, mereka yang ingin melihat dirinya mati tidaklah mengetahui hakikat kebenaran, oleh sebab itu, mereka menginginkan kematiannya, kematiannya karena Allah semata. Allah merahmati kedua kelompok ini.

BAB IV
PEMIKIRAN TASAWUF AL HALLAJ

A. Ittihad, Hulul dan Fana fil Lahut
Ittihad adalah nama lain dari pengembangan konsep Wihdatul Wujud dalam tradisi Shufi dan Filsafat. Ittihat atau dalam bahasa kita “menjadi satu antara Khalik dengan Makhluk, manusia dengan Tuhannya – pertama kali dikembangkan oleh “Bisthami” (Abu Yazid al Bisthami), seorang Shufi terkenal pada abad ke III H. yang memiliki darah ke-turunan penganut Zoroaster. Abu Yazid sendiri tidak menulis kitab, tetapi pengikutnya menghimpun ajaran dan pahamnya dalah kitab “Kasyful Mahjub”(terbuka penutupan tabir manusia). Paham ittihad ini, olehnya diberi nama dengan “Tajrid Fana fit Tauhid”.
Paham Ittihad kemudian dibesarkan oleh Junaid dan Al Hallaj. Al Hallaj mem-benarkan bahwa jiwa manusia yang sudah bersih itu “(Roh Nathiqah), sungguh-sungguh dapat bersatu dengan Tuhan, sesudah berlakunya “Hulul Lahut Fin Nasut” atau "fana fi al Lahut". Ia juga me-netapkan seorang wali dapat bersatu dengan Tuhan, sehingga wali itu itulah Tuhan, dan Tuhan itu itulah wali, “huwa – huwa”, yaitu tatkala orang suci itu fana dan mengucapkan :”Anal al Haq”. Ke-yakinan tersebut ditentang oleh kalangan Sunni, Al Hallaj sendiri bertahun-tahun dipenjara-kan, kemudian di hukum pancung pada tahun 922 M.
Secara dogmatis, tidak ditemukan ayat dalam Al Qur’an yang dengan tegas menerangkan adanya Ittihad, walau ada beberapa ayat yang menerangkan akrabnya (dekatnya) Tuhan dengan Hambanya, seperti :”Kami lebih dekat padanya dari pada kedua urat lehernya”. Kelompok Asy’ariyah tidak dapat menerima Ittihad Shufi, karena dapat mero-bohkan keyakinan Keesaan Tuhan dalam Dzat dan Sifat. Tuhan tidak dapat diturunkan kepada manusia dan manusia tidak dapat dinaikkan kepada tingkat Ketuhanan.
Sedangkan Hulul berasal dari kata Halla, yang dalam pengertian Shufi berarti “ Tuhan berada pada tiap-tiap tempat”, oleh karena itu Tuhan juga berada dalam diri manusia. Perkataan Hulul erat kaitannya dengan ittihad atau bersatunya Tuhan dengan Manusia, karena konsep Ittihad merupakan kelanjutan dari pemahaman bahwa “Tuhan ada pada tiap-tiap tempat” dan “Tuhan berarti ada juga dalam diri manusia”.
Menurut Ibnu Taimiyah , paham “Hulul dan Ittihad” membawa manusia kepada kufur dan sangat buruk akibatnya bagi Islam, yang didasarkan atas Tauhid yaitu Esa dalam Dzat dan Sifatnya. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, Ittihad tidaklah dapat diartikan berpadu menjadi satu antara Tuhan dan hamba-Nya, dalam arti kata sebenar-benarnya, tetapi bersatu dalam ke-indahan dan tujuan, maka seseorang dapat dikatakan bersatu dengan Tuhan-nya jika orang itu mencintai apa yang dicintai oleh Allah, membenci apa yang dibenci oleh Allah, beramal dan berbuat apa yang disuruh Tuhan-Nya, kecintaan Tuhan menjadi kecintaannya dan musuh Tuhan menjadi musuhnya. Jadi yang dimaksud dengan Hulul atau Ittihad , tiap orang dapat bersatu Dzatnya dengan Dzat Tuhan-Nya, tidaklah dapat diterima Iman dan Islam.
Fana An Nash fil Lahut adalah sebuah istilah untuk menggambarkan keadaan jiwa rohani manusia itu larut dan hanyut dalam Tuhan. Pemahaman seperti itu muncul ketika manusia sampai pada tahapan bersatu dengan Tuhan (Wihdatul Wujud atau Ittihad), sehingga yang ada leburnya manusai dalam diri tuhan. Maka tidak berlebihan dikalangan pengamal Shufi ada yang berpendapat bahwa “saya adalah al Haq” – “tidak ada al Hallaj”, yang ada hanyalah “al Haq” untuk menggambarkan sebuah kesatuan, sebuah peleburan dan keterhanyutan manusia dan Tuhannya. Tidak ada lagi penggambaran dua subtansi yang berbeda antara Khaliq dan Makhluqnya – al Khaliq dan Makhluq sudah bersatu. Dalam tradisi Jawa, peristiwa tersebut dinamakan dengan “Manunggaling Kawulo lan Gusti”

B. Wihdatul Wujud
Wihdatul Wujud atau eksistensi yang tunggal merupakan bahasan penting dalam Tasawwuf. Wihdatul Wujud berkembang dari konsep Wajibul Wujud atau pencipta yang tunggal yang wajib ada. Dalam hal tersebut terkandung keyakinan bahwa seluruh alam dengan segala isinya yang ada diciptakan hanya oleh satu Dzat Pencipta yang tunggal dalam sifat dan perbuatannya. Dzat pencipta dalam sifat perbuatannya, menyebabkan ada eksistensi lain yaitu makhluk, maka dalam pandangan Suhrawardi, antara Wajibul Wujud dengan manusia terdapat kemungkin-an hubungan (ittisal) dan kesatuan (ittihad).
Ajarannya kadang-kadang berupa syair dan kadang-kadang berupa natsar (prosa) dalam susunan kata-kata indah dan mendalam di sekitar tiga masalah: yaitu Hulul, yaitu ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut). Manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya, demikian pula sebaliknya Tuhan mempunyai sifat kemanusiaan dalam diriya. Agar dapat bersatu (hulul) maka sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh harus dilenyapkan melalui fana. Dengan demikian hulul dapat diartikan tubuh manusia tertentu sebagai tempatNya menjelma setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Kemudian Nur Muhammad atau hakikat al Muhammadiyah, merupakan pancaran pertama dari zat Tuhan, bersifat qadim dan sehakikat dengan zat Tuhan. Dari Nur Muhammad inilah melimpahnya alam semesta ini. Dengan demikian ada dua pengertian tentang Muhammad, sebagai insan adalah Rasulullah yang bersifat baru (huduts), akan tetapi hakikat keMuhammadannya adalah berupa Nur Allah yang qadim dan azali. Tabiat kemanusiaannya yang bersifat baru disebut nasut, sedangkan tabiat ketuhanannya yang bersifat qadim disebut lahut. Terakhir adalah Wihdat al adyan, yaitu kesatuan semua agama. Islam, Kristen, Yahudi dan lain-lain hanyalah perbedaan nama, tapi hakikatnya satu. Semua agama adalah agama Allah dan menuju Allah. Orang memilih suatu agama atau lahir dalam satu agama, bukanlah atas kehendaknya, tapi dikehendiki untuknya. Cara beribadah boleh berbeda, namun hakikatnya satu .
Selain itu, menurut kabar beliau juga pernah menfatwakan bahwasanya naik haji yang lahir pergi ke Mekkah itu tidak perlu dikerjakan. Sebab itu hanya melelahkan saja. Hal itu bisa diganti dengan haji yang lain, yaitu haji rohani dengan membersihkan diri dan jiwa, kemudian tafakkur mengingat Tuhan dalam khalwat, sehingga ka’bah itu sendirilah yang datang ke dalam khalwatnya mendatanginya.
Karena paham dan fatwanya itu, Ibnu Daud Al Isfahani seorang ulama fiqih terkemuka mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Al Hallaj adalah sesat. Atas dasar fatwa itu Al Hallaj dipenjarakan. Kemudian pada tahun 309 H/ 921 M, diadakanlah persidangan para ulama di masa khalifah Al Muktadirbillah (kekuasaan Bani Abbas) dia dijatuhi hukuman mati yang dilaksanakan pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H.
Konsep sufi dalam bentuk Widatul Wujud yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menurut hemat kami – mungkin berkembang dari konsep pemikiran theology dimana alam dan Tuhan memiliki hubungan yang sangat erat. Alam menjadi obyek penciptaan dan kreatifitas Tuhan, sedangkan Tuhan bagi alam adalah tempat bergantung. Bentuk hubungan antara alam dengan dengan Tuhan terbagi menjadi 3 bagian , yaitu :
1. Pantheisme - Pan berati “seluruh”. Panteisme dengan demikian mengandung arti “seluruhnya Tuhan”. Panteisme berpendapat bahwa seluruh alam (cosmos) adalah Tuhan. Tuhan ada dalam kesluruhannya dan semua yang ada dalam keseluruhannya adalah Tuhan. Benda-benda yang ada dalam gemerlapnya alam adalah bagian dari Tuhan. Karena Tuhan adalah kosmos ini dalam keseluruhannya dan benda-benda adalah bagian-bagian dari Tuhan, maka Tuhan berada dekat sekali dengan alam atau Immanent dan bukan dliuar alam atau Transendent/tidak Immanent. Tuhan menurut panteisme hanya satu, tetapi ia memiliki bagian-bagian seperti dalam pemikiran Brahman dalam Hinduisme. Sepintas dapat kita simpulkan bahwa panteisme lebih mirip dengan faham Hulul atau qihdatul wujud dalam tataran sufisme.
2. Deisme - Deisme berasal dari bahasa latin “Deus” yang berarti Tuhan. Menurut paham deisme Tuhan berada diluar alam/transendent yaitu tidak dalam alam (tidak Imma-nent. Tuhan menciptakan alam ini, dan sesudah alam diciptakan-Nya, Ia tidak lagi memperhatikan alam lagi. Alam berjalan dengan peraturan yang tidak berubah-ubah dan peraturan yang sempurna. Tuhan ibarat tukang jam yang membuat jam dengan tiada cela, sehingga jam terus berjalan menurut mekanisme yang telah ditetapkan. Sebaliknya alam dalam paham deisme – setelah diciptakan, alam tidak membutuh-kan lagi Tuhan dan alam berjalan menurut hukum yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
Dalam pemikiran deisme, alam dengan Tuhan dipisahkan oleh jurang yang sangat jauh. Konsekwensi pemikiran yang kemudian berkembang adalah :Alam berjalan dengan peraturan yang telah ditetapkan, sehingga Tuhan tidak perlu hadlir untuk mengurusi alam. Mereka tidak mengakui adanya mukjizat, karena mukjizat adalah peristiwa luar biasa yang tidak sesuai dengan hukum alam atau keteraturan alam. Do’a tidak ada gunanya, karena Tuhan berada jauh diluar alam dan Tuhan tidak lagi memperhatikan alam ciptaan-Nya. Wahyu tidak dibutuhkan, karena manusia dapat menyelesaikan perkara hidupnya dengan akal yang dimilikinya. Jika wahyu dapat diterima dalam konsep deisme ber-arti Tuhan tidak berada ditempat yang jauh dan masih memperhatikan alam ciptaan-Nya.
3. Teisme - Teisme sepaham dengan deisme, berpendapat bahwa Tuhan adalah transendent (di luar alam), tetapi sepaham dengan panteisme. Teisme menyatakan bahwa Tuhan, sungguhpun berada di luar alam, juga dekat dengan alam. Alam setelah diciptakan oleh Tuhan, bukan tidak lagi membutuhkan Tuhan, malahan tetap berhajat kepada-Nya. Tuhan adalah sebab bagi yang ada di alam ini. Tuhan adalah dasar dari segala yang ada dan yang terjadi di alam ini. Alam tidak dapat berwujud dan berdiri sendiri tanpa Tuhan walaupun sehari.
Berbeda dengan deisme yang cenderung mandiri, maka teisme selalu mengkaitkan segala yang ada dengan eksistensi Tuhan, maka tidaklah berlebihan jika mereka kemudian berpemikiran :
a. Alam tidak beredar dengan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang tetap, tetapi beredar menurut kehendak mutlak Tuhan.
b. Mereka mengakui adanya mukjizat, karena mukjizat adalah peristiwa luar biasa yang muncul karena kehendak Tuhan.
c. Do’a sangat diperlukan untuk memohon karunia dari Tuhan, demikian juga dengan wahyu sangat diperlukan untuk memberi arahan agar manusia hidup dalam kehendak Tuhan

Hubungan eksistensi manusia dan eksistensi Tuhan sedikit banyak memberikan gambaran yang jelas berkaitan dengan pola pemikiran sufi baik Wihdatul Wujud atau Ittihad. Dalam pemahaman yang sangat umum, Allah bukanlah manusia karena Allah adalah Khaliq yang tentu memiliki kapasitas dan eksistensi tersendiri, sedangkan manusia adalah makhluq atau produk dari eksistensi Allah – yang tentunya manusia memiliki kapasitas dan eksistensi tersendiri. Pemahaman tersebut menjadikan manusia berada pada posisi yang bergantung kepada Allah, sedangkan Allah dapat berkehendak tanpa batas berdasarkan kekuasaan dan irodahnya.
Al Hallaj barangkali tidak berada pada posisi obyek Allah yang bergantung pada Allah, melainkan ia telah memahami kekuasaan dan keberadaan Allah, sehingga ia merasa berada disampingnya, bahkan pemahamannya yang demikian tinggi menyebabkan ia berfikir sama dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan – maka patutlah ia kiranya mengatakan bahwa saya adalah kebenaran (Ana al Haq). Pemikiran larut dalam kehendak dan eksistensi Allah muncul karena ia merasa bahwa semua adalah bagian dari Allah, sehingga bagian tersebut adalah juga Allah atau bahkan seluruh bagian tersebut adalah Allah itu sendiri.
Pemahaman bahwa bagian itu adalah Allah berkembang menjadi pemahaman Pantheisme. Kosmos ini dalam keseluruhannya dan benda-benda adalah bagian-bagian dari Tuhan, maka Tuhan berada dekat sekali dengan alam atau Immanent dan bukan dliuar alam atau Transendent/tidak Immanent. Tuhan menurut panteisme hanya satu, tetapi ia memiliki bagian-bagian seperti dalam pemikiran Brahman dalam Hinduisme.
Dalam perspektif dogmatika Islam, terdapat ayat-ayat yang menjelaskan hubungan kedua eksistensi tersebut yaitu eksistensi Allah dan eksistensi alam terutama dalam hal ini adalah Allah dan manusia. Ayat-ayat tersebut menunjukkan tahapan pemahaman manusia terhaap eksisteni Allah dalam kehidupan manusia dan alam yaitu :
1. Allah menyatakan bahwa dalam setiap arah terdapat eksistensi Allah – kemanapun anda menghadap maka didepan manusia terdapat eksistensi Allah. Teks tersebut disamping mendorong manusia berpemikiran bahwa eksistensi Allah meliputi segala-galanya dan oleh karena itu manusia juga merupakan eksis-tensi Allah, juga mengatakan Allah berada didepan kita – dihadapan kita dan bukan diluar lingkungan kita sebagaimana disebutkan dalam Qs. Al Baqarah : 115
ÈÎÊÊÇ æt=ΊOÒ ruºÅìì #$!© )Îcž 4 #$!« ru_ômç ùsVsN§ ?èqu9q#( ùs'rƒ÷ZuJy$ 4 ru#$QùRpóøÌ>Ü #$QùRp±ôÌ-ä ru!¬
Artinya : "dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui (Qs. AL Baqarah : 115).

Tafsiran "Disitulah wajah Allah" dimaksudkan bahwa kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah.

2. Arah Allah atau eksistensi menjadi pertanyaan yang begitu menarik, sehingga Allah perlu menjelaskan seberapa jauh jaraknya Allah terhadap eksistensi manusia atau bahkan seberapa dekat manusia berdampingan dengan eksistens Allah dalam kehidupannya. Allah menyataka bahwa dzatnya begitu dekat keberadaannya dengan manusia, sehingga apapun yang diminta oleh manusia, Allah akan mengabulkannya sebagaimana tersebut dalam Qs. AL Baqarah : 186
ãt_hÍÓ ãÏ6t$ŠÏ y'r9s7y ru)ÎŒs# ( Šyãt$bÈ )ÎŒs# #$!$¤#íÆ Šyãôquon &é_Å=Ü ( %s̃=ë ùs*ÎToÎ ÈÏÑÊÇ ƒtö©äßrcš 9sèy=¯gßNö 1Î ru9øãs÷BÏZãq#( <Í ùs=ùŠu¡óGtfÉ6çq#(

Artinya : "dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (Qs. Al Baqarah : 186).

3. Pemikiran bahwa Allah itu dekat masih bersifat abstrak immanent, sehnigga memerlukan deskripsi yang jelas, realis dan kongkrit dalam raga dan eksistensi jasmani manusia. Karena manusia hanya mampu menangkap sisi jasmaniyah, maka Allah menggambarkan abstrak immanent tersebut dalam sisi jasmani yang menyatu dalam diri manusia. Allah mengatakan bahwa "aku lebih dekat keberadaannya kepada eksistensi manusia melebihi dekatnya manusia itu kepada dirinya sendiri – bahkan lebih dekat dari pada urat leher" sebagaimana tersebut dalam Qs. Qaf : 16 .
Bt$ ruRtè÷=nOÞ #$}MS¡|»`z zy=n)øZu$ ru9s)sô my7ö@È BÏ`ô )Î9sømÏ &r%øt>Ü ruUwtø`ß ( Rtÿø¡Ýmç¼ /ÎmϾ ?èquóqÈâ ÈÏÊÇ #$9øqu̓Ï

Artinya : "dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya," (Qs. Qaf : 16)


Al Hallaj dalam perjalanan sufisnya telah sampai pada terbukanya hijab antara manusia dengan Tuhan, sehingga tidak ada lagi tabir yang dapat menghalangi eksistensi manusia dengan eksistensi Allah. Dalam konteks sufi, peristiwa tersebut lebih dikenal dengan "ma'rifat" – dalam proses ma'rifatullah tentu dimulai dengan kesaksian adanya Allah. Al Hallaj sendiri lebih suka menyebut hubungan dirinya dengan Allah bersifat "Wihdatus Syuhud" atau kesatuan penyaksian dan bukan "Wihdatul Wujud" atau kesatuan eksistensi (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya dan bukan Dzat-Nya dengan dengan Dzat makhluq.
Pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas wacana-wacana Al-Hallaj. Pandangan Al-Hallaj banyak dikafirkan oleh para Fuqaha’ yang biasanya hanya bicara soal halal dan haram. Sementara beberapa kalangan juga menilai, kesalahan Al-Hallaj, karena ia telah membuka rahasia Tuhan, yang seharusnya ditutupi. Kalimatnya yang sangat terkenal hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”, yang berarti, “Akulah Allah” .
Tentu, pandangan demikian menjadi heboh. Apalagi jika ungkapan tersebut dipahami secara sepintas belaka, atau bahkan tidak dipahami sama sekali. Para teolog, khususnya Ibnu Taymiyah tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme.
Tudingan bahwa Al-Hallaj penganut Wahdatul Wujud semata juga karena tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasawuf yang mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya, Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu yang lama .
Toh Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya. Al-Hallaj juga tidak pernah mengajak ummat untuk melakukan tindakan Hulul. Sebab apa yang dikatakan semuanya merupakan Penyaksian kepada Allah atau sebagai etiuk murni dari seorang Sufi yang sangat dalam.
Kontroversi Al-Hallaj, sebenarnya terletak dari sejumlah ungkapan-ungkapannya yang sangat rahasia dan dalam, yang tidak bisa ditangkap secara substansial oleh mereka, khususnya para Fuqaha’ (ahli syariat). Sehingga Al-Hallaj dituduh anti syari’at, lalu ia harus disalib. Padahal tujuan utama Al-Hallaj adalah bicara soal hakikat kehambaan dan Ketuhanan secara lebih transparan.
Sesungguhnya paham yang dibawa oleh al Hallaj tentang "ana al Haq" itu bukanlah paham yang sama sekali baru, tetapi suatu keyakinan sufi yang telah lama tersiar. Menurut Abu Bakar Aceh, Al Hallaj tidak menyimpang dari Abu Yazid Al Bisthami atau Asyibli dalam pendirian dan pemahaman Wihdatul Wujud, misalnya kata-kata Al Bisthami "Aku mengaku, bahwa Tuhan yang lain pun tidak ada, melainkan Allah. Apa aku akan mengaku ada aku disamping Allah ? Subhani ! Maha Suci aku" .
Menurut Dr. Abu Bakar Aceh – yang membuat Al Hallaj mengalami nasib yang tragis yaitu dengan meregang kematian di arena pemancungan adalah penjabaran konsep Ittihad yang berbeda dengan pendapat-pendapat ahli sufi yang semasa dengan dia. AL Hallaj berkata bawa anasir manusia tetap sebagaimana sedia kala, tidak berubah dan bercampur dengan Tuhan, dan oleh karena itu diperlukan Hulul atau masuk ketuhanan dalam kemanusiaan. Konsep ini diasumsikan sama dengan agama Kristen terhadap Isa .
Fana dalam mencintai Allah, Fana dirinya dalam baqa' atau kekekalannya Tuhan, atau ittihad dalam perspektif yang jama yang luas ini menjadi pendirian dari Al Hallaj yang tidak pernah disembunyikan sama sekali, bahkan disebarkan dalam setiap kajian rutin dengan murid-muridnya, begitu juga ia sampaikan dikhalayak ramai yaitu di pasar-pasar serta ditempat terbuka lainnya. Katanya " Aku melihat Tuhanku dengan mata hatiku. Kutanyakan siapa engkau. Jawabnya : "engkau sendiri atau engkau adalah aku sendiri" . Dalam kesempatan lain seorang penganut Wihdatul Wujud yaitu Abu Bakar Asy Syibli pernah menyatakan persamaan dan perbedaan pendapatnya dengan al Hallaj, seraya katanya : " Aku dan Husein bin Mansur al Hallaj sebenarnya satu pendirian, Cuma ia melahirkan, sedangkan akau menyembunyikannya sebagai rahasia" .
Ketika al Hallaj mendapati pembunuhan atas dirinya – sebelumnya ia menggambarkan dengan sangat jelas dalam syairnya sebagai berikut :
Bunuhlah daku, o kebenaranku,
Dalam matiku di situlah hidupku,
Matiku berada di dalam hidupku,
Hidupku terdapat dalam matiku.
Pada kesempatan yang ia bersyair :
Biarkan badan hancur binasa,
Asal cahaya menerangi angkasa
Matiku berada di dalam hidupku
Kepada Tuhan kembali rasa.
Ia kembali kepada yang punya,
Di situlah ia kekal adanya
Kerangka jasad biarlah di dunia
Usah dihiraukan, tak usah di tanya.

Syair yang dikemukan oleh al Hallaj tersebut memberikan image yang demikian membekas bagi sufi-sufi lain yang berseberangan dengannya. As Suhrawardi menjelaskan, syair tersebut menjadi legislasi bahwa Al Hallaj bukan saja dipengaruhi oleh konsep masehi, tetapi juga mengadopsi konsep "Reinkarnasi" dari agama Hindu dalam perspektif "Hidup kedua kali di dunia" .

BAB V
PANDANGAN MASYARAKAT ISLAM TERHADAP AL HALLAJ DAN TASAWUFNYA

A. Al Hallaj dan Syech Siti Jenar
Sejarah Syekh Siti Jenar, salah satu dari generasi para Wali di tanah Jawa, memang berbeda dengan Husein bin Manshur al-Hallaj, walaupun tragedi historisnya hampir bermiripan, tetapi sebenarnya kasusnya juga berbeda. Jika al-Hallaj memang memiliki otentitas sejarah dengan data-data akurat, bahkan karya-karyanya yang bisa dibaca oleh generasi sufi, seperti Kitab Ath-Thawasin dan yang lainnya, lain lagi dengan Syekh Siti Jenar.
Data tentang Syekh Siti Jenar ini, lebih banyak menggunakan data sekunder. Sehingga para sejarawan Islam sendiri banyak yang tidak bisa menunjukkan orisinalitasnya, lebih banyak interpretasi dari para penulis sejarah itu sendiri. Film Walisongo yang sangat terkenal dengan eksekusi terhadap Syekh Siti Jenar juga tidak sepenuhnya benar. Apalagi di kemudian hari banyak sekali sejarah dengan versi yang berbeda-beda. Ironisnya, sejarah yang tidak akurat itu dianut oleh sekelompok aliran kebatinan di Jawa yang mengklaim dirinya bermadzhab Syekh Siti Jenar, yang sangat ekstrem, yakni tidak perlu bersyari’at dalam menjalankan agamanya (Islam).
Apakah benar bahwa sesungguhnya yang dibunuh itu adalah Syekh Siti Jenar? Itulah awal polemik sesungguhnya. Sebab versi lain juga mengatakan pada dasarnya Syekh Siti Jenar tidak dibunuh, tetapi hidup sampai akhir hayat dalam ‘uzlahnya. Nama beliau adalah Abdul Jalil, dan kelak populer sebagai Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang.
Apa yang diucapkan oleh Syekh Siti Jenar, kemudian dianggap kontroversial itu memang sama dengan pandangan al-Hallaj. Namun pandangannya tentang Manunggaling Kawulo Gusti, tidak bisa sama sekali diartikan sama dengan pantheisme atau Wahdatul Wujud. Terminologi “Ittihad” dalam pandangan al-Hallaj juga bukan berarti pantheisme atau Wahdatul Wujud. Ittihad berarti menyatu. Apa yang menyatu? Yang menyatu adalah syuhudnya, bukan wujudnya. Sebagaimana ketika Anda sedang bercermin, hati Anda secara otomatis mengatakan: “Itulah aku”. Sebuah ungkapan reflektif di luar kesadaran. Anda sebenarnya menyatu dengan gambar yang memantul dalam cermin itu. Tetapi ketika Anda katakan kepada banyak orang bahwa cermin itu adalah Anda sendiri, tentu salah. Sebab cermin ya cermin, Anda ya Anda. Kalau ada interaksi antara Anda dengan cermin, itu semata karena adanya pantulan yang Anda saksikan, dan yang pertama kali menyaksikan adalah hati Anda. Kesaksian itulah yang disebut syuhud. Jadi yang menyatu bukan wujudnya tetapi syuhudnya .
Mengenai drama eksekusi Syekh Siti Jenar, kalau toh kita toleran terhadap tragedi itu, semata hanya untuk menjunjung syari’at agar tidak lepas dari hakikat. Atau dengan kata lain jangan sampai orang yang memasuki dunia hakikat terkena tipu daya dan mengklaim dirinya telah sampai kepada Allah, padahal masih di “pintu gerbang”-Nya belaka. Hal yang sama, jangan sampai orang-orang syari’at sombong dengan fiqihnya, karena fiqih tanpa hakikat akan terjerumus dalam ke-zindik-an yang tragis.
Jadi, lebih baik kita vakumkan dulu sebelum ada penelitian yang lebih konprehensif mengenai sejarah Syekh Siti Jenar. Dengan begitu kita tidak segera menjatuhkan vonis kepada Walisongo.
Lebih dari itu, aliran kebatinan perlu juga merefleksi ulang terhadap ajaran yang tidak bersyari’at. Harus diingat bahwa syari’at itu bukanlah sarana mencapai hakikat. Karena ditinjau dari segi lain, syari’at itu juga hakikat dan hakikat adalah syari’at. Syari’at datangnya dari Allah, karena itu menjalankan syari’at itu merupakan perintah Allah, bukan sarana untuk mencapai Allah. Hakikat juga disebut syari’at, karena hakikat juga aturan-aturan Ilahi dalam jiwa manusia, karena itu posisinya sama, dan satu sama lain tidak boleh dipisahkan.

B. Kontroversi seputar pemikiran Al Hallaj
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa ittihad, hulul atau bahkan wihdatul wujud, bukanlah sebuah konsepsi tasawuf hasil gubahan al Hallaj, karena sufi pada masa Al Hallaj hidup atau bahkan pada masa sebelumnya telah mempraktekkan dan menyebarkan ajaran tersebut – yang membuat berbeda adalah keberanian melakukan eksploitasi ajaran tersebut pada ranah public yang luar bahkan terasa vulgar dihadapan kaum theologis dan syar'i.
Sekurang-kurangnya terdapat tiga kelompok besar dalam menyikapi ajaran tasawuf al Hallaj terutama berkaitan dengan Wihdatul Wujud, yaitu :
1. Ulama yang tidak bisa menerima ajaran tasawuf yang diajarkan oleh Al Hallaj ini, tetapi tidak sedikit pula para ulama yang sependapat dan membelanya. Kebanyakan Ulama fiqih mengkafirkannya. Dengan alasan bahwasanya mengatakan bahwa diri manusia bersatu dengan Tuhan adalah syirik yang amat besar. Oleh karena itu Ibn at Taymiyah, Ibn al Qayyim, Ibn an Nadim dan lain-lain berpendapat bahwa hukuman mati yang ditimpakan kepada Al Halaj memang patut diterimanya.
Menurut penelitian Dr. Abdul Qadir Mahmud, dalam bukunya Al-Falsafatush Shufiyah fil Islam, dijelaskan bahwa mereka yang mengkafirkannya, antara lain adalah para Fuqaha’ formalis, dan kalangan mazhab Dzahiriyah, seperti Ibnu dawud dan Ibnu Hazm. Sedangkan dari kalangan Syi’ah Imamiyah antara lain Ibnu Babaweih al-Qummy, ath-Thusy dan al-Hilly. Dari kalangan mazhab Maliki antara lain Ath-Tharthusy, Iyyadh, Ibnu Khaldun. Dari kalangan mazhab Hanbaly antara lain Inu Taymiyah. Dan kalangan Syafi’iyah antara lain Al-Juwainy dan ad-Dzahaby. Sementara itu dari kalangan Mutakallimin yang mengkafirkan: Al-Jubba’i dan al-Qazwiny (Mu’tazilah); Nashiruddin ath-Thusy dan pengukutnya (Imamiyah); Al-Baqillany (Asy’ariyah); Ibnu Kamal dan al-Qaaly (Maturidiyah) .
2. Ulama-ulama fiqih yang lain yang tidak memiliki sikap menerima atau menolak seperti Ibnu Syuraih seorang ulama yang sangat terkemuka dari mazhab Malik, memberikan komentar: "Ilmuku tidak mendalam tentang dirinya, karena itu saya tidak bisa berkata apa-apa". Kelompok yang tidak berkomentar, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: Ibnu Bahlul (Hambaliyah), Ibnu Suraij, Ibnu Hajar dan As-Suyuthy (Syafi’iyah), sedangkan dari kalangan Sufi antara lain, Al-Hushry, Al-Hujwiry, Abu Sa’id al-Harawy, Al-Jilany, Al-Baqly, Al-Aththar, Ibnu Araby, Jalaluddin ar-Ruumy, Ahmad Ar-Rifa’y, dan Al-Jiily .
3. Ulama yang membela pemikiran al Hallaj, misalnya Syaikh Abdurrahman As Saqqaf salah seorang Syaikh tarikat Alawiyah, mengatakan bahwa dia sebelumnya menyangka pada diri Al Hallaj ada keretakan karena sikapnya, seperti keretakan pada kaca, tetapi setelah sampai pada maqam al qutbiyyah dia melihat bahwa Al Hallaj telah mencapai tingkat bila diandaikan buah dia telah matang.
Mereka yang mendukung pandangan Al-Hallaj, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: At-Tusytary dan Al-Amily (Imamiyah); Ad-Dilnajawy (Malikiyah); Ibnu Maqil dan an-Nabulisy (Hambaliyah),; Al-Maqdisy, Al-Yafi’y, Asy-Sya’rany dan Al-Bahtimy (Syafi’iyah). Dari kalangan Mutakallimin, Ibnu Khafif, Al-Ghazaly dan Ar-Razy (kalangan Asy’ary) serta kalangan Mutakallim Salaf, sedangkan dari kalangan Filosuf pendukungnya adalah Ibnu Thufail. Sedangkan dari kalangan Sufi antara lain asSuhrawardy al-Maqtul, Ibnu Atha’ as=Sulamy dan Al-Kalabadzy .

Para ulama yang menolak pemikiran Al Hallaj terutama ulama Kalam dan Fiqih berpandangan bahwa kata-kata yang disampaikan oleh Al Hallaj bernafaskan pantheisme, walaupun dalam kenyataan abstraksinya pernyataan yang dituduhkan itu cuma terletak pada ungkapan bukan pada maknanya atau subtansinya.
Imam Al Gazali ketika ditanyai bagaimana pendapatnya tentang perkataan "ana al haq". Beliau menjawab," Perkataan demikian yang keluar dari mulutnya adalah karena sangat cintanya kepada Allah. Apabila cinta sudah demikian mendalamnya, tidak ada lagi rasa berpisah antara diri seseorang dengan seseorang yang dicintainya". Sehingga beliau, Rumi dan Fariduddin al Attar memberinya julukan "Syahidul Haq" (seorang syahid yang benar).
Sufi yang lain menjelaskan sangatlah pantas jika Al Hallaj dihukum pancung karena al Hallaj telah melanggar etika sufi yaitu mengumumkan salah atu rahasia sufi sebagaimana yang diungkapkan oleh Asy Syibli berkata,"Aku dan Husein ibn Mansur Al Hallaj adalah sama. Hanya saja ia menampakkan sedang aku menyimpannya. Al Junaid pernah juga berkata kepada Asy Syibli,"Kami menata rapi ilmu tasawuf ini, lalu kami simpan di ruang bawah tanah. Sedangkan Al Hallaj datang membawa ilmu tasawuf dan mengemukakan kepada khalayak manusia.
Dikalangan theology, terutama penganut paham sunni yang sebagian besar dianut oleh golongan Asy'ari – mereka menentang apa yang terdapat dalam ajaran al Hallaj tidak saja mengenai teori nur Muhammad yang melahirkan segala maujud dan nabi-nabi dari dahulu kala menyambung sampai ke dalam jiwa Ali bin Abi Thalib yang membawa pada kekufuran, pandangannya tentang suatu agama yang pada hakekatnya satu dalam kebenaran Tuhan dan menghilangka wajib Haji, dianggap persoalan yang merusak agama Islam, tetapi juga banyak tuduhan mengenai Iman dan Islam .
Aspek-aspek tersebut membuat penentang Al Hallaj mengambil tindakan keras terhapapnya – musuh-musuhnya yang menambahkan keterangan-keterangan yang memberatkan dia, sehingga pada akhirnya ia dianggap sesat, dan sesudah bertahun-tahun (9 tahun) dipenjarakan, akhirnya pada tahun 922 M, ia dihukum mati
Sungguhpun demikian al Hallaj tetap meyakini bahwa apa yang dipahaminya tidak bertentangan dengan kaidah sufi. Ketika hendak dieksekusi, Al-Hallaj dengan tenang berkata, "Tuan-tuan telah menjalankan peraturan yang pantas atas orang-orang yang tuan anggap melanggar undang-undang. Memang, siapa yang dipandang melanggar undang-undang syariat patut dihukum." Kemudian dia mengangkat tangannya kelangit dan berdoa, " Tuhan, maafkan orang-orang tersebut, karena mereka tidak tahu apa yang aku alami." Menurut para sufi, ketika itu pula terjadi banyak dialog antara para khalayak yang menyaksikan dia digantung. Banyak orang yang ingin bertanya kepada Al-Hallaj, karena itu adalah detik-detik terakhir Al-Hallaj. Salah satunya bertanya: "Apa itu tasawuf? Apa itu sufi?" Lalu kata Al-Hallaj : "Kematian saya sekarang ini adalah tahap paling rendah dalam tasawuf." Orang-orang bertanya, "Kalau begitu tahap apa yang paling tinggi dalam tasawuf ?" Al-Hallaj menjawab, "Engkau tidak akan sanggup mengetahuinya."
Kemudian Al-Hallaj menceritakan saat-saat ketika dia mau digantung, iblis datang menemui dia dan bertanya, "Nasibmu sebetulnya sama dengan aku, engkau berkata, Ana Al-Haq. Engkau berkata ‘aku’. Aku juga dulu berkata ‘aku’. Aku dan kau sama-sama meng’aku’kan diri masing-masing. Tetapi kenapa yang kau terima adalah anugerah dan ampunan Tuhan, tapi yang aku terima adalah laknat dan kutukan, sehingga aku dikutuk Tuhan selama-lamanya?" Al-Hallaj berkata, "Engkau berkata ‘aku’ dan engkau melihat dirimu, sementara ketika aku berkata ‘aku’, aku tidak lagi melihat diriku."
Akhirnya Al-Hallaj dieksekusi, ketika algojo memotong kedua belah kakinya, dari kakinya yang bersimbah darah, Al-Hallaj mengusapkan kedua tangannya dan melakukan gerakan seperti wudhu dengan darahnya. Kata dia: "Aku ingin menemui Tuhanku dalam keadaan berwudhu." Akhirnya kedua tangannyapun dipotong, dia digantung, lehernya ditebas. Selama dua hari mayatnya dibiarkan ditonton orang-orang dialun-alun kota dan pada hari yang ketiga mayatnya dibawa kesungai dan dilemparkan ke dalamnya. Sebelum kematiannya, Al-Hallaj pernah berpesan kepada pembantunya, "Pada hari ketiga setelah aku mati, sungai di Baghdad akan sampai pada satu titik ketika sungai itu merendam kota Baghdad. Jika sampai ini terjadi, masukkanlah jubahku ke sungai tersebut." Bermacam-macam dongen dijalin orang dengan sejarah kematiannya. Ada yang mengatakan darahnya mengalir menulisi kalimat Allah .
Mengenai kematian Al-Hallaj tersebut, banyak orang-orang yang bertanya kepada murid-muridnya. "Bagaimana sebenarnya ganjaran orang-orang yang menghukum Al-Hallaj ? Bukankah Al-Hallaj mati dalam kecintaan kepada Tuhan, kalau begitu orang-orang yang telah menghukum dia akan dihukum oleh Allah nanti di Hari Pengadilan?" Murid-muridnya mengatakan, "Tidak, Al-Hallaj mati karena kecintaan dia kepada Tuhan. Orang-orang yang menghukum dia berlaku demikian karena pengetahuan mereka akan agama mereka." Jadi kedua-duanya, baik Al-Hallaj maupun penghukumnya sama-sama melakukan hal yang demikian, berdasarkan kecintaan mereka kepada Allah SWT.
Dikalangan orientalis, pemikiran al Hallaj memiliki tempat yang sangat strategis bahkan dianggap memiliki kontribuasi yang cukup signifikan untuk mengangkat peran Kristen dalam proses sufisme Islam. Abu Sangkan dalam tulisannya yang berjudul "Misteri al Hallaj" menyatakan bahwa para sarjana Barat banyak yang tertarik dengan ajaran Al hallaj karena dianggap bisa mewakili kelangsungan kebenaran ajaran kristus didalam penyatuan dengan Allah atau pantheisme . Seorang sarjana ahli teologi protestan dari Jerman bernama F.A.D. Tholuck menyebut Al hallaj adalah sufi yang paling terkenal karena ketenarannya dan nasibnya, yang menguak cadar di depan umum dengan keberaniannya yang luar biasa . Tholuck menganggap Al Hallaj seorang pantheis, hal itu menjadi pandangan para sarjana abad ke 19. Mereka telah menemukan beberapa naskah dalam kitab-kitab yang ditulis oleh Al Hallaj yang menunjukkan arah kepada pantheisme
Pandangan lain adalah ada yang menganggap Al Hallaj sebagai seorang Kristen rahasia. Pandangan terakhir itu muncul pada akhir abad ke 19, diajukan August Muller dan tetap di ikuti oleh beberapa sarjana. Para orietalis lain, berdasarkan sumber-sumber yang ada , cenderung menyebutnya seorang ‘monism’ murni. Alfred von Kremer berusaha mencari sumber Hallaj yang terkenal Anal Haqq dalam sumber-sumber India, dan Max Horten membandingkan pernyataan mistik itu dengan aham brahmasmi dalam upanishad , dan beberapa sarjana lain menyetujuinya. Reynold A Nicholson mempunyai pandangan, bahwa Mansur Al Hallaj menekankan monotheisme keras dan hubungan yang sangat pribadi antara manusia dan Tuhan dalam pemikirannya, sedangkan Adam Mez melihat kemungkinan adanya hubungan antara sufi agung itu dengan teologi Kristen .
Louis Massignon telah berhasil mengumpulkan data-data tentang Al Hallaj dari lingkungan tempat dia berasal dan pengaruh-pengaruh atas Hallaj telah dijelajahi, sehingga kehidupan dan ajarannya bisa diketahui lebih lengkap dan dimengerti lebih baik di Barat. Massignon telah banyak belajar dari sebuah kitab yang terkenal "At Tawasin", yang isinya sulit dipahami, karena sebenarnya banyak paradoks yang tersimpan didalamnya, kecuali oleh orang yang memiliki kecerdasan kerohanian yang tinggi. Ajaran yang ditulis dalam buku tersebut berbentuk sajak, mengungkapkan keagungan Tuhan dan imanensi-Nya dalam hati manusia. Rahasia penyatuan cinta dipuja dalam sajak-sajak yang bebas dari segala lambang cinta ‘profane’.
Massignon menyelidiki dunia rohani Al Hallaj secara terus-menerus, menambah-kan hal-hal kecil dalam catatannya, dan kemudian diterbitkan sebagai sebuah biografi monumental syuhada mistik tersebut pada tahun 1922; seribu tahun setelah hukuman mati terhadap Al hallaj. Nyatanya, Hallaj seperti yang dikatakan Hans Heinrich Schaender dalam resensinya atas buku Massignon, adalah syuhada Islam par exelence karena ia merupakan contoh kemungkinan-kemungkinan terdalam dari keshalehan pribadi yang ada dalam agama Islam. Ia menunjukkan akibat cinta sempurna dan makna mendapatkan kesucian pribadi macam apapun, akan tetapi agar bisa mengabarkan rahasia ini, harus hidup di dalamnya dan mati untuknya.
Lebih jauh Louis Massingon mengatakan bahwa Al Hallaj penganut faham ittihad (pantheisme) yang banyak dipengaruhi ajaran Hindu dan mistik katholik, atau ajaran Zanadika, tentang cinta kasih manusia terhadap Allah sebagai suatu daya tarik material antara sumber cahaya dan percikan-percikan yang mengalir dari sumber itu (emanasi) . Ada yang berpendapat, bahwa ajarannya mengenai manunggalnya Allah dan manusia tidak dibenarkan, namun dapat dimaafkan sebagai suatu ketidaktelitian hiperbolis, akibat kekuatan ekstasis .
Sementara para sufi moderat tidak memberikan komentar terlalu banyak atas kejadian ini. Mereka hanya berpendapat bahwa Al Hallaj hanyalah menghayati firman Allah dalam surat Thaha: 14, (…sesungguhnya Aku ini adalah Allah , tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah Shalat untuk mengingat Aku)". Sedangkan Al ghazaly yang juga membahas pengalaman para mistisi menandaskan, bahwa ekstasis itu bukanlah terleburnya makhluk dalam Allah sebagai kesatuan dalam identitas (ittihad) juga bukan manunggalnya atau penyatuan antara dua pihak yang berada pada tingkat "ADA" yang sama, tetapi penyatuan itu hanyalah seolah-olah, sehingga hendaknya kita pandang sebagai hiperbola, kiasan yang melebih-lebihkan, akibat kemabukan cinta kasih
Dalam al Qur'an kita menemukan banyak sekali ayat-ayat Alqur'an yang dijadikan landasan oleh para sufi sebenarnya mengandung makna hiperbolis; sehingga kalau diungkapkan sekilas, kita akan terjebak kepada pengertian yang salah. Misalnya pada firman-firman Allah berikut ini: innahu bikulli syaiin muhithun, Sesungguhnya Dia Maha Meliputi Segala Sesuatu ( Fushilat:54); selanjutnya kullu syai in halikun illa wajhahu, dan tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajahnya ( Qasas: 88 ); juga pada ayat : Nahnu akrabu ilaihi min hablil waridi, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya ( Qaaf: 16 ); falam taqtuluuhum walakin 'l allaha qatalahum wama ramaita idza ramaita walakin 'l allaha rama, Maka ( yang sebenarnya ) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar, tetapi Allah-lah yang melempar ( Al anfaal : 17 ).
DB Mac Donald menafsirkan ungkapan-ungkapan ini sebagai expression of implicit pantheism atau in philosophical language immanential monism . Pandangan ini harus juga ditafsirkan eksplisit, namun bahwa ada peluang bagi suatu penafsiran pantheis, memang tak dapat disangkal. Perkembangan seterusnya membuktikan, bahwa peluang itu memang ada. Banyak mufassir takut terjebak kepada makna hiperbolis atau mutasyabihat, sehingga mereka tidak berani menterjemahkan arti yang sebenarnya seperti dalam surat Fushilat : 54 Bahwa yang meliputi segala sesuatu adalah dhomir Hua, yang menunjukkan sosok orang ketiga tunggal yang melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi dengan alasan apa mereka menggantikan arti Hua (Dia), menjadi sebuah sifat yang meliputi segala sesuatu. Sedangkan kita tahu bahwa sifat itu ada, karena ada "wujud" (Hua) tempat bergantungnya (sandaran) sifat. Inilah yang saya maksudkan bahwa dhomir Hua menunjukkan bukan kepada sifat-Nya, akan tetapi wujud secara sempurna (bikamalaatihi). Yaitu kesempurnaan meliputi Dzat, sifat, af'al dan Asma'. Dhommir Hua menunjukkan "Wujud", sedangkan sifat, af'al dan Asma merupakan diluar Diri-Nya (wujudnya) tetapi bergantung kepada Diri-Nya, karena adanya disebabkan oleh Dzat (sosok) .
Dari pendapat tersebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa kita tidak bisa memungkiri adanya konsep-konsep qurani yang menjadi sumber timbulnya atau menjurus kedalam paham penyatuan atau pantheisme. Memang masih bisa diperdebatkan dari mana pengaruh-pengaruh yang membuat doktrin tersebut muncul. Menurut Massignon perkembangan tersebut ada akarnya dalam Alqur'an sendiri, sedangkan menurut sementara ahli lainnya, perkembangan tadi disebabkan karena kontak dengan aliran-aliran mistik kristen di Suria serta Neoplatonisme, atau pengaruh dari Syi'ah dengan ajarannya mengenai inkarnasi Zat keallahan dalam diri Ali dan para pengikutnya (menurut DB Mac Donald, Development of Mouslem Theology, Jurisprudence and constitional theory, hal 182), atau karena pengaruh dari India, (menurut M Horten, dalam indische stromungen in der inslamischen Mystik, Heidelberg 1928) .
Berhadapan dengan berbagai macam pendapat tadi, mari kita kaji uraian sekitar ajaran Al hallaj yang telah dipaparkan oleh Massignon. Al Hallaj mencari kesatuan dengan Allah bagi dirinya sendiri, sehingga kata-kata yang diwariskan -spontan- berasal dari perasaan pribadinya. Al Hallaj ingin menerangkan apa yang dialami dalam lubuk hatinya dengan meneruskan keterangan itu kepada orang-orang lain, sehingga dalam kajian terhadap ajaran Al Hallaj hendaknya kita juga mencari keterangan mengenai ucapan-ucapan emosionalnya, yang kalau dipandang dari luar konteksnya, mudah dianggap sebagai ucapan-ucapan pantheistis .
Dalam membicarakan Al Hallaj, penting untuk dibahas sosok Beyazid Al Bustami, seorang tokoh terkenal, yang banyak menghiasi khasanah keilmuan mengenai mistik dari pengalaman bathinnya sendiri, yang sesuai dengan citra pengalaman Mi'rajnya Rasulullah. Ungkapan-ungkapannya penuh dengan makna, bahwa alam-alam yang dilaluinya merupakan bentuk citra yang hina dan fana termasuk dirinya. Kemenakan Beyazid, yang mencatat sejumlah besar ungkapan-ungkapannya, pernah bertanya tentang pengingkaran terhadap dunia (zuhud) dan sang paman menjawab: "Pengingkaran ( Zuhud) itu tak ada nilainya. Tiga hari lamanya aku dalam pengingkaran, dan pada hari keempat selesailah sudah. Hari pertama kuingkari dunia ini, hari kedua kuingkari akhirat, hari ketiga kuingkari segalanya kecuali Tuhan, ketika hari keempat tiba, tak ada lagi yang tersisa bagiku kecuali Tuhan. Aku telah mencapai damba yang menyakitkan . kemudian ada suara menyeruku : O, Abu Dzun-Nun, kau tak cukup kuat untuk bertahan bersama-Ku sendiri. Kujawab : itulah memang yang hamba inginkan. Kemudian suara itu berkata : kau telah menemukannya, kau telah menemukannya !!" Beyazid menyadari dan pada akhirnya menemukan, bahwa Tuhan mengingatnya sebelum ia mengingat Tuhan, bahwa Tuhanpun mengenalnya sebelum ia mengenal Tuhan, dan bahwa cinta Tuhan mendahului cinta manusia terhadap-Nya. Kemudian Beyazid mengungkapkan pencapaiannya dengan kebanggaan seseorang yang sudah mencapai tujuannya : "Ia segera bangkit dan menaruhku di hadapan-Nya dan kata-Nya kepadaku : "O Beyazid, makhluk-makhlukku sangat ingin memandangmu, dan aku pun berkata: Hiasi hamba dengan kesatuan-Mu dan dandani hamba dengan ke- AKU-an Mu dan angkatlah hamba ke Keesaan-Mu sehingga, kalau makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah menyaksikan-Mu, dan Kaulah itu dan hamba tidak lagi berada di hadapan mereka itu." Beyazid, dalam keadaan ekstase (fana ) berkata : "Subhani, Subhani - Maha suci Aku, Maha suci Aku, Maha Suci Aku." Ungkapan-ungkapan ini telah menjadi teka-teki bagi kaum mistik pada zaman kemudian dan telah sering menjadi inspirasi bagi penyair mistik dalam menggambarkan kesempurnaan perjalanan kerohanian seseorang, disamping banyak sekali orang yang mengecam dan mengkafirkan Beyazid. Sebagian kalangan sufi moderat, yaitu Sarraj mengganggap perkataan Beyazid seolah-olah membaca sabda dalam Qur'an "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain AKU, Innani Ana 'Allah, laailaha illa Ana (QS. Taha:14)." Beyazid mencapai keadaan ini melalui 'negationis' yang gigih, dengan menghilangkan kesadaran dirinya sendiri, sampai ia mencapai - walaupun hanya sesaat, keadaan penyatuan mutlak yaitu ketika pecinta, kekasih, dan cinta menjadi satu. Kenyataan yang dialami Beyazid di kritik oleh Mansur Al Hallaj yang berkata, bahwa Abu Yazid yang merana itu baru sampai diambang ilahi saja, karena ia tidak mampu melepaskan dirinya dari ketiadaan.
Pandangan diatas bisa dibandingkan dengan pernyataan Syekh Siti Jennar -seorang tokoh mistik di pulau Jawa-, yang telah menyimpulkan bahwa Tuhan itu adalah dirinya sendiri karena dimana saja ia pergi disitu ada Aku, dan ia sadar Akunya selalu ada dan abadi. Konon beliau banyak terpengaruh ajaran Al Hallaj : Syekh Siti Jennar berkata : "Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah engkau ke langit yang tinggi, dan selamilah dalamnya bumi hingga lapis ke tujuh, engkau tidak akan bisa menemukan Wujud Yang Mulia. Kemana saja engkau pergi, engkau hanya akan menemukan kesunyian dan kesenyapan. Jika engkau ke utara, keselatan, kebarat, ketimur dan ketengah, yang ada di semua tempat itu hanya disini adanya. Apa yang ada disini bukan wujud saya, yang ada didalam diriku ini adalah kehampaan yang sunyi. Isi dalam daging tubuh ini adalah isi perut yang kotor, bukan jantung dan bukan pula otak yang terpisah dari tubuh, tetapi nafas yang melaju pesat bagaikan anak panah terlepas dari busurnyalah yang bisa mejelajah ke Mekkah dan Madinah." Menurut Siti Jennar selanjutnya, "Dirinya bukanlah budi, bukan angan-angan hati, bukan pula fikiran yang sadar, niat, udara, angin, panas, atau kekosongan dan kehampaan. Wujud dirinya hanyalah jasad yang akhirnya menjadi jenazah, yang membusuk bercampur tanah dan debu. Nafasnyalah yang mengililingi dunia, meresap dalam tanah, api, air dan udara yang akhirnya kembali ketempat asal dan aslinya. Hal itu disebabkan karena semuanya merupakan barang baru dan bukan yang asli. Hakikat dirinya dipandangnya sebagai dzat yang sejiwa dan menyuksma di dalam Hyang Widi." Bagi Siti Jennar, Tuhannya adalah Tuhan yang bersifat Jalal dan Jamal yaitu Maha Mulia dan Maha Indah. Siti Jennar tidak mau mengerjakan shalat karena kehendaknya sendiri, karena itu ia juga tidak memerintahkan siapapun untuk shalat, baginya orang shalat karena budhinya sendiri yang memerintahkan shalat. Namun budi itu juga bisa menjadi budi yang laknat dan mencelakakan, yang tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, yang jika dituruti lalu berubah dan kadang mengajak mencuri. Inilah yang katakan oleh Al Junayd dan Syekh An Nafiri, bahwa baik Beyazid, Siti Jennar ataupun Al Hallaj (??), telah terhijab oleh dirinya.
Tatkala mereka mencari Tuhan di mana, ternyata hanya dirinya yang ada; ketika ia melambung jauh keangkasa ghaib, tetap dirinya yang ada, di sana ada, di sini ada , di atas ada, di bawah ada, di selatan ada, di utara ada, di barat ada, di timur ada, di mana-mana ada. Yang ada tetap yang langgeng dan kesunyian dan kehampaan. Aku dirinya merasakan ada di mana-mana (inilah yang dimaksud oleh Al Hallaj ambang ilahi) bukan fana. Keadaan inilah yang dianggap bersatu (ittihad) atau manunggaling kawula Gusti. Antara diri dan Tuhan tidak bisa dibedakan; hal ini dalam ajaran vedanta disebut tat twam asi . Untuk lebih jelasnya kita simak pendapat Al Junayd, mengenai pernyataan "Aku" yang diungkapkannya. Mengapa beliau menyalahkan bekas muridnya; karena beliau tahu bahwa Al Hallaj belum mampu melepaskan ego dirinya, karena itulah ia terhukum sebagaimana iblis dihukum Tuhan, ia tidak layak menyingkap selubung rahasia Tuhan, karena yang berhak mengungkapkan Aku adalah AKU itu sendiri, bukan ego kita dimana kesadaran dirinya masih ada. Sebab jika instrumen dirinya itu masih ada, maka ia tidak akan pernah bisa menggambarkan Tuhan seperti apa, ia akan mengungkapkan Tuhan seperti apa yang dirasakan oleh dirinya, bukan keadaan Tuhan yang sebenarnya Sebagaimana Musa membiarkan dirinya hancur (fana) bersama Bukit Thursina, dan pada saat itu Allah menampakkan Dirinya, bahwa AKU tidak bisa dilihat dengan matamu dan oleh dugaan egomu (tidak bisa digambarkan oleh presepsi pikiranmu, hatimu, perasaanmu, dan jiwamu sendiri; dalam Alqur'an Musa digambarkan pingsan ) AKU mengenali diri-Nya secara sempurna. Inilah yang membedakan dengan phanteisme Hindu dan kristen, yang menganggap Tuhan telah beremanasi kepada Sri Kresna ataupun Yesus Kristus. Al Junayd memaparkan pandangannya mengenai tasawuf yang sebenarnya, sebagai berikut : "Tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya. Kita tidak melaksanakan tasawuf dengan obrolan dan kata-kata, tetapi dari kelaparan dan penolakan terhadap dunia dan memutuskan hubungan dengan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan kita dan segala yang sudah kita anggap sesuai dengan diri kita. Baginya kehidupan mistik berarti usaha abadi untuk kembali ke asal-usulnya, yang bersumber pada Allah awal mula segala sesuatu, sehingga akhirnya si ahli mistik bisa mencapai suatu keadaan di mana ia berada sebelum ada, yakni suatu keadaan, ketika Tuhan sendirian dan yang diciptakan-Nya dalam waktu belum lagi ada. Hanya ada pada saat itulah ia bersaksi bahwa Tuhan adalah Esa dari keabadian ke keabadian."
Dari data-data yang telah kita peroleh bisa disimpulkan bahwa fana (monotheisme) dan manunggal ( pantheisme ) sangatlah berbeda . Pantheisme adalah seperti yang diungkapkan oleh Harun Hadiwiyono sebagai berikut:
Bagian terdalam dari manusia yaitu atma, sejajar dengan atman di dalam agama Hindu. Atma dipandang identik dengan Allah sebagai Zat Mutlak. Kesamaan sedemikian rupa hingga Allah melihat, mendengar dan sebagainya, hanya dengan perantara manusia. Dapat dikatakan bahwa manusia adalah Allah yang menjadi daging. Menurut ungkapan jawa; manusia seperti katak berselimutkan liangnya (kodok kinemulan ing lenge) Allah berada di dalam manusia, karena manusia pada hakikatnya adalah Allah sendiri : Sedangkan Fana (monotheisme ) adalah seperti ungkapan Al Junayd : Menyadari bahwa dirinya pada awalnya tiada (fana), kullu syain halikun illa wajhahu (Al Qashash, 28 : 88 ), Segala sesuatu binasa kecuali wujud Allah yang abadi. Kullu man alaiha fanin, wayabqa wajhu dzul jalali wal ikram (Ar rahman, 55 : 26-27)
Kehidupan mistik berarti usaha abadi untuk kembali keasal usulnya, yang bersumber pada Allah awal mula segala sesuatu, sehingga akhirnya si ahli mistik bisa mencapai suatu keadaan di mana ia berada sebelum ada, yakni suatu keadaan ketika Tuhan sendirian dan yang diciptakan-Nya dalam waktu belum lagi ada. Hanya ada pada saat itulah ia bersaksi bahwa Tuhan adalah Esa dari keabadian ke keabadian. La syaiun illallah, laailaha ilallaha. Inilah martabat yang tersembunyi (kesenyapan), karena keadaan belum ada apa-apa, belum mengenal individuasi, namanya Zat Mutlak, Hakikat ketuhanan. Tak seorangpun dapat meraihnya, nabi-nabipun tidak (termasuk Nabi Musa). Para malaikat yang berdiri dekat Allah-pun tidak dapat meraih Hakikat Yang Maha Luhur. Tak seorangpun mengetahui atau merasakan hakikatnya. Sifat-sifat dan nama-nama belum ada. Hanya Dialah Yang Ada dan nama-Nya ialah wujud makal, zat langgeng, hakikat segala hakikat, adanya ialah kesepian (kosong). Siapakah gerangan yang tahu akan tahap ini. ??? Barang siapa mengatakan mengetahui zat yang sejati, dia telah tersesat . Al Hallaj menyadari, bahwa ia tidak mampu melepaskan kenyataan ketuhanan yang tidak bisa dipresepsikan oleh hatinya sendiri, sehingga ia harus rela melenyapkan dirinya dengan harapan ia mampu meniadakan dengan cara kematian yang tragis, bukan dengan peniadaan (fana) pengertian spiritual yang dialami Junayd maupun Nabi Musa, maka ia berkata dengan tulus agar ia mampu cepat melepaskan keterikatannya dengan dirinya, dengan sebenarnya : uqtuluni ya thiqati - inna qatli hayati - Bunuhlah aku, ya sahabatku, sebab terbunuhku itulah hidupku. Inilah kenyataan yang sebenarnya, bahwa kematiannya merupakan harapan yang dinantikan olehnya. Ia menemukan hidup yang Hakiki, setelah alat-alat kemanusiaan tidak lagi ada, karena alat-alat pada diri manusia seperti penglihatan, pendengaran, perasaan dan angan-angan, tidak mampu meraih kenyataan yang sebenarnya. Ia mati dalam kebahagiaan yang abadi. Ia telah bebas dari keterikatannya, ia tidak lagi berada didalam ambang ilahi, tetapi ia telah fana melalui pertolongan tangan Algojo yang memenggal kepalanya.

BAB VI
P E N U T U P

A. KESIMPULAN
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, sosok Al Hallaj merupakan pribadi sufis yang penuh misteri – misteri dalam tataran pemikiran dan pendapatnya tentang hubungan manusia dengan Tuhan, misteri tentang kematian dan legenda keutamaannya yang demikian hebat.
Jika kita merujuk pada permasalahan-permasalahan yang dikemukakan sebagai obyek pembahasan, walaupun secara tematik hanya berkisar pada aspek tasawufnya, akan tetapi mau tidak mau, sadar atau tidak kajian berkaitan dengannya harus meliputi sekurang-kurangnya 4 hal yaiyu sejarah hidup, pemikiran-pemikiran tasawuf, pandangan sufi dan ulama theologis-syar'i serta perbandingannya dengan prilaku lokal keindonesiaan yang sama dengan al Hallaj yaitu Syech Siti Jenar.
1. Dalam sejarah hidupnya, al Hallaj lahir dari keluarga penganut Zoroaster (ayahnya sudah masuk Islam). Ia hidup dan berkembang dalam komunitas religius sufi yang lebih dekat dengan mistik. Dalam konstek mistisisme, juga berkembang pemikiran yang rumit tentang dari mana mistisisme tersebut; apakah dari Zoroaster, Monisme, Hinduisme, Brahman atau Pantheisme Kristen.
2. Pemikiran-pemikiran tasawuf Al Hallaj terutama konsep Al Ittihad dan Wihdatul Wujud bukanlah kreasi tunggal dari seorang al Hallaj, karena ternyata ia mewarisi konsep tersebut dari Al Bisthami dan Syibli. Mereka semua memahami fana fi lahut sebagai rentetan kegiatan ma'rifat kepada Allah.
3. Pandangan umat Islam terhadap kontroversi pemikiran sufisme Al Hallaj – terdapat 3 kelompok yang memberikan respon kepada Pantheisme Al Hallaj yaitu
a. kelompok yang menolak pemikiran pantheisme atau wihdatul wujud dengan mengatakan sebagai bentuk kemusyrikan sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah yang mewakili jalur theology dan fuqaha dan Syibli yang mewakili kelompok Sufi. Syibli sendiri adalah penganut pantheisme, tetapi ia menyem-bunyikannya sebagai rahasia sufi. dengan kata lain Syibli menyalahkan Al Hallaj yang telah mengobral rahasia sufi.
b. Kelompok yang moderat artinya tidak menolak atau lebih tepat maklum dengan pantheisme yang dikembangkan oleh Al Hallaj. Mereka berpendapat bahwa terdapat banyak ayat Al Qur'an yang mendorong berkembangnya faham Pantheisme – Al Gazali misalnya memaklumi bahasa Al Hallaj dalam menformulasikan rasa rohani yang mencapai tingkat tinggi – Pantheisme adalah bahasa hiperbola yang menunjukkan keadaan kedekatan manusia dengan Tuhan-Nya dalam bentuk kesaksian dan bukan kesatuan dalam bentuk Dzat.
4. Perbandingan Sufisme Al Hallaj dan Syech Siti Jenar dalam masyarakat Indonesia – Al Hallaj adalah gambaran Pantheisme di Bagdad, sedangkan Syech Siti Jenar mengembangkannya di Jawa, Hamzah Fansury membumikannya di Sumatra. Kesemuanya mengalami hal yang sama yaitu eksekusi atas nama theology dan Syar'i. Al Hallah meninggal setelah mengalami pemancungan di Bagdad, Syech Siti Jenar meninggal ditangan para Walisongo, sedangkan Hamzah Fansury mengalami liqo' ditangan ulama Sumatra.

B. SARAN
Islam merupakan ajaran yang memiliki kedalaman spiritual yang luar biasa. Kedalamannya hanya dapat dipaahami oleh mereka yang merasakan makna spiritualitas tinggi dengan Allah. Akan terjadi kesalahan atau ketidak sempurnaan ketika seseorang menjustifikasi makna spiritualitas dengan menggunakan standar normativ-jasmaniyah saja. Oleh karena itu perlu kehati-hatian dalam pemaknaan eksistensi Dzat Ketuhanan dengan kemanusiaan.
Jika kita benar-benar memahami spiritualitas Islam, maka kita akan sampai pada Wihdatul Syuhud (Kesatuan penyaksian) dan Wihdatul Wujud (kesatuan eksistensi) dalam arti bukan bersatunya Dzat Allah dengan manusia, melainkan bersatunya kehendak dan rahman Allah dalam diri manusia yang ma'rifat.




DAFTAR KEPUSTAKAAN


Abu Sangkan, "Misteri Al Hallaj", dalam http://groups.yahoo.com/group/ tasawuf/ message/1590
Abdul Hakim Hasan "Tasawwuf fi Syi'ril Arabi" (Mesir, 1954)
Departemen Agama, "Al Qur'an dan Terjemahannya", (Jakarta, Yayasan Penye-lenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur'an, 1971)
Fenomena Al Hallaj dan Syeh Siti Jenar Dalam Sejarah Tasawuf dalam http:// madruhi.multiply.com/journal/item/77
Friedrich August Deofidus Tholuck, "Sufismus sive theosophia persarum pantheistica" , Berlin, 1972 hlm 68 yang tertulis dalam Annemarie Schimmel "dimensi mistik dalam Islam", hlm 64
Http://id.wikipedia.org./wiki/Mansur_Al_ Hallaj
Http ://Irdy74.multiply.com/recipes/item/68. " Antara Drama Illahi dan Tragedi Penyingkapan Rahasia".
Http://wongalus.wordpress.com/2009/05/08/apa yang salah dengan Al Hallaj
Http://www.indospiritual.com/artikel_karomah-sufi---al-hallaj.html
Http://madruhi.multiply.com/journal/item/77 Fenomena Al Hallaj dan Syeh Siti Jenar Dalam Sejarah Tasawuf
Imam Al Gazali "Ihya' ulumuddin, bagian II kitab adabi s sama'I wa 'l wajdi , fi atari 's sama'I adabihi"
Louis Massingon, " La Passion de Hallaj, Martyr Mystique de l'Islam: La Doctrine de Hallaj,
Louis Massignon, "hallaj" dalam buku karangan P.J Zoetmulder ," Manunggaling kawula Gusti" (Gramedia, Jakarta 1990),
Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia, " Negeri Sufi" (PT. Lentera Basritama, Cet. 2) dimuat dalam is-lam@isnet.org yang diposting oleh Abdul Azis Al Bakar
Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, " Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo, Ramadhani, Cet. Ke 2, 1984) Hal. 138.

Prof. Dr. Harun Nastion "Filsafat Agama"
Prof. Dr. HAMKA, Perkembangan Tasawwuf dari Abad ke Abad, (Jakarta, 1960)
Prof. Dr. H.M. Rasyidi :4 Kuliah Agama Isla, di Perguruan Tinggi" (Jakarta, Bulan Bintang, Cet. Ke 2, 1982)
"Pantheisme dan monisme dalam sastra suluk Jawa" suntingan P.J Zoetmulder," Manunggaling kawula Gusti" (Gramedia, Jakarta 1990), hal 21
Tarikh Bagdad, Jilid I-VII

Selasa, 17 November 2009

SUMBER AJARAN AGAMA ISLAM

ZABAZ

SUMBER-SUMBER HUKUM (AJARAN) ISLAM
DAN MACAM-MACAM HUKUM TAKLIFI


Bagian Pertama ; Sumber hukum Islam
I. Pengertian
A. Sumber; segala sesuatu yang darinya dibagun sebuah ajaran/tata nilai – jika dikait-kan dengan hukum Islam, maka ia berarti dasar, acuan atau rujukan ajaran Islam.
B. Hukum artinya menetapakan sesuatu atau meniadakan sesuatu, Hukum Islam (syariat-hukum Allah) adalah hukum atau undang-undang yang ditentukan oleh Allah melalui Al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW.
Menurut Ulama Ushul Fiqih, hukum adalah tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu menjadi syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah atau azimah.
Sedangkan menurut ulama Fiqih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh tuntutan syariat berupa “al Wujub, al Mandub, al Hurumah, al Karahah dan al Ibahah”, sedangkan perbuatan yang dituntut itu disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah (dibahas lebih detail pada bagian kedua).

II. Sumber hukum Islam
A. Menurut jumhur (mayoritas) ulama – macam-macam sumber hukum Islam terdiri dari tiga pokok yaitu al Qur’an, al Hadits dan ketentuan hukum dari proses Ijtihad. Untuk jenis dan wujud Ijtihad pada awalnya sangat sederhana yaitu Ra’yi atau pertimbangan cerdas dan radikal dari orang tertentu, misalnya gagasan Umar Bin Khattab tentang pembukuan al Qur’an dan penghapusan pemberian harta rampasan bagi mereka yang ikut perang.

B. Dasar urut-urutan sumber hukum Islam adalah
1. Qs. An Nisa’/4 : 59 (lihat galeri hal 74-75)
2. Qs. At Taghabun/64 : 12 (lihat galeri hal 74-75)
3. Hadits Imam Malik dan Hakim :”Telah aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang teguh kepadanya, yaitu kitab Allah dan Sunnahku).
4. Dialog yang dilakukan oleh Rasulullah dengan Ali bin Abi Thalib dan Muadz bin Jabal tentang prosedur penentuan hukum seandainya mereka dihadapkan pada suatu masalah yang sama sekali baru dalam dakwahnya.
5. HR. Buchori dan Muslim (lihat galeri hal 74-75).

C. Ijtihad adalah salah satu cara untuk menetapkan hukum suatu masalah jika masalah tersebut tidak ditemukan secara detail atau “Qoth’i dalam al Qur’an dan al Hadits. Bentuk-bentuk ijtihad yang kemudian berkembang adalah Ijma’, Qiyas, Istihsan, al Urf, Istishab, Saddud Darai’ dan al maslahah mursalah.

III. Macam-macam Sumber Hukum Islam
A. Al Qur’an
1. Pengertian – al Qur’an berasal dari kata “Qaraa” yang berarti bacaan. Menurut istilah, al Qur’an berarti Kalam Allah yang merupakan mu’zijat, diturunkan kepada Nabi Muhammad dan yang ditulis dimushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah”.
Kata-kata Al Qur’an sendiri disebut juga dalam secara tegas pada Qs. Al Qiyamah : ayat 17-18.

2. Masa penurunan Al Qu’ran; al Qur’an diturunkan dalam kurun waktu 22 tahun 2 Bulan 22 hari mulai pada tanggal 17 Ramadlan tahun 40 dari kelahiran Rasulullah bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M pada saat Rasulullah berada di Gua Hiro dan berakhir pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 63 kelahiran Rasullullah bertepatan dengan tanggal 27 Oktober 623 M. saat Rasulullah sedang Wukuf di Arofah pada Haji Wada’ tahun 10 H.

Dalam proses pewahyuan Al Qur’an kepada Nabi Muhammad, maka terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan yaitu :
a. Periodisasi penurunan Al Qur’an
Al Qur’an diturunkan dalam dua periode yaitu Periode Madinah (disebut ayat-ayat Madaniyah) dan Periode Makkah (disebut ayat-ayat Makiyah). Disebut periode Makkah karena diturunkan di Makkah atau wilayah sekitar Makkah atau diturunkan sebelum Nabi Muhammad Hijrah ke Madinah (berjumlah 19/30 dari isi al Qur’an, ayat-ayatnya berjumlah 4.780), sedangkan disebut periode Madinah karena diturunkan di Madinah atau wilayah sekitar Madinah atau setelah Nabi Hijrah ke Madinah (berjumlah 11/30 dari isi al Qur’an, ayat-ayatnya berjumlah 1.456).
Di samping itu terdapat ciri-ciri yang jelas antara ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah antara lain :
• Ayat-ayat makkiah pada umumnya pendek-pendek, sedangkan ayat-ayat ma-daniyah umumnya panjang-panjang.
• Pada ayat-ayat makkiyah terdapat perkataan “ ياايهاالناس “, dan sedikit sekali di-temukan perkataan “ياايهاالذين امنوا “, sedangkan dalam ayat-ayat madaniyah terdapat hal sebaliknya.
• Ayat-ayat makkiyah umumnya mengandung masalah keimanan, ancaman dan pahala dan kisah-kisah umat terdahulu yang mengandung pengajaran dan budi pekerti, sedangkan ayat madaniyah mengandung hukum, baik hukum adat maupun hukum-hukum duniawi (ipoleksosbud) atau masalah muamalah.

b. Cara penurunan ayat-ayat al Qur’an.
Penurunan al Qur’an dari Allah sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui tiga fase atau masa penurunan, yaitu :
Pertama; dari Allah ke Lauhul Mahfudz (Qs. Al Buruj : 21-22),
C¤tøÿàq⤠9sqöy8 ûÎ ÈÊËÇ C¤gÅÓ %èöäu#b× dèqu /t@ö
Kedua; dari Lauhul Mahfudz ke Baitul Izzah dalam satu jumlah yang utuh sebagaimana HR. Ibnu Abbas (al Qur’an itu dipisahkan dari pembu-atannya lalu diletakkan di baitul izzah dari langit dunia, kemudian malaikat Jibril menurunkan-nya kepada Nabi Muhammad SAW).
Ketiga dari Baitul Izzah ke dalam sanubari (kalbu) Muhammad melalui malaikat Jibril yang secara berangsur-angsur sebagaimana tersebut dalam Qs.Syuara’ ayat 193-194 :

Dan Qs. Al Isra' ayat 106

Nabi Muhammad dalam menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara, diantaranya :
• Malaikat memasukkannya ke dalam kalbu Nabi Muhammad (Qs. Asyuura :51)
• Malaikat menampakkan dirinya berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya.
• Wahyu datang seperti gemerincingnya lonceng.
• Malaikat menampakkan dirinya dalam rupanya yang asli sebagaimana tersebut dalam Qs. An Najm : 13-14 :

c. Hikmah al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur :
• Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan hukum (perintah dan larangan)
• Diantara ayat-ayat tersebut ada yang nasikh dan mansukh (terdapat ayat yang diganti dengan yang lebih baik sesuai berkembangan masyarakat).
• Memberikasan jawaban terhadap pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan.
• Turunnya ayat tersebut sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
• Mempermudah pembacaan dan penghafalannya dan untuk menguatkan hati Muhammad sebagaimana tersebut dalam (Qs. Al Furqon : 32).
d. Nama-nama lain Al Qur’an
• Al Qur’an – artinya bacaan. Nama tersebut lebih sering dipakai untuk menyebut wahyu Allah kepada Nabi Muhammad sebagaimana firman Allam dalam Qs. Al Qiyamah : 17-18.
• Al Kitab atau kitabullah – artinya kitab Allah sebagaimana Firman Allah dalam Qs. Al Baqarah ayat 1-2 dan Al An’am ayat 114
• Al Furqon – artinya pembeda antara kebenaran dan kebatilan, jalan terang dan jalan kegelapan, dan antara halal dan haram sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al Baqoroh ayat 185 dan Furqon ayat 1.
• Adz Dzikr – artinya peringatan bagi manusia (Qs. Al Hijr : 9)

3. Kedudukan al Qur’an
Al Qur’an merupakan sumber pertama dan utama dalam ajaran Islam artinya jika terdapat suatu hal maka harus kembali dan merujuk pada al Qur’an. Oleh sebab itu ia memiliki kedudukan yang penting dalam keseluruhan ajaran Islam – kedudukan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Al Qur’an merupakan wahyu Allah untuk Nabi Muhammad SAW.
b. Sebagai mu’zijat Nabi Muhammad SAW
c. Sebagai pedoman hidup manusia untuk meraih kebahagiaan

Al Qur'an secara khusus menyebutkan 3 fungsi sebagaimana firman Allah dalam Qs. Qs. Al Baqoroh : 185. Fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Sebagai petunjuk bagi manusia untuk memperoleh kebahagiaan
b. Sebagai penjelas bagi petunjuk-petunjuk Allah (kitab-kitab) yang diberikan kepada umat sebelumnya.
c. Sebagai pembeda antara kebenaran dan kebathilan.

4. Isi Pokok al Qur’an
Secara umum isi pokok al Qur’an diklasifikasikan menjadi 3 pokok yaitu :
a. Prinsip-prinsip tentang akidah (keimanan/keyakinan manusia).
b. Prinsip-prinsip yang mengatur ibadah Mahdhoh/ibadah khusus yaitu hubungan manusia dengan Tuhan-Nya berupa aturan
c. Prinsip-prinsip yang mengatur muamalah yaitu aturan yang berhubungan dengan sesama manusia dan makhluq Allah yang lain.

B. Al Hadits
1. Pengertian Hadits, As Sunnah, Khabar dan Atsar
a. al Hadits
Kata-kata Hadits dalam bahasa Arab mempunyai 3 pengertian, yaitu Jadid (baru), Qorib yang berarti dekat dan juga berarti Khabar (berita). Sedangkan pengertian Hadits menurut Ulama Hadits adalah; “segala sesuatu yang disandar-kan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan atau pernyataan sifat-sifat dan sebagainya”.

b. As Sunnah
As Sunnah berasal dari kata “Sanna - Sunnah” yang memiliki arti sebagai berikut :
• Ketentuan Allah dalam kebiasaan kemanusiaan masa lalu sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al Ahzab ayat 62.

• Jalan setapak, prilaku masyarakat, praktek hidup dan tingkah laku baik/buruk.
• Tradisi yang mempunyai kekuatan mengikat dalam masyarakat.

Pengertian Sunnah menurut Ulama Fiqh adalah “segala bentuk yang datang dari Nabi selain al Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir (ketetap-an) yang bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum syara’ (hukum Agama)”.
Menurut Ulama Hadits, as Sunnah adalah; “segala yang dinukil dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat moral (khuluqi-yah), sifat jasmaniyah ataupun perjalanan hidupnya sejak sebelum dan sesudah diangkat menjadi Rasul seperti uzlahnya di Gua Hiro’


c. Khabar
Kata-kata Khabar mempunyai pengertian sebagai sesuatu yang disampai-kan kepada seseorang. Sedangkan penegrtian khabar menurut ulama hadits berarti sesuatu yang dinukil dari Nabi, juga dari Shahabat atau Tabi’in.
Menurut sebagian ulama, Khabar mempunyai pengertian yang sama dengan Hadits, sedangkan yang lain mengatakan bahwa terdapat perbedaan pengertian antara Hadits dengan khabar. Hadits adalah sesuatu yang dinukil dari Nabi sehingga mereka yang ahli Hadits disebut dengan Muhaditsin, sedangkan khabar adalah sesuatu yang dinukil dari selain Nabi dan mereka yang ahli khabar disebut sebagai ahli sejarah.

d. Atsar
Atsar secara terminologis mempunyai pengertian bekas sesuatu, sedang-kan pengertian Atsar menurut ulama hadits berarti sesuatu yang disandarkan kepada Shahabat Nabi Muhammad SAW.

2. Beberapa Istilah yang berkaitan dengan Hadits
a. Ilmu Mustolahul Hadits – ilmu yang membicarakan masalah Hadits
b. Rawi ialah orang yang menyampaikan atau orang menuliskan Hadits dalam bentuk kitab, misalnya Imam Buchari (Shahih Buchari), Imam Musliam (shahih Muslim) dll.
c. Riwayat adalah proses perpindahan hadits dari orang keorang lain.
d. Matan berarti sesuatu yang nampak dimuka. Dalam konteks ilmu Hadits, Matan berarti kata- kata/Lafadl hadits yang dengan lafadl tersebut terbentuk makna-makna atau pengertian yang lain adalah perkataan yang merupakan akhir sanad.
e. Sanad adalah mata rantai yang mengantarkan kepada matan hadits dengan melewati rawi. Dari kata sanad berkembang pula istilah lain, yaitu :
• Isnad ( menyandarkan sesuatu kepada yang lain atau mengangkat hadits kepada yang mengatakannya atas kepada yang menukilkannya, artinya seorang ahli hadits dalam menerangkan hadits yang diikutinya menjelaskan kepada siapa hadits itu disandarkan).
• Musnid ( orang yang menyandarkan)
• Musnad ( Sesuatu yang disandarkan).

3. Pembagian Hadits
a. Berdasarkan jumlah Rowi
• Hadits Mutawatir artinya hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang menurut adat tidak mungkin berdusta dari awal sanad sampai akhir sanad (10 orang). Mutawatir dibagi menjadi dua, yaitu :
- Mutawatir lafdli yaitu periwayatan hadits yang lafadl-lafadlnya sama
- Mutawatir maknawi yaitu periwayatan hadits yang mempunyai kesamaan dalam makna (pengertian).
• Hadits Ahad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tidak sampai pada derajat mutawatir. Hadits Ahad dibagi menjadi tiga, yaitu :
- Hadits Masyhur – hadits yang diriwayatkan oleh 3 atau lebih dalam satu tingkatan (massa).
- Hadits Aziz – hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang dalam satu tingkatan
- Hadits Ghorib – hadits yang diriwayatkan oleh 1 rawi dalam satu tingkatan.

b. Berdasarkan nilai atau kualitas Hadits
• Hadits Shohih – yaitu hadits yang memenuhi persayaratan kesahihan hadits yaitu sanadnya sambung, rowinya adil, istiqomah, berakhlaq mulia dan tidak fasik dan matannya tidak meragukan atau bertentangan dengan al Qur’an.
• Hadits Hasan – yaitu hadits yang sanadnya bersambung, rawinya adil namun tidak sempurna dzabitnya dan matannya tidak meragukan (tidak syaz) dan berilat (ada cacatnya).
• Hadits Dloif – yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat sahih dan hasan.

c. Berdasarkan sampai atau tidaknya Hadits itu pada Nabi Muhammad SAW
• Hadits Marfu’ yaitu sesuatu yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan dan takrir baik sanadnya tersebut bersambung, putus atau madhal.
• Hadits Mauquf yaitu sesuatu yang hanya sampai kepada Shahabat Nabi Muhammad.
• Hadits Maqtu’ yaitu sesuatu yang hanya sampai kepada Tabi’in.

d. Berdasarkan dari aspek kewahyuan Hadits
• Hadits Tauqifiy/Hadits Qudsi yaitu hadits yang didasarkan keoada Wahyu Allah dengan menggunakan redaksi Nabi Muhammad SAW, tetapi masih menggunakan kata-kata; Allah berfirman (Qaala Allah, Allah Yaquulu dll).
• Hadits Taufiqiy yaitu hadits yang merupakan interpretasi Nabi Muhammad SAW terhadap wahyu Allah atau perintah Allah.

e. Berdasarkan bentuk haditsnya
• Hadits Qouliyah yaitu hadits nabi yang berupa perkataan Rasulullah – biasnya dimulai dengan kata-kata “saya mendengar Rasulullah bersabda (قال رسول الله ).
• Hadits Fi’liyah yaitu hadits yang merupakan perbuatan Rasulullah – biasanya dimulai dengan kata “saya melihat” (رئيت رسول الله) dan kebanyakan berkaitan dengan praktek ibadah untuk memberikan contoh yang benar.
• Hadits Taqririyah yaitu hadits yang merupakan tanda persetujuan atau penolkan dari Rasulullah
• Hadits Hammiyah yaitu hadits yang berisi tentang cita dan keinginan mulia Rasulullah.

f. Berdasarkan diterima atau tidaknya sebagai landasan untuk mengesahkan hukum-hukum atau menetapkan hukum-hukum agama :
• Maqbul yaitu hadits yang dapat diterima sebagai dasar legalisasi Hukum. Hadits tersebut sekurang-kurangnya adalah berstatus Hasan atau Shahih.
• Mardud yaitu hadits yang tidak dapat diterima sebagai dasar legalisasi yaitu hadits berstatus sebagai hadits dloif.

4. Hadits Dloif (Hadits yang tidah memenuhi syarat sahih dan hasan)
a. Berdasarkan keterputusan sanad
• Hadits mursal yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Tabiin tanpa menyebut nama Shahabat sebagai generasi sebelumnya.
• Hadits munqathi’ yaitu hadits salah satu rawinya gugur tidak pada sahabat atau hadits yang salah satu rawinya putus.
• Hadits al Mu’dal yaitu hadits yang dua atau lebih rawinya hilang secara berurutan dalam rangkaian sanad
• Hadits mudallas yaitu hadits yang rawinya meriwayatkan dari rawi yang sezaman tetapi ia tidak menerima langsung darinya.
• Hadits muallal yaitu hadits yang kelihatannya selamat tetapi terdapat cacat yang tersembunyi baik itu pada sanad maupun matannya.

b. Berdasarkan kelemahan dari perawinya
• Hadits mudtarib yaitu hadits yang kemampuan dan daya ingat perawinya kurang.
• Hadits Maqlub yaitu hadits yang terjadi pembalikan di dalamnya baik sanad, rawi maupun matannya.
• Hadits mudaaf yaitu hadits yang diperdebatkan oleh ulama mengenai lemah dan kuatnya sanad atau matannya.
• Hadits Syaz yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang siqoh (kuat) tetapi riwayat-nya menyalahi riwayat orang banyak yang siqoh (kuat) pula.
• Hadits mungkar yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah dan berbeda dengan hadits diriwayatkan oleh orang yang siqoh (kuat).
• Hadits matruk yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh suka berdusta, nyata kefasikannya dan pelupa atau ragu-ragu dalam periwayatan.

5. Kedudukan dan Fungsi Sunnah (Hadits)
a. Kedudukan Sunnah (Hadits)
As Sunnah (Hadits) berkedudukan sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al Qur’an. Maka Sunnah mempunyai kekuatan dan sifat yang mengikat bagi pemeluknya sebagaimana Al Qur’an. Kedudukan sunnah berdasarkan dalil yang sangat kuat, di antaranya adalah :
• Argumen kewahyuan artinya bahwa jika kita mengakui kerasulan Muhammad maka ia harus juga menerima segala yang diterima oleh Nabi Muhammad.
• Argumen Al Qur’an yang memberikan perintah kepada umat Islam untuk taat kepada Allah dan Rasulnya (Qs. An Nisa’ 59 dan Al Hasyr : 7).


• Argumen Al Hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW meninggalkan dua pedoman hidup; yang kalau ia dijadikan dasar pijakan hidup, maka tidak akan tersesat, yaitu Al Qur’an dan Al Hadits.
• Argumen Ijma Shahabat yang mengakui keberadaan Sunnah dalam sistem ajaran Islam, terutama kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum dan pedoman Hidup manusia.
• Argumen globalitas ayat-ayat Al Qur’an; yang membutuhkan penjelasan dari Nabi Muhammad SAW, misalnya penjelasan Sholat, Wudlu dll.
Dengan demikian masalah hukum dan ajaran Islam yang tidak ada dalam Al Qur’an dapat dicari dalam Sunnah, sudah barang tentu dengan mengingat beberapa hal, yaitu :
• Al Qur’an bersifat Qoth’i/pasti kebenarannya, baik secara Ijmali (umum) maupun Tafsiliy (terperinci), sedangkan Sunnah secara Ijmali bersifat Qoth’i, sedangkan secara Tafsiliy bersifat Zhanni.
• As Sunnah merupakan tabyin atau penjelas bagi teks-teks Al Qur’an yang bersifat global (umum)
• As Sunnah sebagai petunjuk teknis terhadap ketentuan/status hukum.

b. Fungsi Sunnah (Hadits) terhadap al Qur’an
• Menguatkan atau mengukuhkan hukum-hukum yang telah ada atau ditetapkan dalam Al Qur’an
• Menjelaskan atau menerangkan makna-makna ayat atau ketentuan-ketentuan yang telah ada dalam al Qur’an. Proses penjelasannya as sunnah terhadap al Qur’an meliputi :
- Bayan Al Mujmal artinya menjelaskan makna ayat yang bersifat global misalnya tentang Sholat, Wudlu, bersuci dll.
- Taqyid Al Mutlaq artinya memberi batasan hukum-hukum yang bersifat mutlak. Misalmya ketentuan hukum potong tangan.
- Takhsis Al Am artinya memberi batasan dan kekhususan kepada ketentuan hukum-hukum yang bersifat umum, misalnya ketentuan waris bagi orang yang berbeda agama atau kepercayaan.
- Taudih al Muskil artinya menjelaskan sesuatu yang rumit misalnya term. Benang putih dalam kasus batasan fajar bagi orang yang berpuasa.
• Memberikan penjelasan tentang ketentuan yang tidak terdapat dalam al Quran atau menetapkan ketentuan/hukum baru yang tidak ada keterangan di dalam Al Qur’an, misalnya hukum KB atau penjelasan teknis ibadah Haji, Zakat dan Puasa dll.

C. Ijtihad
1. Pengertian
a. Ijtihad berasal dari kata Arab “JAHADA”, yang dari kata-kata tersebut berkembang kata Ijtihad dan Jihad. Dua buah kata yang mengandung pengerahan segala hal dalam bentuk yang sangat maksimal. Jihad secara khusus adalah pengerahan tenaga dan kesengajaan untuk mempertahankan dan meninggikan kalimat Allah, sedangkan ijtihad adalah pengerahan kemampuan pikir untuk menemukan hukum berdasarkan pengertian tersirat dari dua otoritas hukum Islam.
b. Menurut Ulama, Ijtihad berarti; “mengerahkan segala kemampuan (berfikir) untuk mendapatkan atau memecahkan sesuatu (yang sulit) dan dalam praktek hanya sesuatu yang sangat sulit dan memayahkan”.
c. Menurut para Shahabat, Ijtihad adalah; “Penelitian dan pemikiran untuk menda-patkan sesuatu yang terdekat kepada Kitabulah dan Sunnah Rasul melalui Nash atau maksud umum hikmah syari’ah itu sendiri”.
d. Menurut Ulama Fiqh, Ijtihad adalah; “Pengerahan segenap kemampuan ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat Dhanni (spekulatif) terhadap hukum syari’at”.
e. Menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa Ijtihad adalah “pengerahan berfikir untuk memperoleh hukum syara’ yang tidak ada nash (Ijtihad bir Ra’yi)”.

2. Dasar, obyek dan kepentingan Ijtihad
a. Dasar Ijtihad
• Al Qur’an Surat An Nisa 59 (Dan jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Al Qur’an dan Al Hadits serta keputusan pemimpin (orang-orang yang berilmu) dari antara kamu.
• Al Hadits yang menceritakan prilaku Ali bin Abi Tholib dan Muadz bin Jabal yang ditanya Rasul ketika ia akan melaksanakan tugas penyebaran Islam, yang intinya memberikan justifikasi adanya sumber hukum selain dari dua otoritas tersebut yaitu Ijtihad.
• Logika berfikir yang menyatakan bahwa perkembangan zaman yang yang komplek dan aplikatif membutuhkan perangkat aktualisasi hukum dan nilai keislaman.

b. Obyek Ijtihad
• Obyek yang boleh
- Peristiwa yang telah ditunjuk oleh nash Dhanni baik dilihat dari kedu-dukannya (Wurud) atau dalalahnya (maksud kata yang diinginkan).
- Peristiwa yang tidak ditunjuk oleh Nash dan tidak ada kesepakatan ulama terhadap peristiwa tersebut.
• Obyek yang tidak boleh
- Hukum yang telah ditunjukkan secara qoth’i (ketentuan yang pasti) baik dilihat dari segi wurud atau dalalahnya (kata yang ditunjukinya).
- Hal-hal yang telah disepakati (ijma’) oleh ulama
- Lapangan hukum yang Ta’abuddi, yang ghoiru ma’qulil makna artinya lapangan hukum yang tidak dapat dicerna oleh akal seperti 1/6 bagian untuk nenek perempuan dalam bidang waris.

c. Kepentingan Ijtihad
• Ketika Nabi masih Hidup, permasalahan hukum tersebut dapat dikonsultasikan dan dapat diputuskan oleh Nabi. Seteleh Nabi meninggal, hukum suatu masa-lah diputuskan berdasarkan proses Ijtihad dengan dasar al Qur’an al Hadits.
• Hukum-hukum Al Qur’an dan Al Hadits sebagian besar bersifat gelobal dan bahkan hanya Isyarat atau simbolitas saja (Kontekstual)
• Masyarakat Islam dan dunia berkembang dengan pesat yang membawa berbagai permasalahan baru – oleh sebab itu hukum Islam harus aktual, dan sanggup menjawab tantangan zaman.
• Dengan adanya ijtihad hukum Islam dapat tumbuh subur, dinamis, lincah dan selalu aktual (tidak ketinggalan zaman).
• Dengan ijtihad para ulama dapat menuangkan pemikiran-pemikiran yang baik dalam memanfaatkan dan menggali sumber atau dalil hukum Islam.

3. Syarat-syarat menjadi Mujathid
a. Faham bahasa Arab termasuk di dalamnya adalah faham tata bahasa, uslub (gaya bahasa) dan segala hal yang berkaitan dengan bahasa Arab.
b. Menguasai ayat-ayat Ahkam (Imam Gazali minimal 500 ayat ahkam)
c. Menguasai hadits ahkam paling sedikit 2.500-3.000 hadits ahkam
d. Menguasai hukum-hukum yang telah disepakatti oleh Ulama (Ijma’).
e. Menguasai Ushul Fiqh atau kaidah-kaidah fiqhiyah
f. Memahami masyarakat dan adat istiadatnya.
g. Bersifat takwa dan memiliki keadilan.

4. Tingkatan dan macam-macam Ijtihad
a. Tingkatan
• Mujtahid Mutlak atau Mustaqil yaitu mujathid yang dalam melakukan ijtihad bersifat mandiri, langsung kepada sumbernya dan tidak dipengaruhi oleh pendapat atau pemikiran ulama lainnya.
• Mujtahid Muntasib yaitu mujtahid yang terikat oleh pemikiran, pendapat dan metode mujtahid mutlak
• Mujtahid fil Mazhab yaitu mujtahid yang dalam melakukan ijtihadnya terikat oleh mazhab yang dianutnya.
• Mujtahid Murajih yaitu mujtahid yang hanya melakukan perbandingan pemikiran dan pendapat para mujtahid lainnya.

b. Macam-macam ijtihad
• Berdasarkan Metode atau langkah dalam melakukan ijtihad
- Intiqo’i yaitu proses ijtihad dengan melakukan seleksi dan tarjih (memilih pendapat yang kuat) terhadap pendapat dan aliran pemikiran fiqh atau atau pemikiran dari para imam mazhab.
- Insya’i (Darakil Hukmi) yaitu proses ijtihad yang materinya (Problem) sama sekali baru dengan menggunakan Nash-nash yang tafsili atau menggunakan dalil-dalil kulli misalnya Ijma’, Qiyas, Istislah (Maslahah Mursalah) Istihsan, Sadduz Zara’i, Urf dll.

• Berdasarkan Pelaku (Subyek) yang melakukan ijtihad
- Jama’i artinya pelaku ijtihad bersifat kelompok (ijma’)
- Fardi artinya pelaku ijtihad bersifat individual atau perorangan.

5. Bentuk Ijtihad
a. Ijma adalah kesepakatan ulama mengenai suatu masalah yang terjadi pada masa itu berdasarkan ketentuan-ketentuan Al Qur’an dan Al Hadits berupa teks langsung atau hanya Isyarat hukum saja.
b. Qiyas adalah proses menyamakan hukum suatu masalah pada hukum suatu masa-lah yang lain, karena ada kualifikasi yang sama berupa kesamaan sifat, sebab dan akibat – yang dalam kaidah ushul fiqh disebut dengan adanya kesamaan “Illat”, misalnya menyamakan hukum minuman keras dengan khamr karena ada unsur yang sama yaitu memabukkan.
c. Istihsan yaitu menentukan hukum berdasarkan nilai kebaikannya.
d. Istishab yaitu menetapkan hukum berdasarkan ketetapan atau situasi yang berkembang sebelumnya.
e. Urf yaitu mempertimbangkan ketetapan hukum berdasarkan nilai sosial dan tradisi yang berkembang dimasyarakat Islam sebelumnya.
f. Al Maslahah Mursalah yaitu menetapkan hukum berdasarkan nilai kebaikan dan kerusakannya.
g. Saddud Dara’i yaitu menentukan hukum berdasarkan seberapa jauh akibat negatif yang akan ditimbulkannya.



Bagian kedua ; Hukum Taklifi
I. Pengertian Hukum Taklifi
A. Pengertian Hukum dan Hukum Taklifi
1. Hukum artinya menetapakan sesuatu atau meniadakan sesuatu, Hukum Islam (syariat-hukum Allah) adalah hukum atau undang-undang yang ditentukan oleh Allah melalui Al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW.
2. Menurut Ulama Ushul Fiqih, hukum adalah tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu menjadi syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah atau azimah. Sedangkan menurut ulama Fiqih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh tuntutan syariat berupa “al Wujub, al Mandub, al Hurumah, al Karahah dan al Ibahah”, sedangkan perbuatan yang dituntut itu disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.

B. Pembagian Hukum dalam Islam
1. Hukum Taklifi – yaitu tuntutan allah SWT yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Hukum Taklifi berkaitan dengan perbuatan orang Mukallaf.
Hukum taklifi hanya diberikan kepada orang-orang mukallaf yaitu orang yang telah akil dan baligh. Akil berarti ia telah mampu menggunakan akalnya baik berupa kesadaran berfikir (ilmiyah) atau adanya kesadaran hati, sedangkan baligh atau sampai adalah indikator dimana seseorang telah dewasa dalam hal reproduksi.
2. Hukum Wadh’I – yaitu perintah Allah yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu hukum. Penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut :
a. Sebab – yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan oleh al Qur’an dan Hadits bahwa keberadaannya menjadi sebab tidak adanya hukum; misalnya terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat maghrib. Jika matahari belum terbenam maka tidak ada kewajiban sholat maghrib.
b. Syarat – yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’, tetapi keberadaannya menentukan hukum syara’ tersebut; misalnya haul (satu tahun) menjadi syarat wajibnya zakat bagi harta perniagaan
c. Mani’ (penghalang) – yaitu sesuatu yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab hukum, misalnya najis yang ada di badan atau pakaian menjadi penyebab tidak sahnya sholat seseorang (menghalangi keabsahan sholat).

II. Macam Hukum Taklifi
A. Wajib (Fardhu)
1. Pengertian – wajib atau iijab merupakan pernyataan Allah menuntut mukallaf untuk melaksanakan sesuatu atau perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan mendapat dosa.

2. Lafadl yang menunjukkan kewajiban
a. Berbentuk kalimat perintah (fiil amr) misalnya : اقيموا الصلاة واتوا الزكاة
b. Menggunakan lafald Farada atau kutiba, misalnya : كتب عليكم الصيام
c. Kalimat berita yang bermakna menyuruh : والمطلقت يتربصن بانفسهم ثلثة قروء

3. Macam-macam hukum wajib
a. Berdasarkan siapa hukum itu dibebankan
• Wajib ain yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu dan tidak dapat diserahkan kepada orang lain, misalnya Sholat.
• Wajib Kifayah yaitu kewajiban yang dibebankankepada komunitas muslim dan jika sudah ada yang mengerjakan, maka yang lain bebas, misalnya sholat jenazah.
b. Berdasarkan waktu menunaikan kewajiban
• Wajib Mutlak yaitu kewajiban yang tidak ditentukan waktu pelaksanaan-nya misalnya mengqodlo puasa.
• Wajib Mu’aqqa yaitu kewajiban yang telah ditentukan waktu pelaksa-naannya, misalnya sholat lima waktu.
c. Berdasarkan jumlah atau ukuran penunaian kewajiban
• Wajib Muhaddad yaitu ketentuan tentang jumlah atau ukuran sebuah kewajib-an misalnya jumlah rakaat sholat.
• Wajib Ghoiru Muhaddad yaitu kewajiban yang tidak ditentukan jumlah atau ukurannya, misalnya infaq.
d. Berdasarkan kebolehan memilih jenis perbuatan yang ingin dikerjakan
• Wajib mu’ayyan yaitu ketetapan jenis perbuatan yang harus dilaksanakan dan tidak boleh ditawar, misalnya ketentuan sholat lima waktu.
• Wajib Mukhayar yaitu ketentuan jenis perbuatan yang dapat dipilih atau ditawar, misalnya hukum bagi orang yang melanggar sumpah berupa memberi makan 10 fakir miskin, memberi pakaian kepada mereka dan atau memerdekan budak.

B. Sunnah (Mandub)
1. Pengertian – Sunnah yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan mendapat tidak mendapat dosa.

2. Lafadl yang menunjukkan hukum sunnah
a. Menunjukkan kalimat yang berarti sunnah, misalnyaيسن كذا atau ينذب كذا
b. Menggunakan kalimat perintah tetapi tidak menunjukkan kewajiban seperti Sholat Tahajud karena sebagai tambahan saja (Qs. Al Isro : 79)

Kalimat Tahajjud diawali dengan huruf “Fa” yang berarti perintah, tetapi sifatnya menjadi sunnah karena diikuti dengan kata “Nafilatan” yang berarti tambahan atau sunnah.

3. Macam-macam sunah
a. Sunnah Muakkad – sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan, misalnya sholat sunnat rawatib, sholat berjamaah dan membaca ayat al qur’an setelah membaca surat al Fatihah dsb.
b. Sunnah Ghoiru Muakkad – sunnah yang tidak sepenting dengan sunnah muakkad atau tidak sangat dianjurkan untuk dikerjakan, misalnya puasa senin- kamis dsb.
c. Sunnah Mustahab – sunnah yang kalau dilaksanakan menambah keutamaan dari sebuah perbuatan, misalnya menambah sedikit ke atas siku saat berwudlu sebagai sikap hati-hati menjaga batas wudlu.

C. Mubah
1. Pengertian – mubah berarti Allah memberikan kebebasan kepada kita untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tersebut atau perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan.
2. Lafald yang digunakan untuk menunjukan hukum mubah
a. Menggunakan kalimat “Uhilla” (dihalalkan) seperti yang tercantum dalam Qs. Al Maidah : 96.

b. Menunjukkan kalimat yang berarti tidak dilarang, misalnya kata “La Junaha (tidak berdosa), La Haraja (tidak ada halangan) dan La Itsma (tidak berdosa) seperti yang tercantum dalam Qs. Al Baqoroh : 173.


D. Makruh
1. Pengertian – yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan tidak mendapat dosa, tetapi apabila ditinggalkan mendapat pahala, misalnya meninggalkan makanan yang berbau ketika akan bergaul.
2. Lafadl yang digunakan untuk menunjukkan hukum makruh
a. Menggunakan kalimat “Karaha” atau memakruhkan.
b. Berbentuk kelimat perintah yang tidak mengharamkan karena ada kata “Khoirun lakum” (lebih baik bagimu) seperti tersebut dalam Qs. Al Jumu’ah ayat 9.



E. Haram
1. Pengertian – Haram adalah perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya di-anggap berdosa dan akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan, maka pelakunya mendapat pahala, misalnya berzina, mencuri, membunuh, durhaka pada orang tua dan lain sebagainya.
2. Lafald yang menunjukkan keharaman
a. Terdapat kata yang bermakna keharaman, misalnya kata “harrama atau hurrima” Juga kalimat yang menggunakan kata “la yahillu” (tidak halal) seperti tersebut dalam Qs. al Baqoroh ayat 229 dan Al Maidah ayat 3



b. Berbentuk kalimat larangan untuk mengerjakan yaitu “Fiil atau La Nahyi” seperti tersebut dalam Qs. An Nisa’ ayat 10

c. Menunjukkan kalimat perintah untuk meninggalkan atau menjauhi yaitu dengan kata-kata “Ijtanibu” (Jauhilah) seperti tersebut dalam Qs. Al Maidah : 90.

Rabu, 11 November 2009

ZABAZ

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN /RPP
(LEARNING IMPLEMENTATION PLAN )



Name of School : SMA Negeri 1 Tuban
Lesson : Islamic Religious Education
Class / Semester : X / A
Allocation of Time : 8 Hour Lessons (45 x 8)


A. Competency Standards
1. Understanding the sources of Islamic syari’ah, and wisdom worship Taklifi

B. Basic Competence
1. Mentioned sense, the position and function of the Holy Qur'an, Al-Hadith and Ijtihad as a source of Islamic syari’ah.
2. Explaining terms, the position and function of taklifi under Islamic syari’ah.
3. Applying the role of taklifi in our life everyday.

C. Indicators
1. Mentioned sense, the position and function of the Holy Qur'an, Al-Hadith and Ijtihad as a source of Islamic syari’ah with the indicators :
a. Ability to explain the meaning, status and function of the Holy Qur'an as a source of Islamic syari’ah.
b. Ability to explain the meaning, position and function of Al Hadith as a source of Islamic syari’ah.
c. Ability to explain all kinds and functions of Al-Hadith and AlQuran.
d. Ability to explain the meaning, position and function of Ijtihad as a source of Islamic syari’ah
2. Mentioned sense, the position and function of law in syari’ah of taklifi with indicator
a. Ability to explain legal terms in Islamic syari’ah taklifi
b. Ability to explain the legal position in Islamic syari’ah taklifi
c. Ability to explain the function of law in Islamic syari’ah taklifi
3. Applying the law taklifi in our life everyday :
a. Ability to show examples of behavior in accordance with the syari’ah taklifi in our life everyday
b. Ability to practice and get the appropriate behavior in taklifi syari’ah in our life everyday

D. Learning Objectives
1. Students are able to explain the sense, the position and function of the Holy Qur'an, Al-Hadith and Ijtihad as a source of Islamic syari’ah
2. Students are able to explain the sense, the position and function of syari’ah in the taklifi
3. Students are able to get used / applied behavior consistent with taklifi law in our life everyday


E. Learning Materials
1. Sources of Islamic Law (The Qur'an, Al-Hadith and Ijtihad)
a. Source of Islamic law - all things that serve as a reference or framework for the development of Islamic teachings is the Holy Qur'an, al Hadith and the product of Ijtihat system ).
b. Al Qur'an - the Word of God which is given to the Prophet Muhammad through the angel with the use of Arabic and read the prayer.
• Understanding - from the Arabic "qoraa"
• Period decline Qur'an - revealed for 22 years 2 months and 22 days in two places is Makkah (sub-makiyah) and in the Medina (the verses Medinan sura).
• Status - the first source of Islamic teachings
• How the Qur'an revealed - berangsung gradually through the angel Gabriel, dreams, behind the veil and gemerincingnya bell.
• The Holy Qur'an - as a guide, instructions, and the difference between truth and falsehood of mankind.

c. Al Hadith (what is resting to the Prophet in the form of words, deeds and decrees of the Prophet).
• Understanding Hadith - in addition to al Hadith, also found the terminology As Sunnah, and Khabar Atsar.
• Position - a source of Islamic teachings after the Qur'an (Surah An-Nisa ': 56).
• Function - mengutakan provisions defined in the Qur'an, explained that the law has been defined by the Qur'an and lays down the law something that has not been defined by the Qur'an.
• Classification of Hadith - mutawatir and Hasan, Sahih and Dlaif, Nabawi and Qudsi, Qouliyah, fi'liyah and taqririyah etc.

d. Ijtihad (the mobilization of all abilities to discover the legal provisions of a problem that has not been regulated in detail Al Quran and Al-Hadith).
• Basic legality of ijtihad - Qs. An-Nisa ': 56 and Hadith of the Prophet Muhammad dialogue with Muadz Bin Jabal.
• Position - Ijtihad is the source of the third Islamic teachings after the Qur'an and Hadith.
• Various kinds of Ijtihad - Ijtihad in secret and open ijtihad.
• The form and how to determine the law according to ijtihad - Ijma ', Qiyas, Istihsan, Istishab, urf, Al Maslahah mursalah and Saddud Dara'
• Object Ijtihad - ubudiyah law and not matters relating to the problem i'tiqodiyah (creed)



2. Taklifi law in Islamic law (the sense and stuff).
a. Taklifi legal sense - the provisions of (the demands of God to do and or leave) given to people mukallah
b. Various legal taklifi - Payer, Sunan, Haram, Makruh and Mubah

F. Step-by-step activities

No Phase Actifity Time
SESSION I (2 X 45 Minutes)
1 Pre Actifity 1. Teachers provide an explanation regarding the procedure and discussion of topics ranging study in accordance with the decree, KD and his subject matter
2. Teachers provide guidance and motivation of the sources of Islamic law
2 Core Actifity 1. Teachers do random understanding of understanding, the position and function of the Holy Qur'an and Al-Hadith and matters related thereto.
2. Teachers provide an explanation of terms, the position and function of the Holy Qur'an and Al-Hadith and matters related to the students in the form of lectures and interactive dialogue
3. Teachers give quizzes / questions to the student to capture value.
3 The end Activity Teacher gives the final form of conclusion, notes, and suggestions
SESSION II AND III (4 X 45 Minutes)
1 Pre Actifity Teacher Activity 1 provides guidance on the material to be presented at this meeting.
2 Core Actifity 1. Teacher divides students in 8 groups
2. Each group read a related reference books Understanding Ijtihad, functions and methods in the form of law-Ijma 'and Qiyas and al Maslahah Mursalah.
3. Each group discusses the notion of Ijtihad, functions and methods in the form of law-Ijma 'and Qiyas and al Maslahah Mursalah and poured it in a simple writing
4. Each group presented the results of the discussion in terms of Ijtihad format, functions and methods in the form of law-Ijma 'and Qiyas and al Maslahah Mursalah complete with examples.
5. Teeachers give quizzes / questions to the student to capture value.
3 The end Activity In the end, Teacher gives the final word of explanation and discussion of the manufacture of scenarios will be displayed at the next meeting.
SESSION IV (4 X 45 Minutes)
1 Pre Actifity Teacher Activity 1 provides guidance on the law and the kinds taklifi-kind (Payer, Sunnah, Haram, Makruh and Mubah)
2 Core Actifity 1. Teacher divides students into 5 discussion groups then took them to the Small Mosque or other religious tempah.
2. Each group will receive one envelope containing the legal kind taklifi and some commands in it.
3. Each group discussed the appearance in accordance with the legal order in the envelope taklifi
4. Each group for each group displays an example of direct practice in accordance with the law taklifi in the envelope.
5. Teachers give quizzes / questions to the student to capture value
3 The end Activity End Teacher gives the final word in the form of conclusions, notes, and suggestions and assignment (PR) if necessary.

G. Source of Learning Tools
1. The Qur'an and the translation (depag RI)
2. Buku PAI Kelas X Karya Drs. Syamsuri (Penerbit Erlangga Surabaya).
3. Buku PAI Kelas X Karya Tim penyusun Fak. Tarbiyah UIN Suka Yogyakarta (Penerbit Cempaka Putih/Intan Pariwara)
4. Ad Dienul Islam karya Drs. Nasruddin Razak
5. Fiqh Islam Karya Sulaiman Rasyid.
6. Fiqh Sunnah Karya Sayyid Sabiq.

H. Assessment

No Nmr Indi-kator Assessment
indicators Sources materials tools Type of Sample Collection Form Instrument Instrument Collection Form Instrument
1 individual Task Descrip-tion 1. Explain the meaning of the Qur'an and the term aspect of language
2. Describe the position and function of the Holy Qur'an as a source of Islamic law. The Qur'an and the translation
Islamic Fiqh (Solomon Rasyid.
2 individual Task Descrip-tion 1. Explain the meaning of al Hadith of aspects of language and terms
2. Describe the position and function of the Al Hadith as a source of Islamic law
3 individual Task Descrip-tion Duty-free description of the individual and explain Mention al Hadith 3 functions of the Qur'an as a source of Islamic law.
4 individual Simple task 1. Describe the sense Al Ijtihad of the aspects of language and terms
2. Describe the function of Ijtihad as a source of Islamic law.
3. Describe the kinds of ijtihad according to the Mujtahid.
2 1 Individual Simple Task A brief description of the understanding Explain Taklifi Law in Islamic law
2 Individual Simple Task Describe a brief description of the status of law in Islamic law Taklifi
3 Individual Simple Task A brief description Taklifi Explain the function of law in Islamic law

3 1 Individual Simple Task behavioral observation group 3 samples show behavior consistent with the law Taklifi
2 Individual Simple Task behavioral observation Practice Sheet 3 examples of behavior in accordance with the law taklifi



I. Appendix
1. Format penilaian kemampuan mengidentifikasi kata kunci sumber hukum Islam
2. Format penilaian kemampuan mengidentifikasi kata kunci hukum taklifi
3. Lembar pengamatan praktek prilaku yang sesuai dengan hukum Taklifi


Tuban, July 20, 2008
Knowing the teacher
Head of SMA Negeri 1 Tuban


Dra. Suprapti, M.Pd. Drs. IHSAN
NIP. 130806444 NIP. 150249523

Senin, 29 Juni 2009

ZABAZ

FILSAFAT ILMU
SEBUAH STUDY TENTANG PENGERTIAN DAN PERKEMBANGANNYA


Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Filsafat Ilmu



Oleh :
I H S A N

Dosen Pembina
Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MA
Drs. Mahsun Jayadi, M.Ag

sumber tulisan : http://akhmadsudrajat.wordpress.com)





UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2009

FILSAFAT ILMU; SEBUAH STUDY TENTANG PENGERTIAN DAN PERKEMBANGANNYA

A. Pengertian Filsafat Ilmu
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001)
1. Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
2. Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
3. A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
4. Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
5. May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
6. Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan
7. Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
1. Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
2. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
3. Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)

B. Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
1. Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
2. Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
3. Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
4. Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
5. Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Disarikan dari Agraha Suhandi (1989)
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.

C. Substansi Filsafat Ilmu
Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.
1. Fakta atau kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.
a. Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
b. Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
c. Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
d. Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
e. Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.

Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu.
Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.

2. Kebenaran (truth)
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)
a. Kebenaran koherensi - yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental.
b. Kebenaran korespondensi - Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik
c. Kebenaran performatif - Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
d. Kebenaran pragmatik - Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis.
e. Kebenaran proposisi - Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
f. Kebenaran struktural paradigmatik - Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.
3. Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
4. Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden. (Ismaun,200:9)
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.
D. Corak dan Ragam Filsafat Ilmu
Ismaun (2001:1) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat ilmu, diantaranya:
1. Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu : (1) meta ideologi, (2) meta fisik dan (3) metodologi disiplin ilmu.
2. Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-Ends) menjadi means. Teknologi bukan lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai kepanjangan ide manusia.
3. Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau keindahan sebagai salah satu tri-partit, yakni kebudayaan, produk domain kognitif dan produk alasan praktis.
Produk domain kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata, benar, dan logis. Bila etik dimasukkan, maka perlu ditambah koheren dengan moral. Produk alasan praktis tampil memenuhi kriteria oprasional, efisien dan produktif. Bila etik dimasukkan perlu ditambah human.manusiawi, tidak mengeksploitasi orang lain, atau lebih diekstensikan lagi menjadi tidak merusak lingkungan.
E. Perkembangan Filsafat Ilmu
Semenjak tahun 1960 filsafat ilmu mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran kuantitatif sebagai andalan utamanya. Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara mengesankan
Pada periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa genetika dengan melakukan percobaan cloning pada kambing, atau mengembangkan cyber technology, yang memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui internet. Belum lagi keberhasilan manusia dalam mencetak berbagai produk nano technology , dalam bentuk mesin-mesin micro-chip yang serba mini namun memiliki daya guna sangat luar biasa.
Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun peradaban manusia seperti sekarang ini.
Namun, dibalik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan, krisis dan chaos yang hampir terjadi di setiap belahan dunia ini. Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia, karena manusia telah memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya. Berbagai gejolak sosial hampir terjadi di mana-mana sebagai akibat dari benturan budaya yang tak terkendali.
Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata telah menjadi boomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan manusia itu seakan-akan berbalik untuk menghantam dan menerkam si penciptanya sendiri, yaitu manusia.
Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi yang dikembangkan oleh kaum positivisme-empirik, telah memunculkan berbagi kritik di kalangan ilmuwan tertentu. Kritik yang sangat tajam muncul dari kalangan penganut “Teori Kritik Masyarakat”, sebagaimana diungkap oleh Ridwan Al Makasary (2000:3). Kritik terhadap positivisme, kurang lebih bertali temali dengan kritik terhadap determinisme ekonomi, karena sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme ekonomi dipancangkan dari teori pengetahuan positivistik. Positivisme juga diserang oleh aliran kritik dari berbagai latar belakang dan didakwa berkecenderungan mereifikasi dunia sosial. Selain itu Positivisme dipandang menghilangkan pandangan aktor, yang direduksi sebatas entitas pasif yang sudah ditentukan oleh “kekuatan-kekuatan natural”. Pandangan teoritikus kritik dengan kekhususan aktor, di mana mereka menolak ide bahwa aturan aturan umum ilmu dapat diterapkan tanpa mempertanyakan tindakan manusia. Akhirnya “ Teori Kritik Masyarakat” menganggap bahwa positivisme dengan sendirinya konservatif, yang tidak kuasa menantang sistem yang eksis.
Senada dengan pemikiran di atas, Nasution (1996:4) mengemukan pula tentang kritik post-positivime terhadap pandangan positivisme yang bercirikan free of value, fisikal, reduktif dan matematika.
Aliran post-positivime tidak menerima adanya hanya satu kebenaran,. Rich (1979) mengemukakan “There is no the truth nor a truth – truth is not one thing, – or even a system. It is an increasing completely” Pengalaman manusia begitu kompleks sehingga tidak mungkin untuk diikat oleh sebuah teori. Freire (1973) mengemukakan bahwa tidak ada pendidikan netral, maka tidak ada pula penelitian yang netral.
Usaha untuk menghasilkan ilmu sosial yang bebas nilai makin di-tinggalkan karena tak mungkin tercapai dan karena itu bersifat “self deceptive” atau penipuan diri dan digantikan oleh ilmu sosial yang ber-dasarkan ideologi tertentu. Hesse (1980) mengemukakan bahwa kenetralan dalam penelitian sosial selalu merupakan problema dan hanya merupakan suatu ilusi. Dalam penelitian sosial tidak ada apayang disebut “obyektivitas”. “ Knowledge is a’socially contitued’, historically embeded, and valuationally. Namun ini tidak berarti bahwa hasil penelitian bersifat subyektif semata-mata, oleh sebab penelitian harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara empirik, sehingga dapat dipercaya dan diandalkan. Macam-macam cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tingkat kepercayaan hasil penelitian
Jelasnya, apabila kita mengacu kepada pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962) bahwa per-kembangan filsafat ilmu, terutama sejak tahun 1960 hingga sekarang ini sedang dan telah mengalami pergeseran dari paradigma positivisme-empirik,–yang dianggap telah mengalami titik jenuh dan banyak mengandung kelemahan–, menuju paradigma baru ke arah post-positivisme yang lebih etik.
Terjadinya perubahan paradigma ini dijelaskan oleh John M.W. Venhaar (1999:) bahwa perubahan kultural yang sedang terwujud akhir-akhir ini, –perubahan yang sering disebut purna-modern, meliputi persoalan-persoalan sebagai berikut :
1. antihumanisme,
2. dekonstruksi, dan
3. fragmentasi identitas.
Ketiga unsur ini memuat tentang berbagai problem yang berhubungan dengan fungsi sosial cendekiawan dan pentingnya paradigma kultural,– terutama dalam karya intelektual untuk memahami identitas manusia.


Daftar Pustaka
Achmad Sanusi,.(1998), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung PS-IKIP Bandung.
Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.
Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.
Filsafat_ Ilmu, http://members.tripod.com/aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm.
Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.
Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan.
Mantiq, http://media.isnet.org./islam/etc/mantiq.htm.
Moh. Nazir, (1983), Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia
Muhammad Imaduddin Abdulrahim, (1988), Kuliah Tawhid, Bandung : Yayasan Pembina Sari Insani (Yaasin)

ZABAZ

FILSAFAT ILMU
SEBUAH KAJIAN TENTANG BAGAIMANA MANUSIA MEMPEROLEH DAN MEMAKNAI ILMU


TEORI PENGETAHUAN
Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali " keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuan-nya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek. Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah).
Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual.
Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.

FILSAFAT
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata "philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. (dan masih konon juga) Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang meng-anggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai.
Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.

MUNGKINKAH MANUSIA ITU MEMPUNYAI PENGETAHUAN ?
Masalah epistemologis yang sejak dahulu dan juga sekarang menjadi bahan kajian adalah, apakah berpengetahuan itu mungkin ? Apakah dunia (baca: realita) bisa diketahui ? Sekilas masalah ini konyol dan menggelikan. Tetapi terdapat beberapa orang yang mengingkari pengetahuan atau meragukan pengetahuan. Misalnya, bapak kaum sophis, Georgias, pernah dikutip darinya sebuah ungkapan berikut, "Segala sesuatu tidak ada. Jika adapun, maka tidak dapat diketahui, atau jika dapat diketahui, maka tidak bisa diinformasikan."
Mereka mempunyai beberapa alasan yang cukup kuat ketika berpendapat bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dipercaya. Pyrrho salah seorang dari mereka menyebutkan bahwa manusia ketika ingin mengetahui sesuatu menggunakan dua alat yakni, indra dan akal. Indra yang merupakan alat pengetahuan yang paling dasar mempunyai banyak kesalahan, baik indra penglihat, pendengar, peraba, pencium dan perasa. Mereka mengatakan satu indra saja mempunyai kesalahan ratusan. Jika demikian adanya, maka bagaimana pengetahuan lewat indra dapat dipercaya ? Demikian pula halnya dengan akal. Manusia seringkali salah dalam berpikir. Bukti yang paling jelas bahwa di antara para filusuf sendiri terdapat perbedaan yang jelas tidak mungkin semua benar pasti ada yang salah. Maka akalpun tidak dapat dipercaya. Oleh karena alat pengetahuan hanya dua saja dan keduanya mungkin bersalah, maka pengetahuan tidak dapat dipercaya.
Pyrrho ketika berdalil bahwa pengetahuan tidak mungkin karena kasalahan-kesalahan yang indra dan akal, sebenarnya, ia telah mengetahui (baca: meyakini) bahwa pengetahuan tidak mungkin. Dan itu merupakan pengetahuan. Itu pertama. Kedua, ketika ia mengatakan bahwa indra dan akal seringkali bersalah, atau katakan, selalu bersalah, berarti ia mengetahui bahwa indra dan akal itu salah. Dan itu adalah pengetahuan juga. Alasan yang dikemukakan oleh Pyrrho tidak sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan sesuatu yang tidak mungkin. Alasan itu hanya dapat membuktikan bahwa ada kesalahan dalam akal dan indra tetapi tidak semua pengetahuan lewat keduanya salah. Oleh karen itu mesti ada cara agar akal dan indra tidak bersalah.
Menurut Ibnu Sina, ada cara lain yang lebih efektif untuk menghadapi mereka, yaitu pukullah mereka. Kalau dia merasakan kesakitan berarti mereka mengetahui adanya sakit (akhir dawa' kay).

" Cogito, ergosum "-nya Descartes.
Rene Descartes termasuk pemikir yang beraliran rasionalis. Ia cukup berjasa dalam membangkitkan kembali rasionalisme di barat. Muhammad Baqir Shadr memasukkannya ke dalam kaum rasionalis. Ia termasuk pemikir yang pernah mengalami skeptisme akan pengetahuan dan realita, namun ia selamat dan bangkit menjadi seorang yang meyakini realita. Bangunan rasionalnya beranjak dari keraguan atas realita dan pengetahuan. Ia mencari dasar keyakinannya terhadap Tuhan, alam, jiwa dan kota Paris. Dia mendapatkan bahwa yang menjadi dasar atau alat keyakinan dan pengetahuannya adalah indra dan akal. Ternyata keduanya masih perlu didiskusikan, artinya keduanya tidak memberika hal yang pasti dan meyakinkan. Lantas dia berpikir bahwa segala sesuatu bisa diragukan, tetapi ia tidak bisa meragukan akan pikirannya. Dengan kata lain ia meyakini dan mengetahui bahwa dirinya ragu-ragu dan berpikir. Ungkapannya yang populer dan sekaligus fondasi keyakinan dan pengetahuannya adalah " Saya berpikir (baca : ragu-ragu), maka saya ada ".
Argumentasinya akan realita menggunakan silogisme kategoris bentuk pertama, namun tanpa menyebutkan premis mayor. Saya berpikir, setiap yang berpikir ada, maka saya ada

Keraguan al Ghazzali.
Dari dunia Islam adalah Imam al Ghazzali yang pernah skeptis terhadap realita, namun iapun selamat dan menjadi pemikir besar dalam filsafat dan tashawwuf. Perkataannya yang populer adalah " Keraguan adalah kendaraan yang mengantarkan seseorang ke keyakinan ".

SUMBER DANA ALAT PENGETAHUAN.
Setelah pengetahuan itu sesuatu yang mungkin dan realistis, masalah yang dibahas dalam lliteratur-literatur epistimologi Islam adalah masalah yang berkaitan dengan sumber dan alat pengetahuan. Sesuai dengan hukum kausaliltas bahwa setiap akibat pasti ada sebabnya, maka pengetahuan adalah sesuatu yang sifatnya aksidental -baik menurut teori recolection-nya Plato, teori Aristoteles yang rasionalis-paripatetik, teori iluminasi-nya Suhrawardi, dan filsafat-materialisnya kaum empiris- dan pasti mempunyai sebab atau sumber. Tentu yang dianggap sebagai sumber pengetahuan itu beragam dan berbeda sebagaimana beragam dan berbedanya aliran pemikiran manusia. Selain pengetahuan itu mempunyai sumber, juga seseorang ketika hendak mengadakan kontak dengan sumber-sumber itu, maka dia menggunakan alat.
Para filusuf Islam menyebutkan beberapa sumber dan sekaligus alat pengetahuan, yaitu :
1. Alam tabi'at atau alam fisik
2. Alam Akal
3. Analogi ( Tamtsil)
4. Hati dan Ilham
1. Alam tabi'at atau alam fisik
Manusia sebagai wujud yang materi, maka selama di alam materi ini ia tidak akan lepas dari hubungannya dengan materi secara interaktif, dan hubungannya dengan materi menuntutnya untuk menggunakan alat yang sifatnya materi pula, yakni indra (al hiss), karena sesuatu yang materi tidak bisa dirubah menjadi yang tidak materi (inmateri). Contoh yang paling konkrit dari hubungan dengan materi dengan cara yang sifatnya materi pula adalah aktivitas keseharian manusia di dunia ini, sepert makan, minum, hubungan suami istri dan lain sebagianya. Dengan demikian, alam tabi'at yang materi merupakan sumber pengetahuan yang "barangkali" paling awal dan indra merupakan alat untuk berpengetahuan yang sumbernya tabi'at.
Tanpa indra manusia tidak dapat mengetahui alam tabi'at. Disebutkan bahwa, barang siapa tidak mempunyai satu indra maka ia tidak akan mengetahui sejumlah pengetahuan. Dalam filsafat Aristoteles klasik pengetahuan lewat indra termasuk dari enam pengetahuan yang aksioamatis (badihiyyat). Meski indra berperan sangat signifikan dalam berpengetahuan, namun indra hanya sebagai syarat yang lazim bukan syarat yang cukup. Peranan indra hanya memotret realita materi yang sifatnya parsial saja, dan untuk meng-generalisasi-kannya dibutuhkan akal. Malah dalam kajian filsafat Islam yang paling akhir, pengetahuan yang diperoleh melalui indra sebenarnya bukanlah lewat indra. Mereka mengatakan bahwa obyek pengetahuan (al ma'lum) ada dua macam, yaitu, (1) obyek pengetahuan yang substansial dan (2) obyek pengetahuan yang aksidental. Yang diketahui secara substansial oleh manusia adalah obyek yang ada dalam benak, sedang realita di luar diketahui olehnya hanya bersifat aksidental. Menurut pandangan ini, indra hanya merespon saja dari realita luar ke relita dalam.
Pandangan Sensualisme (al-hissiyyin).
Kaum sensualisme, khususnya John Locke, menganggap bahwa pengetahuan yang sah dan benar hanya lewat indra saja. Mereka mengatakan bahwa otak manusia ketika lahir dalam keadaan kosong dari segala bentuk pengetahuan, kemudian melalui indra realita-realita di luar tertanam dalam benak. Peranan akal hanya dua saja yaitu, menyusun dan memilah, dan meng-generalisasi. Jadi yang paling berperan adalah indra. Pengetahuan yang murni lewat akal tanpa indra tidak ada. Konskuensi dari pandangan ini adalah bahwa realita yang bukan materi atau yang tidak dapat bersentuhan dengan indra, maka tidak dapat diketahui, sehingga pada gilirannya mereka mengingkari hal-hal yang metafisik seperti Tuhan.

2. Alam Akal
Kaum Rasionalis, selain alam tabi'at atau alam fisika, meyakini bahwa akal merupakan sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka menganggap akal-lah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya pembantu saja. Indra hanya merekam atau memotret realita yanng berkaitan dengannya, namun yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indra saja tanpa akal tidak ada artinya. Tetapi tanpa indra pangetahuan akal hanya tidak sempurna, bukan tidak ada.
Aktivitas-aktiviras Akal
a. Menarik kesimpulan. Yang dimaksud dengan menarik kesimpulan adalah mengambil sebuah hukum atas sebuah kasus tertentu dari hukum yang general. Aktivitas ini dalam istilah logika disebut silogisme kategoris demonstratif.
b. Mengetahui konsep-konsep yang general. Ada dua teori yang men-jelaskan aktivitas akal ini, pertama, teori yang mengatakan bahwa akal terlebih dahulu menghilangkan ciri-ciri yang khas dari beberapa person dan membiarkan titik-titik kesamaan mereka. Teori ini disebut dengan teori tajrid dan intiza'. Kedua, teori yang mangatakan bahwa penge-tahuan akal tentang konsep yang general melalui tiga tahapan, yaitu persentuhan indra dengan materi, perekaman benak, dan generalisasi.
c. Pengelompokan Wujud. Akal mempunyai kemampuan mengelompokkan segala yang ada di alam realita ke beberapa kelompok, misalnya realita-realita yang dikelompokkan ke dalam substansi, dan ke dalam aksdensi (yang sembilan macam).
d. Pemilahan dan Penguraian.
e. Penggabungan dan Penyusunan.
f. Kreativitas.

3. Analogi (Tamtsil)
Termasuk alat pengetahuan manusia adalah analogi yang dalam terminologi fiqih disebut qiyas. Analogi ialah menetapkan hukum (baca; predikat) atas sesuatu dengan hukum yang telah ada pada sesuatu yang lain karena adanya kesamaan antara dua sesuatu itu.
Analogi tersusun dari beberapa unsur; (1) asal, yaitu kasus parsial yang telah diketahui hukumnya. (2) cabang, yaitu kasus parsial yang hendak diketahui hukumnya, (3) titik kesamaan antara asal dan cabang dan (4) hukum yang sudah ditetapkan atas asal. Analogi itu sendiri dibagi menjadi dua;
a. Analogi interpretatif : Ketika sebuah kasus yang sudah jelas hukumnya, namun tidak diketahui illatnya atau sebab penetapannya.
b. Analogi Yang Dijelaskan illatnya : Kasus yang sudah jelas hukum dan illatnya.

4. Hati dan Ilham
Kaum empiris yang memandang bahwa ada sama dengan materi sehingga sesuatu yang inmateri adalah tidak ada, maka pengetahuan tentang in materi tidak mungkin ada. Sebaliknya kaum Ilahi ( theosopi) yang meyakini bahwa ada lebih luas dari sekedar materi, mereka mayakini keberadaan hal-hal yang inmateri. Pengetahuan tentangnya tidak mungkin lewat indra tetapi lewat akal atau hati.
Tentu yang dimaksud dengan pengetahuan lewat hati disini adalah penngetahuan tentang realita inmateri eksternal, kalau yang internal seperti rasa sakit, sedih, senang, lapar, haus dan hal-hal yang iintuitif lainnya diyakini keberadaannya oleh semua orang tanpa kecuali.

Bagaimana mengetahui lewat hati ?
Filusuf Ilahi Mulla Shadra ra. berkata, "Sesungguhnya ruh manusia jika lepas dari badan dan berhijrah menuju Tuhannya untuk menyaksikan tanda-tanda-Nya yang sangat besar, dan juga ruh itu bersih dari kamaksiatan-kemaksiatan, syahwat dan ketarkaitan, maka akan tampak padanya cahaya makrifat dan keimanan kepada Allah dan malakut-Nya yang sangat tinggi. Cahaya itu jika menguat dan mensubstansi, maka ia menjadi substansi yang qudsi, yang dalam istilah hikmah teoritis oleh para ahli hikmat disebut dengan akal efektif dan dalam istilah syariat kenabian disebut ruh yang suci. Dengan cahaya akal yang kuat, maka terpancar di dalamnya -yakni ruh manusia yang suci- rahasia-rahasia yang ada di bumi dan di langit dan akan tampak darinya hakikat-hakikat segala sesuatu sebagimana tampak dengan cahaya sensual mata (alhissi) gambaran-gambaran konsepsi dalam kekuatan mata jika tidak terhalang tabir. Tabir di sini -dalam pembahasan ini- adalah pengaruh-pengaruh alam tabiat dan kesibukan-kesibukan dunia, karena hati dan ruh -sesuai dengan bentuk ciptaannya- mempunyai kelayakan untuk menerima cahaya hikmah dan iman jika tidak dihinggapi kegelapan yang merusaknya seperti kekufuran, atau tabir yang menghalanginya seperti kemaksiatan dan yang berkaitan dengannya
Kemudian beliau melanjutkan, "Jika jiwa berpaling dari ajakan-ajakan tabiat dan kegelapan-kegelapan hawa nafsu, dan menghadapkan dirinya kepada Alhaq dan alam malakut, maka jiwa itu akan berhubungan dengan kebahagiaan yang sangat tinggi dan akan tampak padanya rahasia alam malakut dan terpantul padanya kesucian (qudsi) Lahut ." (al-Asfar al-Arba'ah jilid 7 halaman 24-25).
Tentang kebenaran realita alam ruh dan hati ini, Ibnu Sina berkata, "Sesungguhnya para 'arifin mempunyai makam-makam dan derajat-derajat yang khusus untuk mereka. Mereka dalam kehidupan dunia di bawah yang lain. Seakan-akan mereka itu, padahal mereka berada dengan badan mereka, telah melepaskan dan meninggalkannya untuk alam qudsi. Mereka dapat menyaksikan hal-hal yang halus yang tidak dapat dibayangkan dan diterangkan dengan lisan. Kesenangan mereka dengan sesuatu yang tidak dapat dilihat mata dan didengar telinga. Orang yang tidak menyukainya akan mengingkarinya dan orang yang memahaminya akan membesarkannya." (al-Isyarat jilid 3 bagian kesembilan tentang makam-makam para 'arif halaman 363-364)
Kemudian beliau melanjutkan, "Jika sampai kepadamu berita bahwa seorang 'arif berbicara -lebih dulu- tentang hal yang gaib (atau yang akan terjadi), dengan berita yang menyenangkan atau peringatan, maka percayailah. Dan sekali-sekali anda keberatan untuk mempercayainya, karena apa yang dia beritakan mempunyai sebab-sebab yang jelas dalam pandangan-pandangan (aliran-aliran) tabi'at."
Pengetahuan tentang alam gaib yang dicapai manusia lewat hati jika berkenaan dengan pribadi seseorang saja disebut ilham atau isyraq, dan jika berkaitan dengan bimbingan umat manusia dan penyempurnaan jiwa mereka dengan syariat disebut wahyu.

ISLAM DAN SUMBER-SUMBER PENGETAHUAN
Dalam teks-teks Islam -Qur'an dan Sunnah- dijelaskan tentang sumber dan alat pengetahuan:
1. Indra dan akal
Allah swt. berfirman, "Dan Allah yang telah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, sementara kalian tidak mengetahui sesuatu pun, dan (lalu) Ia meciptakan untuk kalian pendengaran, penglihatan dan hati ( atau akal) agar kalian bersyukur ". (QS. al-Nahl: 78).
Islam tidak hanya menyebutkan pemberian Allah kepada manusia berupa indra, tetapi juga menganjurkan kita agar menggunakannya, misalnya dalam al-Qur'an Allah swt. berfirman, "Katakanlah, lihatlah segala yang ada di langit-langit dan di bumi." (QS. Yunus: 101 ). Dan ayat-ayat yang lainnya yang banyak sekali tentang anjuran untuk bertafakkur. Qur'an juga dalam membuktikan keberadaan Allah dengan pendekatan alam materi dan pendakatan akal yang murni seperti, "Seandainya di langit dan di bumi ada banyak tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan hancur." (QS. al-Anbiya': 22). Ayat ini menggunakan pendekatan rasional yang biasa disebut dalam logika Aristotelian dengan silogisme hipotesis.
Atau ayat lain yang berbunyi, "Allah memberi perumpamaan, seorang yang yang diperebutkan oleh banyak tuan dengan seorang yang menyerahkan dirinya kepada seorang saja, apakah keduanya sama ?" (QS. al-Zumar: 29)
2. Hati
Allah swt berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, niscaya Ia akan memberikan kepada kalian furqon." (QS. al-Anfal: 29) Maksud ayat ini adalah bahwa Allah swt. akan memberikan cahaya yang dengannya mereka dapat membedakan antara yang haq dengan yang batil. Atau ayat yang berbunyi, "Dan bertakwalah kepada Allah maka Ia akan mengajari kalian. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. al-Baqarah: 282). Dan ayat-ayat yang lainnya.

SYARAT DAN PENGHALANG PENGETAHUAN.
Meskipun berpengetahuan tidak bisa dipisahkan dari manusia, namun seringkali ada hal-hal yang mestinya diketahui oleh manusia, ternyata tidak diketahui olehnya.
Oleh karena itu ada beberapa pra-syarat untuk memiliki pengetahuan, yaitu :
1. Konsentrasi - Orang yang tidak mengkonsentasikan (memfokuskan) indra dan akal pikirannya pada benda-benda di luar, maka dia tidak akan mengetahui apa yang ada di sekitarnya.
2. Akal yang sehat - Orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat berpikir dengan baik. Akal yang tidak sehat ini mungkin karena penyakit, cacat bawaan atau pendidikan yang tidak benar.
3. Indra yang sehat - Orang yang salah satu atau semua indranya cacat maka tidak mengetahui alam materi yang ada di sekitarnya.
Jika syarat-syarat ini terpenuhi maka seseorang akan mendapatkan pengetahuan lewat indra dan akal. Kemudian pengetahuan daat dimiliki lewat hati. Pengetahuan ini akan diraih dengan syarat-syarat seperti, membersihkan hati dari kemaksiatan, memfokuskan hati kepada alam yang lebih tinggi, mengosongkan hati dari fanatisme dan mengikuti aturan-aturan sayr dan suluk. Seorang yang hatinya seperti itu akan terpantul di dalamnya cahaya Ilahi dan kesempurnaanNya.
Ketika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pengetahuan akan terhalang dari manusia. Secara spesifik ada beberapa sifat yang menjadi penghalang pengetahuan, seperti sombong, fanatisme, taqlid buta (tanpa dasar yang kuat), kepongahan karena ilmu, jiwa yang lemah (jiwa yang mudah dipengaruhi pribadi-pribadi besar) dan mencintai materi secara berlebihan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS