RSS

Hukum Nikah

Hukum Nikah

Fuqaha menyebutkan bahwa pada nikah diberlakukan hukum yang lima. Sehingga bisa jadi dalam satu keadaan hukumnya wajib, pada keadaan lain hukumnya mustahab/sunnah atau hanya mubah, bahkan terkadang makruh atau haram.
Adapun hukum asal menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan riwayat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad. Sebagaimana hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama, menyelisihi pendapat mazhab Zhahiriyyah yang mengatakan wajib.


Nikah ini merupakan sunnah para rasul, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً


“Sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri dan anak turunan.” (Ar-Ra’d: 38)


Utsman bin Mazh’un radhiyallahu 'anhu, seorang dari sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berkata, “Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkan kami, niscaya kami akan mengebiri diri kami (agar tidak memiliki syahwat terhadap wanita sehingga tidak ada kebutuhan untuk menikah, pent.). Akan tetapi beliau melarang kami dari hidup membujang (tidak menikah).” (HR. Al-Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 3390)


Bagi seseorang yang mengkhawatirkan dirinya akan jatuh dalam perbuatan zina bila tidak menikah, maka hukum nikah baginya beralih menjadi wajib karena syahwatnya yang kuat. Ditambah lagi bila di negerinya bebas melakukan hubungan zina. Hukum nikah baginya menjadi wajib untuk menolak mafsadat tersebut. Karena meninggalkan zina hukumnya wajib, dan kewajiban tersebut tidak akan sempurna penunaiannya kecuali dengan nikah.


Hukumnya mubah bagi orang yang tidak bersyahwat namun ia memiliki kecukupan harta. Mubah baginya karena tidak ada sebab-sebab yang mewajibkannya.
Adapun orang yang tidak bersyahwat dan ia fakir, nikah dimakruhkan baginya. Karena ia tidak punya kebutuhan untuk menikah dan ia akan menanggung beban yang berat. Namun terkadang pada orang yang lemah syahwat atau tidak memiliki syahwat ini, karena usia tua atau karena impoten misalnya, diberlakukan hukum makruh tanpa membedakan ia punya harta atau tidak. Karena ia tidak dapat memberikan nafkah batin kepada istrinya, sehingga pada akhirnya dapat memudaratkan si istri.
Dan haram hukumnya bila orang itu benar-benar tidak dapat menunaikan perkara- perkara yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Karena, menikah disyariatkan semata-mata untuk memberikan maslahat. Kalau ada tindakan aniaya seperti ini, akan hilanglah maslahat yang diharapkan, terlebih lagi jika dia berbuat dosa dan melakukan perkara-perkara yang diharamkan.


Haram pula bagi seseorang yang sudah memiliki istri, kemudian ia ingin menikah lagi namun dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً


“Maka apabila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil (bila memiliki lebih dari satu istri) maka menikahlah dengan seorang wanita saja.” (An-Nisa`: 3)


[Bada`i’ush Shana`i’, 3/331-335, Al-Ikmal 4/524, Al-Majmu’, 17/204-205, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’, Al- Ahkamusy Syar’iyyah fil Ahwalisy Syakhshiyyah, 1/36, Asy-Syarhul Mumti’, 12/6-9)


Berikut ini ucapan sejumlah ulama dari lima mazhab [Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Zhahiriyyah] tentang hukum nikah:


 Ibnu Abidin Al-Hanafi rahimahullahu dalam Hasyiyah-nya menyatakan, nikah lebih utama daripada menyibukkan diri dengan belajar dan mengajar, dan lebih utama daripada mengkhususkan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah nafilah/sunnah. (Raddul Mukhtar ‘Alad Durril Mukhtar Syarhu Tanwiril Abshar, 4/65)


Al-Qarafi Al-Maliki rahimahullahu berkata, “Nikah –tanpa melihat keadaan orang- orang yang menikah– hukumnya mandub (sunnah). Menurut mazhab kami (Maliki) dan menurut pendapat Asy-Syafi’i, meninggalkan nikah karena ingin mengerjakan ibadah-ibadah nafilah bagi orang yang jiwanya tidak condong kepada nikah adalah afdhal. Adapun menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, nikah lebih afdhal, karena ulama berbeda pendapat tentang kewajibannya. Minimal keadaannya adalah nikah lebih dikedepankan karena dengan nikah akan menjaga kehormatan diri sepasang suami istri, akan melahirkan anak-anak yang mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dapat membanggakan banyaknya umat beliau. Dengan demikian nikah bisa meraih maslahat-maslahat yang besar. Orang yang bisa memberikan kemanfaatan/kebaikan kepada orang lain adalah lebih utama/afdhal daripada orang yang membatasi kemanfaatan untuk dirinya sendiri. Juga, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengedepankan nikah daripada puasa sebagaimana dalam hadits:
: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ


“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….” (HR. Al-Bukhari no. 5060 dan Muslim no. 3384 dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu) (Adz-Dzakhirah, 4/190)


Asy-Syairazi Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata, “Siapa yang dibolehkan untuk menikah dan jiwanya sangat berkeinginan untuk melangsungkannya sementara ia mampu memberikan mahar dan nafkah kepada wanita yang dinikahinya maka mustahab baginya untuk menikah, berdasarkan hadits Abdullah. Juga, karena dengan menikah lebih menjaga kemaluannya dan lebih menyelamatkan agamanya. Namun hukum nikah tidak sampai diwajibkan atasnya.” (Al-Muhadzdzab dengan Al-Majmu’ 17/203)


 Ibnu Qudamah Al-Hanbali rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa nikah disyariatkan. Orang-orang dalam mazhab kami berbeda pendapat tentang hukum wajibnya. Namun yang masyhur dalam mazhab ini, hukumnya tidaklah wajib kecuali bila seseorang mengkhawatirkan dirinya jatuh ke dalam perkara yang dilarang bila ia meninggalkan nikah, maka wajib baginya menjaga kehormatan dirinya. Ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha.” (Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’)


Ibnu Hazm Azh-Zhahiri rahimahullahu berkata, “Diwajibkan kepada setiap orang yang mampu untuk jima’ bila ia mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak agar melakukan salah satunya, dan ini suatu keharusan. Namun bila ia tidak bisa mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak, hendaklah ia memperbanyak puasa.” (Al-Muhalla bil Atsar, 9/3)
BEBERAPA PANDANGAN
TENTANG NIKAH MUT’AH
(Kajian Pandangan Ulama terhadap Nikah Mut’ah)
I. PENDAHULUAN
Di tengah-tengah masyarakat kita sering mendengar tentang kawin kontrak. Sebuah perkawinan yang didasarkan pada kesepakatan untuk mengadakan ikatan lahir batin suami istri, yang mana ikatan perkawinannya disandarkan pada waktu tertentu yang sudah disepakati. Kita juga sering mendengar dan menemui tentang istilah nikah mut’ah. Bagaimana sebenarnya kawin model seperti ini, bagaimana pandangan para ulama terhadap model kawin mut’ah atau kawin sementara ini. Kita cermati pandangan dan pendapat dalam masalah ini.
Menurut sebagaian para ulama kawin mut’ah sering juga disebut dengan sebutan “kawin terputus”. Disamping itu nikah mut’ah terkenal dengan sebutan “kawin sementara”, ada juga yang menyebutnya dengan sebutan “aqad kecil”. Kenapa disebut demikian, karena model perkawinan mut’ah ini amatlah terbatas dengan adanya pembatasan waktu. Samakah nikah mut’ah ini dengan nikah sementara ? Sebagian ulama yang lain memandang bahwa ada perbedaan antara nikah sementara dengan nikah mut’ah. Pada nikah mut’ah tidak dipergunakan didalam ijab qabul lafadz nikah atau lafadz yang sama artinya dengan nikah, akan tetapi dipergunakan lafadz mut’ah atau yang sama pengertiannya dengan nikah mut’ah. Sebaliknya pada nikah sementara, dipergunakan lafadz nikah atau yang sama artinya dengan itu.
Disebut dengan nikah mut’ah apabila dalam aqad perkawinannya memenuhi hal-hal sebagai berikut :
1. Lafadz sighat ijabnya menggunakan lafadz-lafadz mut’ah atau yang sama artinya dengan mut’ah yang berarti bersenang-senang.
2. Dalam nikah mut’ah tidak ada wali, perkawinan mut’ah tanpa wali.
3. Dalam nikah mut’ah tidak dihadirkan saksi, perkawinan mut’ah tanpa wali.
4. Dalam aqad nikah mut’ah terdapat ketentuan pembatasan waktu, misalnya untuk satu minggu, satu bulan atau satu tahun dan sebagainya.
Menurut Imamiyah masa mut’ah tidak boleh melebihi 45 hari.
5. Mahar atau mas kawin wajib disebutkan dalam proses aqad ijab qabul.
6. Kedudukan anak dalam nikah mut’ah seperti kedudukan anak dalam nikah biasa.
7. Bila tidak disyaratkan maka antara suami istri tidak bisa saling mewarisi.
8. Talak tidak berlaku sebelum masa yang disepakati berakhir.
9. Dalam nikah mut’ah masa iddah dihitung dua kali suci/haid.
10. Tidak dikenal dengan nafkah iddah.
Nikah mut’ah terjadi apabila ada seorang laki-laki mengawini perempuan untuk waktu yang dibatasi. Dinamakan nikah mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu. (Syayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah VI,Alih Bahasa Drs. Moh Thalib, Al-Ma’arif, Bandung, 1993, h. 57).
Perbedaan nikah mut’ah dengan nikah biasa adalah sebagai berikut :
1. Pada nikah biasa tidak terdapat pembatasan waktu, misal untuk satu minggu, satu bulan, satu tahun dan sebagainya.
2. Pada nikah biasa tidak terdapat pembatasan waktu.
3. Pada nikah biasa secara otomatis antara suami istri saling mewarisi.
4. Pada nikah biasa apabila terjadi talak dapat memutuskan akad perkawinan.
5. Pada nikah biasa mas kawinatau mahar harus disebutkan dalam akad dan hukumnya sunnah. Sedang dalam nikah mut’ah mas kawin disebutkan sebelum lafadz akad diucapkan.
6. Pada nikah biasa iddah wanita tiga kali suci/haid.
Menurut Zufar, kawin mut’ah jika disebutkan tegas-tegas batas waktunya maka kawinnya sah, tetapi pembatasan waktunya batal. Hal ini apabila di dalam lafadz ijab qabulnya digunakan kata-kata tajwij (kawin), tetapi kalau dipakai kata-kata mut’ah (sementara) maka Zufar sependapat denga ulama-ulama lainnya akan batalnya kawin mut’ah ini.
II. PANDANGAN PARA ULAMA
Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama, bahwa pada permulaan Islam nikah Mut’ah haram hukumnya, dan apabila ada perbedaan pendapat para ulama menurut mereka karena hukum nikah mut’ah tersebut telah dinasakhkan.
Pandangan para ulama tentang nikah mut’ah akhirnya berbeda-beda. Hal ini disebabkan sekali lagi karena adanya penghapusan hukum dari yang semula diperbolehkan kemudian diharamkan. Disini ada dua pendapat yang muncul menurut pandangan para ulama Islam dalam mensikapi perubahan hukum tentang nikah mut’ah ini, yaitu ada yang mengatakan bahwa nikah mut’ah haram secara mutlak dan halal secara mutlak (Depag, Pedoman Penghulu, Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Jakarta, 2005 h, 91).
Apabila ada seorang laki-laki mengawini perempuannya untuk sementara waktu, yang bisasanya mengawini dengan maksud untuk bersenang-senang untuk sementara waktu saja, hal tersebut termasuk katagori nikah mut’ah. Model kawin semacam ini oleh para imam madzhab telah sepakat keharamannya. Menurut mereka, apabila sampai terjadi kawin mut’ah maka hukumnya tetap batal. Artinya dapat difasadkan. Kesepakatan akan batalnya nikah mut’ah, haram secar mutlak disampaikan oleh Jumhur Ulama diantaranya Ibnu Umar, Ibnu Abi Umrah Al Anshari, dan dari ulama Mutaakhirin seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan lain-lain (Depag, Pedoman Penghulu, Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Jakarta, 2005 h, 91). Pendapat mereka berdasarkan pada firman Allah SWT dalam Surat
Artinya :”Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”(Depag, Al-Qur’an dan Tarjamahnya,CV Jaya Sakti,Surabaya,1984, h. 526).
Golongan ini berpendapat, bahwa wanita dari hasil mut’ah tidak berfungsi sebagai isteri dikarenakan mut’ah bukanlah akad nikah. Nikah mut’ah tidak termsuk akad nikah karena dalam nikah mut’ah tidak saling mewarisi, padahal akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan. Dengan melakukan nikah mut’ah, seseorang tidak dianggap sebagai muhsan, karena wanita yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai isteri, sebab mut’ah tidak menjadikan wanita berststus jariyah. Mereka termasuk orang-orang yang melampaui batas.
Menurut Syayid Sabiq, kawin mut’ah hukumnya haram, apabila sampai terjadi maka seluruh imam madzhab sepakat hukumnya tetap batal. Golongan ini mengemukakan argumentasinya dengan alasan sebagai berikut :
1. Bahwa nikah mut’ah seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah thalak, iddah dan pusaka. Jadi nikah mut’ah bathil sebagaiman bentuk-bentuk perkawinan lain yang dibatalkan dalam Islam seperti pergundikan dan lain sebagainya.
2. Rasulullah dengan jelas mengharamkan nikah mut’ah melalui banyak hadist-hadistnya yang secara tegas menyebutkan keharamannya.
Rasulullah SAW bersabda : “Wahai manusia! Saya telah pernah mengizinkan kamu kawin mut’ah. Tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kemudian.”
3. Pidato Khalifah Umar Ibn Khattab di atas mimbar. Pada waktu itu khalifah
Umar menyampaikan keharaman nikah mut’ah dan para sahabat menyetujuinya.
3. Pendapat Al-Khathabi, yang menyatakan keharamannya nikah mut’ah adalah merupakan ijma’ kecuali oleh beberapa golongan aliran Syi’ah.
4. Kawin mut’ah sekedar hanya bertujuan pelampiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan anak dan memelihara keluarga. Karena nikah mut’ah ini sifatnya hanya untuk pelampiasan syahwat dan nafsu atau hanya untuk bersenang-senang. Baihaqi meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad ketika ia ditanya orang tentang nikah mut’ah, jawabnya : “sama denga zina”.
Selain itu kawin mut’ah dapat membahayakan perempuan, yang mengaggap wanita sama halnya dengan benda yang bisa dipindahkan dari satu tangan ke tangan orang lain. Juga dapat merugikan anak-anak dari perkawinan mut’ah ini karena dalam kawin atau nikah mut’ah tidak mengenal waris mewarisi. Anak-anak tidak akan mendapatkan tempat tinggal (rumah kediaman) dan tidak memperoleh pemeliharaan dan pendidikan yang baik.
Adapun yang mempunyai pandangan bahwa nikah mut’ah dihalalkan secara mutlak datang dari sebagian sahabat seperti : Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Asma’ binti Abu Bakar ash-Siddiq, Jabir bin Abdullah, Mu’awiyah, Amr bin Harits, Ma’bad, Salamah dan Abu Said Al-Khudri. Dan sebagian dari golongan tabi’in juga ada yang menghalalkan nikah mut’ah ini, seperti : Atho’, Zaid bin Zubair, dan Tawus. Dan masih ditambah seluruh ulama fiqh Makkah dan golongan Syi’ah Imamiyah. Golongan ini berpedoman pada Surat An-Nisa’ ayat 24.
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini)wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki) Allah telah menetapkan hukum itu sebagai ketetapanNya atas kamu Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya.(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban dan tidaklah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ”(Depag, Al-Qur’an dan Tarjamahnya,CV Jaya Sakti,Surabaya,1984, h. 526).
Menurut pandangan mereka melakukan nikah mut’ah adalah halal sesuai dengan bunyi ayat tersebut
Yang mereka tafsirkan mengambil wanita untuk masa yang tidak terbatas atau nikah dan mengambil mereka untuk masa yang terbatas (mut’ah). Disamping itu pendapat mereka didasarkan pada hadist-hadist Rasulullah yang menyatakan kebolehan melalui kawin mut’ah. Muslim dari Jabir meriwayatkan bahwa Rasulallah bersabda :” Kami pernah melakukan nikah mut’ah dengan mas kawinnya berupa kurma dan gandum pada masa Rasulallah SAW”. Hadist ini menunjukkan bahwa sahabat nabi telah melakukan mut’ah pada masa nabi masih hidup. Hal ini menunjukkan halalnya nikah mut’ah. Sementara itu ijma’ menunjukkan bahwa nikah mut’ah halal hukumnya. Adapun anggapan bahwa hukum halal nikah mut’ah telah dihapus statusnya, menurut mereka bersifat zhanni yang tidak mempunyai kekuatan untuk menentang dalil yang qath’i yaitu adanya ijma’ terhadap halalnya nikah mut’ah. (hal,96……………
.. Hukum - Hukum Walimah ..

Judul Asli : Min Ahkaami 'l-Waliimah min Syarhi Manaari's Sabiil
Penulis : Kholid bin Ibrohim Ash Shoq'abii
Judul Indonesia : Hukum - Hukum Walimah - Penjelasan Penting Seputar Penyelenggaraan Pesta Pernikahan
Alih Bahasa : Hidayat Joko W
Penerbit : Al Qowam Solo
Cetakan : Pertama, September 2005
Halaman : x+86

Buku yang ringkas ini, dikemas dalam bentuk buku saku. Isinya seputar masalah penyelenggaraan walimah atau pesta pernikahan. Yaitu hukumnya, hikmahnya, waktu pelaksanaannya, hukum memenuhi undangan, dst. Semuanya disusun dalam 13 bab. Inilah sebagian pembahasannya yang bisa saya kutip dengan meringkasnya:

[PERMASALAHAN KE-1]
PENGERTIAN WALIMAH DITINJAU DARI ASPEK BAHASA DAN SYARA'
--------------------------------------------------------
Walimah ditinjau dari aspek bahasa artinya adalah sempurna dan berhimpunnya sesuatu.
Sedangkan walimah, bila ditinjau dari aspek istilah, pengertiannya adalah hidangan yang khusus diperuntukkan untuk pesta pernikahan.

[PERMASALAHAN KE-2]
HIKMAH DIADAKANNYA PESTA PERNIKAHAN
-----------------------------------
1. Untuk mengumumkan akad nikah. Mengumumkan akad nikah adalah diwajibkan, demi untuk membedakannya dari perzinaan.
2. Untuk melaksanakan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan meneladani perbuatan beliau.
3. Untuk memberi makan para fakir miskin.
4. Adanya silaturahmi jika mereka yang menyelenggarakan pesta pernikahan tersebut masih kerabat dekat.
5. Untuk menampakkan nikmat bisa menikah, karena bisa menikah merupakan suatu nikmat, serta bisa menjadikan hati menjadi lega, senang dan tentram
6. Untuk mensyukuri Allah atas limpahan nikmat bisa menikah tersebut.

[PERMASALAHAN KE-3]
HUKUM MENYELENGGARAKAN PESTA PERNIKAHAN
---------------------------------------
Dalam kaitannya dengan hal ini, terdapat dua pendapat,
Pendapat pertama, mayoritas ulama berpandangan bahwa menyelenggarakan pesta pernikahan hukumnya adalah sunnah muakkadah.
Pendapat kedua, wajib.

[PERMASALAHAN KE-4]
BATASAN SEDIKIT BANYAKNYA HIDANGAN PADA PESTA PERNIKAHAN
--------------------------------------------------------
Tidak ada batasan bagi penyelenggaraan pesta pernikahan dari segi banyak atau sedikitnya hidangan yang dihidangkan.

[PERMASALAHAN KE-5]
WAKTU PELAKSANAAN PESTA PERNIKAHAN
----------------------------------
Berkaitan dengan permasalahan ini, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Para ulama pengikut madzhab Hambali berpendapat, "Waktunya setelah dilangsungkan akad."
Para ulama pengikut madzhab Maliki berpendapat, "Waktunya setelah terjadinya persetubuhan." Yakni setelah suami bersetubuh dengan istrinya.

Yang lebih mendekati kebenaran dalam hal ini adalah bahwa cakupan permasalahan ini amatlah luas. Pesta pernikahan bisa saja diselenggarakan setelah terjadinya akad sampai terjadinya persetubuhan. Rentang waktu pada hari hari itu adalah saat saat bisa iselenggarakan pesta pernikahan, karena penyebabnya masih ada, yakni adanya kebahagiaan yang masih berlangsung.

[PERMASALAHAN KE-6]
HUKUM MEMENUHI UNDANGAN PESTA PERNIKAHAN
----------------------------------------
Pendapat pertama, mayoritas ulama berpendapat bahwa menghadiri undangan pesta pernikahan hukumnya wajib.
Pendapat kedua, sebagian pengikut madzhab Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa menghadiri undangan pesta pernikahan hukumnya adalah fardhu kifayah.
Pendapat ketiga, sebagian pengikut madzhab Hambali dan Syafi'i lagi berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah, tidak wajib

[PERMASALAHAN KE-7]
BERBAGAI SYARAT DARI KEWAJIBAN MENGHADIRI UNDANGAN
-----------------------------------------
Menghadiri undangan untuk bisa sampai pada taraf wajib, haruslah ada berbagai syaratnya, karena tidak semua undangan wajib untuk dihadiri. Adapun berbagai syaratnya tersebut adalah:
1. Undangan itu adalah yang pertama kali. Maksudnya pada pesta pernikahan di hari pertamanya. Sedangkan undangan pesta pernikahan pada hari keduanya tidaklah wajib untuk dihadiri.
2. Orang yang diundang itu tidak punya udzur. Jika ia mempunyai udzur, maka tidak diwajibkan untuk menghadiri pernikahan itu.
3. Dalam pesta pernikahan itu tidak ada kemungkaran.
4. Orang yang mengundang adalah seorang muslim.
5. Hendaknya orang yang mengundang adalah seorang muslim yang mana ia diharamkan untuk mendiamkannya.
6. Orang yang mengundang mempunyai sumber mata pencaharian yang baik (halal).
7. Hendaknya undangan itu disampaikan secara khusus, seperti jika orang yang mengundang itu mendatangi atau menelpon orang yang diundang, kemudian ia berkata kepadanya, "Datanglah engkau!"

[PERMASALAHAN KE-8]
HUKUM MENGHADIRI UNDANGAN ORANG KAFIR
-------------------------------------
Masalah menghadiri undangan orang kafir, tidaklah terlepas dari dua hal berikut ini:
1. Undangan itu berkaitan dengan simbol simbol agama mereka. Menghadiri undangan yang seperti ini hukumnya adalah diharamkan dan memang tidak diperbolehkan untuk menghadirinya.

2. Undangan itu berkaitan dengan urusan duniawi, seperti jika ada momen pernikahan pada mereka, dan kemudian mereka mengundangmu. Maka menurut pendapat yang masyhur, undangan yang seperti ini tidak boleh dihadiri.
Sedangkan menurut pendapat Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah), ia dibolehkan dihadiri jika memang ada maslahat syar'inya. Sebagai dalilnya adalah Nabi shallallahu'alaihi wa sallam pernah menghadiri undangan seorang Yahudi.


[PERSONAL VIEW]
Buku ini cukup ringkas dan global dalam membahas permasalahan seputar walimah. Saya kira baik untuk dijadikan sebagai pengantar untuk mengetahui hal hal yang umum seputar walimah. Dari membaca buku ini kita juga bisa mengetahui bahwa ada beberapa bagian dari masalah walimah yang diserahkan / dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat setempat. Misalnya saja dalam masalah biaya pesta pernikahan. Bila Anda penasaran, silahkan baca buku ini selanjutnya.

Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum.

Diringkas oleh akh. Chandraleka
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN
A. Pengertian Perkawinan
B. Anjuran Melakukan Perkawinan
C. Perkawinan Dapat Dilihat dari 3 (Tiga) Segi Pandangan
1. dari Segi Hukum
2. dari Segi Sosial
3. Dari Segi Agama
D. Memilih Pasangan Suami Istri
E. Hukum Meminang
F. Hukumnya Melakukan Perkawinan
G. Tujuan Melakukan Perkawinan
H. Hikmah Melakukan Perkawinan
BAB II RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN YANG SAH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pendahuluan
B. Beberapa Asa Hukum Perkawinan
C. Ada Bermacam-macam Larangan Perkawinan Menurut Hukum Islam (Asas Selektivitas)
D. terjadinya Perkawinan
E. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Islam
F. Sahnya Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
G. Sahnya Perkawiann Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
H. Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Perkawinan
BAB II RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Pendahuluan
B. dasar-dasar perkawinan
C. Cara Peminangan
D. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
E. Calaon Mepelai
F. Tentang Wali Nikah menurut K.H.I
G. Keharusan Adanya Saksi Nikah Menurut K.H.I.
H. Pelaksanaan Akad Nikah Menurut K.H.I
I. Mahar menurut K.H.I
J. Larangan Perkawinan Menurut K.H.I
K. Perjanjian Perkawinan
L. Tentang Kawin Hamil Menurut K.H.I
M. Tentang Beristri Lebih dari Satu Orang Menurut K.H.I
N. Pencegahan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
)O. batalnya Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
P. Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut K.H.I
Q. Kedudukan Suami Istri
R. Kewajiban Suami
S. Tempat Kediaman
T. Kewajiban Suami yang Beristri Lebih Dari Seorang
U. Kewajiban Istri
V. Harta dalam Perkawinan Menurut K.H.I
W. Tentang Pemeliharaan Anak
X. Tentang Perwalian Menurut K.H.I
BAB IV USAHA-USAHA YANG HARUS DITEMPUH SEBELUM PUTUSANYA HUBUNGAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM
A. Bentuk-Bentuk Putusanya Hubungan Perkawinan Menurut Hukum Islam
B. Bentuk-bentuk Perceraian Menurut Hukum Islam
C. Apakah Talak Tiga yang Dijatuhkan Sekaligus Jatuh 3 (Tiga)?
D. Waktu Menjatuhkan Talak
E. Pelaksanaan Cerai dalam Bentuk Talak Menurut Hukum Islam
F. Akibat Hukum dari Putusnya Hubungan Perkawinan Menurut Hukum Islam
G. Harta Benda Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
H. bentuk-bentuk Putusnya Hbungan Perkawinan yang Lain
BAB V TINJAUAN DARI BEBERAPA PASAL UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
A. Pendahuluan
B. Tafsiran Pasal 2 Undang-Undang perkawinan
C. Penafsiran Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan
D. Pelaksanaan Putusnya Hubungan Perkawinan dari Pihak Suami
E. Putusnya Hubungan Perkawinan Atas Gugatan Cerai Istri
F. Putusanya Hubungan Perkawinan Menurt Hukum Islam
G. Penafsiran Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
H. Penafsiran Pasal 63 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
BAB VI PRSES PUTUSNYA HUBUNGAN PERKAWINAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Putusnya hubungan Perkawinan
B. Alasan-Alasan perceraian (Pasal 116)
C. Macam dan Cara Pemutusan Hubungan Perkawiann
D. Putusnya Hubungan Perkawinan karena Li'an
E. Proses Menjatuhkan Talak
F. Proses Mengajukan Gugatan Cerai (Pasal 132)
G. Gugurnya Gugatan Perceraian (Pasal 137)
H. Akibat Putusanya Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
I. Tenggang Waktu Menunggu (Pasal 153 KHI)
J. Akibat Hukum dari Perceraian (Pasal 156 KHI)
K. Mut'ah
L. Akibat Hukum Khuluk
M. Akibat Hukum Li'an
N. Rujuk
O. tata Cara Rujuk
P. Masa Berkabung
BAB VII PELAKSANAAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TATA CARA MELAKSANAKAN PERKAWINAN
A. Pendahuluan
B. Tata Cara Perkawinan
C. Pengumuman Kehendak nikah
D. Pencegahan Pernikahan
E. Penolakan Kehendak Nikah
F. Pembatalan Pernikahan
G. Prosedur Pencatatan Nikah
H. Pencatatan Perkawinan
I. Persetuuan Dispensasi
J. Beristri Lebih Dari Seorang
K. Akta Perkawinan
L. hak-hak dan Kewajiban Suami Istri
M. Hak-hak dan Kewajiban Suami Istri
N. Harta Benda dalam Perkawinan
O. Hak dan Kewajiban Orang Tua dan Anak
P. Putusnya Hubungan Perkawinan dan Serta Akibat Hukumnya
BAB VIII PERKAWINAN ANTAR AGAMA DAN PERKAWINAN CAMPURAN
A. Perkawinan Antarpemeluk Agama
B. Perkawinan Campuran
BAB XI TATA CARA PEMUTUSAN HUBUNGAN PERKAWINAN
A. Tata Cara Perceraian
B. Gugatan Perceraian dan Istri
C. Tata Cara Rujuk
D. Prosedur Permohonan Talak
E. Prosedur Gugatan
F. Prosedur Banding
G. Prosedur Kasasi
H. Masalah Pengukuhan
I. Pencatatan Perceraian
J. Pencatatan Rujuk
K. Pengawasan dan Pertanggungjawaban Pegawai Pencatat Nikah
WALI MERUPAKAN SYARAT SAHNYA NIKAH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pendahuluan
B. Fungsi Wali dari Perkawinan
C. Wali Menurut Mazhab Syafi'i
D. Wali Menurut Mazhab Hanafi
E> Wali Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
F. Kesimpulan
BAB IX HARTA BERSAMA ANTAR SUAMI ISTRI DALAM PROSES PEMUTUSAN HUBUNGAN PERKAWINAN
A. Pendahuluan
B. Permasalahan
C. Macam-macam Harta yang Dikenal dalam Lembaga Hukum
D. Harta Bersama Antar Suami IStri dalam Proses Pemutusan Hubungan Oerkawinan
E. Kewenangan Mengadili tentang Sengketa Harta Bersama
F. Kesimpulan
BAB XII AKIBAT YURIDIS SUATU PERKAWINAN DIBAWAH TANGAN
A. Pendahuluan
B. Pengertian dan Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
C. Pengertian Rukun dan Syarat-Syarat sahnya Perkawinan Menurut Hukum Islam
D. Akibat Hukum dari Suatu Perkawinan yang Sah
BAB XIII BEBRAPA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TENTANG PERKAWINAN DAN YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG RI
A. Pendahuluan
B. Wali Menurut Pengadilan Agama
C. Putusan Pengadilan Agama Tentang Harta Bersama Antara Suami Istri
D. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
E. Putusan Pengadilan Agama tentang Hadhonah
BAB XIV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-Saran
Daftar Kepustakaan
Daftar Riwayat Hidup

BAB I
PENDAHULUAN
PERKAWINAN PRIA MUSLIM DENGAN WANITA NON MUSLIM
A. PENGERTIAN PERNIKAHAN (PERKAWINAN)
Secara etimologi,pernikahan berarti Persetubuhan ada pula yang meartikan “perjanjian”(al-aqlu). Secara etimologi pernikahan menurut Abu Hanifah adalah: Aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita yang dilakukan dengan sengaja. Menurut mazhab Maliki,Pernikahan adalah:Aqad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita. Menurut mazhab Syafi’i pernikahan adalah :Aqad yang menjamin diperbolehkan persetubuhan ” Sedang Menurut mazhab Hambali adalah:”Aqad yang di dalamnya terdapat lafaz pernikahan secara jelas agar diperbolehkan bercampur. Kalau kita perhatikan keempat definisi tersebut jelas,bahwa yang menjadi inti pokok pernikahan itu adalah aqad (perjanjian)yaitu serah terima antara orang tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria.Penyerahan dan penerimaan tanggung jawab dalam arti luas,telah terjadi pada saat aqad nikah itu, disamping penghalalan bercampur keduanya sebagai suami isteri.
B. TUJUAN PERKAWINAN
Sedikitnya ada empat macam yang tujuan perkawinan.Keempat macam tujuan perkawinan itu hendaknya benar-benar dapat dipahami oleh calon suami atau isteri,supaya terhindar dari keretan dalam rumah tangga yang biasanya berakhir dengan perceraianyang sangat dibenci oleh Allah.
1. Menentramkan Jiwa
2. Mewujudkan (Melestarikan)Turunan
3. Memenuhi Kebutuhan Biologis
4. Latihan Memiliki Tanggung Jawab
Keempat faktor yang terpenting (menentramkan jiwa,melestarikan turunan,memenuhi kebutuhan biologis dan latihan bertanggung jawab),dari tujuan perkawinan perlu mendapat perhatian dan direnungkan matang- matang ,agar kelangsungan hidup berumah tangga dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERKAWINAN PRIA MUSLIM DENGAN WANITA BUKAN AHLI KITAB
A.Perkawinan pria muslim dengan wanita bukan ahli kitab,terbagi kepada:
1. Perkawinan denagan wanita musyrik
1.Agama Islam tidak memperkenankan pria muslim kawin dengan wanita musyrik,sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik,sebelum mereka beriman.sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,walaupun dia menarik hatimu(al Baqarah: 221)
Nash diatas dengan jelas melarang mengawini wanita musyrik.Demikian juga pendapat para ulama menegaskan demikian.
2. Perkawinan Dengan Wanita Majusi
Pria muslim juga tidak diperbolehkan mengawini wanita majusi(penyembah api),sebab mereka tidak termasuk ahli kitab.Demikian pendapat Jumhur Ulama,dan yang dimaksud dengan ahli kitab adalah yahudi dan nashara.
Sedangkan golongan Zhahariyah memperbolehkan pria muslim kawin drngan wanita majusi karena orang-orang majusi dimasukkan kedalam kelompok ahli kitab.yang dianggap paling tepat adalah pendapat Jumhur Ulama,yaitu pria muslim tidak diperbolehkan kawin dengan wanita majusi,sebab mereka tidak termasuk ahli kitab,sebagaimana ditegaskan dalam fiirman Allah QS al-An’aam:156 yang artinya:
(Kami turunkan Al-quran itu)agar kamu(tidak)menyatakan:Bahwa Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan(Yahudi dan Nasrani) saja sebelum kami dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.
Sekiranya orang-orang majusi dianggap sebagai ahli kitab,makadalam ayat tersebut seharusnya disebut tiga golongan bukan dua golangan.
3. Perkawinan dengan Wanita Shabi’ah
3. Shabi’ah adalah satu golongan dalam agama Nasrani,Shabi’ah dinisbatkan kepada Shab paman Nabi Nuh as.ada pula yang berpendapat dinamakan Shabi’ah karena berpindah dari satu agama kepada agama yang lain.
Ibnul Hamman mengatakan,bahwa orang-orang Shabi’ahadalah golongan yang memadukan antara agama yahudi dan Nasrani.Mereka menyembah bintang-bintang,dalam berbagai buku hadis disebutkan,bahwa mereka termasuk golongan ahli kitab.
Menurut riwayat Umar,bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari Sabtu.Sedangkan Mujahidmenganggap,mereka berada diantara agama yahudi dan Nasrani.
Imam Syafi’i mengambil jalan tengah,yaitu apabila mereka lebih mendekati keyakinan mereka kepada salah satu agama(Yahudi atau Nasrani),Maka orang tersebut termasuk
Para ulama ber beda pendapat yang mengatakan termasuk ahli kitab dan ada pula yang mengatakan tidak.Demikian pula maka hukum perkawinan dengan wanita shabi’ahjuga berbeda pendapat.Abu Hanifah berpendapat boleh kawin dengan wanita shabi’ah.sedang Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan asy Syaibani tidak membolehkannya,karena mereka menyembah patung-patung dan bintang-bintang.Pendapat Maliki juga sejalan dengan pendapat iniMazhab Syafii dan mazhab Hambali membuat garis pembatas dalam maslah ini,jika mereka menyerupai orang-orang yahudi atau nasrani dalam prinsip-prinsip agamanya,maka wanita shabi’ah itu boleh dikawini.Tetapi bila berbeda dalam hal-hal prinsip berarti mereka tidak termasuk golongan yahudi atau nasrani dan berarti pula bahwa wanita shabi’ah itu tidak boleh dikawini oleh pria muslim.
4. Perkawinan dengan Wanita Penyembah Berhala
Para ulama telah sepakat bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanit a penyem bah berhala,dan penyembah benda –benda lainya,karena mereka termasuk orang-orang kafir,sebagaimana firman Allah :
Artinya:Dan janganlah kamu berpegang pada tali(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir...(al-Muntahanah:10)
Pada ayat lain Allah berfirman:
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman(al-Baraqarah:221)
B. PERKAWINAN PRIA MUSLIM DENGAN WANITA AHLI KITAB
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab.
1. Menurut pendapat Jumhur Ulama Baik Hanafi,Maliki,Syafi’i maupun Hambali,seorang pria muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab yang berada dalam lindungan (kekuasaan) negara Islam(ahli Dzimmah)
2. Golongan Syi’ah Imamiah dan syi’ah Zaidiyah berpendapat,bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita ahli kitab.
Golonagn pertama (Jumhr Ulama) mendasrkan pendapat mereka kepada beberapa dalil Firman Allah dalam surah al-maidah ayat 5 yang artinya:Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.Makanan(sembelihan)orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu,dan makanankamu halal pula bagi mereka (dan dihalalkan mengawini)wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara Jaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.
Golongan kedua (Syi’ah)melandaskan pendapatnya pada beberapa dalil, Firman Allah:
Artinya:Dan jangan lah kamu nikahi wanits-wanita musyrik,sebelim mereka beriman...(al-Baqarah:221)
Firman Allah:
Artinya:Dan janganlah kamu berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir,(al-Muntahanah:10)
Kalau kita perhatikan pendapat Syi’ah (Imamiyah dan Zaidiyah) maka mereka menganggap bahwa ahli kitab itu musyrik.Akan tetapi didalam Al-quran sendiri dinyatakan bahwa ahli kitab dan musyik itu tidak sama,sebagaimana firman Allah:
Artinya:Sesungguhnya oramg-orang kafir,yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik(akan masuk)keneraka jahanam ,mereka kekal didalamnya.Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk(al-Bayinah:6)
Dalam ayat diatas cukup jelas,bahwa ahli kitab dan musyrik itu berbeda.Kemudian dikalangan Jumhur Ulama membolehkan kawin dengan ahli kitab,juga berbeda pendapat
1. Sebagian mazhab Hanafi,Maliki,Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa perkawinan itu makruh.
2. Menurut pendapat sebagian mazhab Maliki,Ibnul Qosim,Khalil bahwa perkawinan itu diperbolehkan secara mutlak dan ini merupakan pendapat Malik.
3. Az-Zarkasyi(mazhab Syafi’i)mengatakan bahwa pernikahan itu disunatkan apabila wanita ahli kitab itu diharapkan dapat masuk Islam,Sebagai contohnya adalah perkawinan Usman bin Affan dengan Nailah,sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini.sebagian mazhab Syafi’i pun ada yang berpendapat demikian.
Kendatipun Jumhur Ulama membolehkan kawin dengan wanita-wanita ahli kitab,akan tetapi perlu direnungkan lebih mendalam tentang dampak negatip dari perkawinan itu.Tujuan berumah tangga (perkawinan) itu adalah untuk memperoleh ketentraman dan ketenangan jiwa serta mendapatkan turunan yang baik-baik(saleh).Apakah mungkin ketenangan jiwa diperoleh dalam suatu rumah tangga yang berlainan akidahdan apakah mungkin mendidik anak-anak yang saleh dalam satu keluarrga yang beragam keyakinan?
Yang lebih aman adalah menghindar dari persoalan-persoalan yang banyak mengandung teka-teki dan memilih jalan yang sudah jelas arahnya,yaitu kawin dengan sesama muslim.Dengan demikian resiko yang dihadapi lebih kecil dalam membina rumah tangga .Dalam agama Islam ada suatu prinsip,yaitu suatu tindakan preventip(pencegahan) Ibaratnya menjaga kesehatan lebih utama atau lebih baik daripada mengobatinya setelah dibiarkan sakit terlebih dahulu.Membenarkan kawin dengan wanita non muslim berarti mengundang penyakit,yaitu penyakitkufur(murtad)memghindari kawin dengan mereka berarti telah mengadakan tindakan preventif.Kaidah fiqh mengatakan: Menghindar dari kemudaratan harus didahulukan atasmencari/menarik maslahat (kebaikan)
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam,pasal 40 ayat (c),dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria beragama Islam dengan wanita yang tidak beragama Islam.Sebaliknya pasal 44 disebutkan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang wanita yang beragama Islam dengan pria yang bukan beragama Islam.Apa yang telah ditetapkan dalam Kompilasi hukum Islam itu telah tepat dan keputusan yang amat bijaksana bagi bangsa kita yang mayoritas memeluk agama Islam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Hukum perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab menurut pendapat Jumhur Ulama diperbolehkan asalkan berada didalam kekuasaan negara islam
2. Menurut Golongan Syi’ah dan Zaidiyah tidak membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab karena mereka disamakan dengan wanita –wanita musyik atau wanita yang tidak beriman kepada aAllah
3. problem yang mungkin akan dihadapi seandainya laki-laki muslim kawin dengan wanita ahli kitab adalah tidak adanya ketentraman dan ketenangan jiwa serta tidak akan mendapatkan keturunan yang saleh karna tidak mungkin anak yang saleh terdidikdari orang tua yang berlainan agama
DAFTAR PUSTAKA
Abd,Mua’al M.al-Jabri,Perkawinan antar Agama Tinjauan Islam,(terjemahan)Risalah Gusti Surabaya,cet,ke-2 1994
Departemen Agama,Al-Quran dan terjemahannya,Surabaya Mahkota Tahun 1989
Masail Fiqhiyah Al-haditsah pada masalah-masalah kontemporer Hukum Islam M.Ali Hasan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar